August 2016 - Archieve

Under the hood articles from the past.

Friday, August 26, 2016

Kritik yang Membangun itu Tidak Ada!

parenting, pendidikan karakter, pendidikan anak

Mereka yang berkutat di dunia parenting, tentu amat familiar dengan puisi yang pertama kali ditulis tahun 1954 oleh Dorothy Law Nolte, seorang pendidik dan konseling keluarga, untuk sebuah surat kabar di California ini.

(Untuk versi terjemahannya bisa lihat di sini)

Children Learn What They Live
(Dorothy Law Nolte, Ph.D.)

If children live with criticism, they learn to condemn.
If children live with hostility, they learn to fight.
If children live with fear, they learn to be apprehensive.
If children live with pity, they learn to feel sorry for themselves.
If children live with ridicule, they learn to feel shy.
If children live with jealousy, they learn to feel envy.
If children live with shame, they learn to feel guilty.
If children live with encouragement, they learn confidence.
If children live with tolerance, they learn patience.
If children live with praise, they learn appreciation.
If children live with acceptance, they learn to love.
If children live with approval, they learn to like themselves.
If children live with recognition, they learn it is good to have a goal.
If children live with sharing, they learn generosity.
If children live with honesty, they learn truthfulness.
If children live with fairness, they learn justice.
If children live with kindness and consideration, they learn respect.
If children live with security, they learn to have faith in themselves and in those about them.
If children live with friendliness, they learn the world is a nice place in which to live.

Yang cukup menarik perhatian saya adalah kalimat pertama dari puisi fenomenal yang sudah diterjemahkan ke dalam lebih dari 30 bahasa ini.

Kalimat pertama puisi itu berbunyi,

“Jika anak hidup dengan kritikan, mereka belajar menyalahkan.”


Kenapa saya bilang menarik?

Karena sejak dulu kita mengenal bahwa tidak semua kritikan itu buruk.

Kita diperkenalkan bahwa ada beberapa jenis kritikan yang bagus, malahan kita mengistilahkannya sebagai “kritik yang membangun”.

Tapi di dalam puisi di atas, seolah-olah mengisyaratkan bahwa semua jenis kritik itu, buruk.

Masaru Emoto, seorang doktor pengobatan alternatif berkebangsaan Jepang, pernah melakukan sebuah eksperimen.

Ia meletakkan beberapa butir beras pada dua wadah yang berbeda.

Beras yang ada pada wadah yang pertama, setiap hari diberi kritikan terus menerus.

Bahkan pada wadah tersebut juga ditempel kertas yang berisi kecaman.

Sementara pada beras yang berada pada wadah kedua selalu diberikan pujian, penghargaan dan motivasi setiap hari.

Hasilnya?

Setelah beberapa hari kemudian, didapati bahwa beras yang berada pada wadah pertama telah menghitam dan rusak.

Sedangkan beras yang ada pada wadah kedua tetap putih dan bersih.

Masaru yang dikenal lewat bukunya “The Power of Waters” juga pernah melakukan percobaan yang sama dengan menggunakan media air.

Ia memperdengarkan kepada air tersebut berbagai macam suara, musik, doa-doa, pujian dan cacian.

Gelas berisi air yang mendapat kritik dan kecaman – setelah dilihat menggunakan mikroskop - memiliki bentuk kristal-kristal yang cacat,

sedangkan air yang diberikan pujian dan motivasi justru membentuk kristal-kristal air yang indah.

Apa artinya?

Artinya bahwa TIDAK ADA KRITIKAN YANG MEMBANGUN.

Semua kritikan itu merusak, melemahkan dan menghancurkan.

Dalam Kamus Istilah-istilah Populer, kata “kritik” diartikan sebagai “celaan”.

Sehingga saat kita mengkritik seseorang,

seolah-olah kita ingin menegaskan bahwa kita benar dan orang tersebut salah.

Dari sini kita tahu mengapa anak-anak (dan juga istri) yang selalu dikritik tidak membuat mereka bertambah menjadi lebih baik.

Justru anak-anak yang sering mendapat apresiasi menjadi mudah untuk melakukan hal-hal positif lainnya.

Jika anda seorang suami, anda bisa melakukan tes seperti ini dengan terus mengkritik istri anda setiap hari,

lalu pada beberapa hari hari berikutnya anda terus memuji hasil pekerjaannya.

Anda akan bisa membandingkan perbedaannya.

Apa yang terjadi pada beras (dan air) mengajarkan kepada kita untuk tidak mengeluarkan kata-kata yang kasar dan bernada hinaan kepada orang lain,

terutama kepada anak-anak kita.

Memang ada beberapa orang yang bisa menggunakan kritikan sebagai sarana untuk meng-upgrade diri.

Tapi yang pasti hal tersebut tidak akan terjadi pada anak-anak.

Seperti yang ditulis Dorothy pada baris lain dalam puisi di atas,

“Jika anak hidup dengan ejekan, mereka belajar menjadi rendah diri.”

Anda tentunya sudah membaca artikel blog ini yang berjudul Pelajaran Nancy Matthew Elliot dan Sang Putra.

Ketika kecaman datang dari pihak sekolah kepada sang ibu,

maka sang ibu bisa mengubah kecaman itu menjadi cambuk pelecut dirinya.

Tapi bisakah kita membayangkan bagaimana seandainya kecaman itu langsung diterima oleh si anak?

Jika hal itu terjadi, mungkin sampai sekarang lampu pijar belum ditemukan dan kita masih hidup dengan kegelapan.

Lalu jika mengkritik bisa menghancurkan anak,

bagaimana cara kita mengingatkan jika mereka salah?

Anda bisa membaca terlebih dahulu 7 Aturan Dasar Mengoreksi Kesalahan Anak dengan Tepat dan Bagaimana Cara Mengoreksi Kesalahan Anak Tanpa Ditolak.

Secara umum, anak-anak lebih suka menerima sesuatu dari seseorang yang dianggapnya teman daripada pemberian seseorang yang tidak mereka sukai.

Jadi daripada kita memakai bahasa kritikan kepada anak-anak, jauh lebih efektif jika kita menggunakan bahasa seorang sahabat, yaitu SARAN.

Saya beberapa blog yang saya sambangi, setidaknya ada 5 langkah bagaimana cara memberi saran yang baik untuk anak-anak

Dan hal ini bisa kita praktekkan juga kepada orang lain (atau sahabat kita), tanpa membuat mereka merasa tersinggung.


1. Bertanyalah


Hal yang cukup penting di dalam pemberian saran adalah jangan pernah merasa kita tahu apa yang anak-anak rasakan.

Daripada kita mengira-ngira, akan lebih baik jika kita bertanya langsung tentang apa yang mereka rasakan atau pertanyaan-pertanyaan yang tidak mereka pikirkan sebelumnya.


2. Dengarkan mereka


Setelah kita bertanya, hal selanjutnya yang harus dilakukan adalah mendengarkan mereka.

Tentang bagaimana cara menjadi pendengar yang baik untuk anak-anak, bisa anda baca di sini.



3. Beri Pilihan


Jika kita ingin menghindari perasaan tersinggung dari anak-anak karena saran kita,

maka kita bisa memberikan saran tersebut secara “tersembunyi”.

Dengan memberikan mereka pilihan beserta hal-hal yang akan menjadi konsekuensinya, anak-anak akan merasa dibantu untuk membuat keputusan,

bukan merasa diatur oleh kita.
 

4. Dukung atau Sedikit Membandingkan


Saat anak-anak kita sudah menentukan pilihannya,

maka jika pilihannya itu sudah tepat menurut kita, dukunglah.

Besarkan kepercayaan diri mereka.

Namun jika pilihan mereka kurang tepat,

maka kita bisa “menggiring” opini mereka ke pilihan yang lebih baik dengan cara membandingkan cerita mereka dengan pengalaman kita dulu atau teman kita atau anak-anak lain.

Namun hal seperti ini jangan dilakukan berlebihan, karena anak-anak akan merasa keputusannya dimonopoli oleh kita.
 

5. Apresiasi-lah


Membuat keputusan itu bukan hal yang mudah bagi anak-anak.

Keterbatasan ber-logika membuat mereka kerap membuat keputusan yang keliru.

Jika langkah no. 4 belum berhasil pada anak, jangan langsung menunjukkan sikap permusuhan kepada mereka.

Hargailah keputusan tersebut.

Barangkali mereka - seperti saya sebut di artikel 7 cara berkomunikasi dengan anak - adalah anak-anak yang harus mendapat “pengalaman” dan belajar dari kesalahannya terlebih dahulu.

Sunday, August 21, 2016

Cara Menjadi Pendengar yang Baik Untuk Anak Dalam 4 Langkah!

Ada satu anekdot kocak yang bisa saya pakai untuk membuka tulisan kali ini.

Suatu hari seorang anak yang masih kelas 1 SD bertanya kepada mamanya yang sedang sibuk di dapur.

“Ma, ML itu apa sih?”

Si ibu langsung kaget.

“Hush! Darimana kamu tahu istilah itu?!”

“Ayolah, Ma... Artinya apa?” Rengek si anak.

“Itu urusan orang dewasa. Kamu belum waktunya untuk tahu.”

“Tapi aku kan cuma kepingin tahu artinya...”

Akhirnya, karena tidak betah dengan rengekan si anak, si ibu ini akhirnya menjelaskan,

“Begini,”

“ML itu artinya Making Love, yaitu hubungan antara laki-laki dan perempuan yang hanya boleh dilakukan oleh suami istri. Jika belum menikah, maka kita tidak boleh melakukan hal itu..”

Si anak bengong.

“Nah, sudah mengerti, kan? Sekarang ibu tanya, darimana kamu tahu istilah itu?”

Si anak dengan wajah innocent-nya menunjukkan botol air minum yang sedang dipegang,

“Ini, Ma. Di botol air minum kan sering ada tulisan 1000 ml, 1500 ml...”

Gantian si ibunya bengong... #TepokJidat

H-hee...

Cerita di atas adalah salah satu contoh kecil permasalahan yang timbul ketika orangtua salah memahami maksud si anak.

parenting, pendidikan karakter, pendidikan anak

Anda tentu sudah membaca 9 Alasan Kenapa Nasehat Orangtua Tidak Didengar Anak yang saya tulis beberapa waktu yang lalu.

Di artikel tersebut disebutkan ada 9 perilaku salah dari orangtua yang menyebabkan kenapa nasehat mereka tidak sampai ke anak-anak.

Yang ingin saya sampaikan, ada satu poin lagi sebenarnya yang belum saya unkap pada tulisan itu,

karena saya memang berencana untuk membuat satu tulisan tersendiri tentang poin tersebut.

Manusia,

di dalam hubungan sosialnya dengan orang lain memiliki 4 sarana komunikasi.

Keempat sarana komunikasi itu adalah berbicara, menulis, membaca dan mendengar.

Di antara keempat sarana komunikasi di atas,

“mendengar” adalah hal yang seringkali terabaikan.

Padahal, kita bisa memahami orang-orang yang ada di sekitar kita,

dan mengetahui keinginan mereka,

hanya ketika kita mau mendengarkan perkataan mereka.

Kalau kita salah paham terhadap maksud anak, ya seperti cerita di atas contohnya.

Akan tetapi sedikit berbeda dengan istilah “mendengar” yang mengkonotasikan perbuatan fisik (yaitu telinga),

kata “mendengarkan” pada pembahasan ini lebih mengarah kepada perbuatan hati.

Mendengarkan adalah suatu kemampuan yang tidak semua orangtua memilikinya.

Banyak dari kita yang bisa mendengar, namun sedikit sekali yang mampu mendengarkan anak-anak mereka.

Filosofi 2 telinga dan 1 mulut adalah agar kita lebih banyak mendengarkan daripada memerintah.


Kenapa MENDENGARKAN ini harus menjadi satu pokok bahasan tersendiri?

Dalam buku “Istraatijiyah at-Tarbiyah Al-Ijaabiyyah” yang ditulis oleh Dr. Musthafa Abu Sa’ad

(tenaaang... judulnya memang bahasa Arab, tapi saya punya versi terjemahnya, 30 Strategi Mendidik Anak),

di sana ditulis begini,

“Menjadi pendengar yang baik bagi sang anak berarti memperhatikan apa yang ingin diungkapkan oleh sang anak,
sekaligus menjadi media penyampaian pesan positif kepada sang anak dengan baik pula.”

Frasa terakhir inilah yang penting.

Bahwa – menurut penulis - kunci keberhasilan menjadi pendengar yang baik terletak pada “pesan tersembunyi” yang dihasilkan dari komunikasi non-verbal yang disampaikan orangtua kepada anak.

Komunikasi non-verbal itu bisa berupa senyuman, mimik wajah ataupun bahasa tubuh yang menyatakan perasaan sayang dan cinta kita kepada mereka.

Mendengarkan perasaan anak dengan penuh perhatian dapat membangun kepercayaan diri anak-anak dan meningkatkan harga diri mereka.

Ketika anak menyadari perhatian dan kasih sayang kita kepada mereka,

maka semangat dan motivasinya terhadap hal-hal yang baik lainnya akan terpupuk.

Hal ini tentu akan sangat berperan bagi pertumbuhan karakter dan mental mereka.

Di dalam buku yang sama, penulis bahkan meletakkan proses mendengarkan ini setara dengan mengajak anak-anak membeli kebutuhan mereka, merawat kesehatan dan kebersihan mereka, dsb.

Artinya perlu ada waktu tersendiri dan komunikasi yang bersifat personal.

Dalam satu hari kita bersama anak-anak, sediakan – setidaknya – 5 menit untuk mendengarkan perkataan dan perasaan mereka.

Dengan memanfaatkan waktu yang sebentar untuk mendengarkan anak-anak,

ini lebih baik daripada waktu yang akan kita habiskan untuk menyelesaikan masalah yang diakibatkan karena kurangnya kita mendengarkan mereka.

Dan seperti kemampuan-kemampuan lainnya yang perlu terus diasah,

kemampuan untuk mendengarkan ini pun perlu dilatih dengan baik.

Sebab jika kita gagal, maka anak-anak ini akan merasa diabaikan dan tidak dihargai.

Dampak selanjutnya adalah anak-anak yang suka membangkang perintah orangtuanya.

Berikut ini adalah bagaimana cara orangtua bisa menjadi pendengar yang baik untuk anak-anaknya.


1. Bahasa tubuh yang tepat


Orangtua harus membuat bahasa tubuh yang tepat.

Kita harus menunjukkan bahwa kita akan serius mendengarkan setiap kata-katanya.

Jadi jangan mendengarkan sambil melakukan aktifitas yang lain,

dan jangan mencoba untuk berpura-pura mendengarkan, karena anak-anak pasti akan menyadarinya.

Pusatkan perhatian kita kepadanya.

Bisa dengan cara menatap kedua matanya dengan pandangan sayang,

atau kita juga bisa menambahkan sentuhan, pelukan atau genggaman tangan untuk memperkuat komunikasi non-verbal kita.

Karena itulah tadi dikatakan proses ini memerlukan waktu tersendiri.

Sediakan, meski tidak lama.


2. Beri respon, bukan bantahan


Agar anak merasa perkataannya diperhatikan, orangtua perlu memberi respon setiap kali anak berbicara.

Respon di sini bisa berupa ucapan “ohh,” atau “begitu, ya” atau ucapan-ucapan yang sejenis.

Atau bisa juga dengan sekedar anggukan kepala yang menunjukkan persetujuan atau kita memahami apa yang mereka ungkapkan.

Jangan buru-buru membantah jika kita tidak setuju, apalagi sampai memotong ucapannya.

Meski kita sudah punya jawabannya, tahanlah, sampai anak-anak benar-benar menyelesaikan perkataannya.

Selain karena bisa menyebabkan anak merasa tidak dihargai, terburu-buru memberikan jawaban juga rentan memicu salah paham jika kita salah mengartikan maksud anak.


3. Ringkas ucapannya


Setelah anak-anak selesai, maka coba ringkas kembali apa yang bisa anda simpulkan dari perkataan mereka.

“Jadi, yang dimaksud kakak itu seperti ini, ya...?”

Jika anak-anak menjawab “iya”, maka kita bisa mulai berbicara kepada mereka.

Sebaliknya, jika mereka menjawab “tidak”, maka mintalah kepada mereka untuk menjelaskan kembali.

Hal ini lebih baik daripada kita salah memahami maksud mereka.

Dengan cara seperti ini anak-anak akan belajar bagaimana cara meringkas dan menjelaskan perasaan mereka

atau ketelitian dalam mengungkapkan sesuatu.


4. Berpikir dari sudut pandang anak


Lihatlah dari sudut pandang mereka.

Kita bisa mencoba untuk menjadi diri mereka, yang dengan cara ini kita menjadi lebih mudah untuk memahami jalan pikirannya.

Jika mereka sedang dalam kondisi marah,

jangan menghardiknya untuk membuatnya berhenti.

Tapi kita harus berusaha untuk tetap tenang mendengarkan perkataannya.

Pada kondisi emosional (marah, sedih, dsb), anak-anak cenderung butuh tempat untuk mengungkapkan perasaannya.

Sehingga kita harus menempatkan diri berada di posisi mereka,

sehingga anak-anak tidak merasa sedang “dilawan” oleh orangtuanya.

Nah, inilah 4 langkah cara menjadi pendengar yang baik untuk anak-anak.

Jika anak-anak merasa mereka didengarkan, maka mereka akan mau mendengarkan perkataan kita.

Wednesday, August 17, 2016

Bahaya Internet untuk Anak dan 10 Langkah Praktis Memproteksi Mereka

Era digital sudah tak terelakkan.

Bahkan kehidupan manusia secara general sudah sangat bergantung kepada sebuah benda kecil yang kita sebut gadget.

parenting,pendidikan anak,pendidikan karakter

Hal-hal yang tadinya cukup lama jika dikerjakan secara manual, sekarang hanya dalam hitungan detik saja.

Pekerjaan yang dulunya harus dilakukan oleh beberapa orang, sekarang cukup satu orang untuk meng-handlenya.

Imbasnya, para orangtua dan guru pendidik pun mau tak mau harus mengikuti “revolusi” ini.

Hal ini terlihat dari beberapa program sekolah atau materi ajar yang menggunakan gadget sebagai alat utamanya.

Satu contoh kecil misalnya meminta anak-anak mengumpulkan gambar bunga-bunga yang ada di Indonesia.

Kalau dulu, anak-anak harus hunting surat kabar bekas dari agen atau distributor di pasar terlebih dahulu.

Setelah ketemu gambar yang dicari, lalu digunting dan ditempelkan pada lembaran kertas.

Bakal makan waktu seharian penuh.

Tapi sekarang, anak-anak bisa lari ke warnet, lalu mengetikkan satu kata kunci dan di-print.

Voilaa! Tugas pun selesai.


Internet: Dua Sisi Mata Uang


Seperti halnya yang kita ketahui, bahwa teknologi selalu membawa dua dampak: positif dan negatif.

“Teknologi” dalam pembahasan ini adalah kemudahan di dalam mengakses internet,

dalam konteks ini adalah bagi anak-anak.

Sebuah survei yang dilakukan oleh Yayasan Kita dan Buah Hati (Elly Risman) tahun 2005 melaporkan bahwa dari responden dengan rentang usia antara 9-12 tahun, 80% telah mengakses pornografi.

25 persen di antaranya mendapatkan akses itu dari ponsel,

20 persennya lagi dari situs-situs di internet,

sedang sisanya dari majalah, VCD, dan media lainnya.

Data dari dunia game online juga tak kalah mencengangkan.

Berdasarkan data di atas - kebebasan anak-anak untuk mengakses dunia maya - tentunya menjadi hal yang sangat mencemaskan.

Apalagi jika hal tersebut dilakukan di warnet, yang notabene terlepas dari pengawasan orangtua. (Meski sudah ada beberapa warnet yang menerapkan aturan ketat untuk hal ini).

Atas kekhawatiran itulah kemudian banyak dari para orangtua yang membekali anak-anak mereka dengan gadget pribadi,

dengan tujuan agar penggunaannya bisa mendapat pengawasan langsung oleh orangtua.

Tapi efektif-kah?

Sebuah pertanyaan menggelitik - yang saya yakini – kita semua bisa menjawabnya.


Bahaya Penggunaan Internet bagi Anak-anak


Kita memang tidak menutup mata akan hal-hal positif yang bisa didapatkan dari internet.

Namun, seperti yang sudah disinggung di atas tadi bahwa tanpa pengawasan yang ketat, penggunaan internet untuk anak-anak justru bisa menjadi bumerang.

Beberapa dampak buruk di bawah ini, seharusnya bisa menjadi pertimbangan bagi para orangtua sebelum mengijinkan anak-anak mereka mengakses internet.

[-]  Kecanduan pornografi dan game online

[-]  Dampak lanjutannya, anak-anak cenderung meniru perilaku buruk yang dilihatnya

[-]  Secara psikologis, anak akan menjadi gampang marah dan emosional

[-]  Dalam bidang pendidikan, hal ini bisa menjadikan anak malas, dan

[-]  Mengurangi kreatifitas mereka

[-]  Dari sisi keuangan keluarga, ini adalah pemborosan

[-]  Durasi yang lama di depan layar dapat mengganggu kesehatan mata anak-anak

[-]  Interaksi dengan dunia nyata akan berkurang

[-]  Kemungkinan terpapar oleh ide-ide yang menyesatkan


Proteksi Anak-anak dari Bahaya Internet


Bagaimanapun juga, sebagai bekal untuk menghadapi era yang “lebih digital” lagi,

setuju atau tidak, pengenalan terhadap dunia internet ini harus dilakukan pada anak-anak kita.

Mereka harus memiliki “senjata” untuk bisa survive di jamannya nanti.

Lalu langkah-alangkah apa yang tepat yang harus dilakukan oleh orangtua untuk mengatasi persoalan ini?

Berikut ini ada 10 langkah praktis yang bisa diterapkan untuk mengajarkan kepada anak-anak tentang dunia internet,

sekaligus melindungi mereka dari dampak buruknya.


1. Jelaskan hal-hal positif tentang gadget dan akses internet yang kita berikan

Ini adalah hal pertama yang harus kita lakukan.

Jelaskan manfaat yang bisa mereka dapatkan dari gadget dan internet,

lalu tekankan hal-hal buruk yang bisa diakibatkan olehnya.

Tentu saja hal ini baru bisa kita terapkan pada anak-anak yang sudah dapat membedakan mana hal-hal yang baik dan mana perilaku yang buruk.


2. Berikan gadget sesuai usia anak dan sesuai kebutuhan

Berkaitan dengan poin sebelumnya,

ketika anak masih belum bisa mempertanggung jawabkan perbuatannya, maka pemberian gadget dan akses internet justru hanya akan merusak mereka.

Dan sampai saat ini saya berpendapat bahwa untuk anak-anak usia SD,

pemberian akses internet masih belum diperlukan.

Kalaupun ada tugas sekolah yang mengharuskan mereka menggunakan internet,

maka kita bisa menemani mereka ke warnet atau meminjamkan laptop kita untuk sementara.


3. PC masih lebih relevan

Dibanding smartphone atau tablet, memberikan anak-anak sebuah komputer rumah masih lebih rasional.

Bentuknya yang tidak mobile akan memudahkan kita untuk mengawasi mereka.

Dengan meletakkan komputer di ruang tengah,

kita bisa langsung mengetahui apakah anak-anak sedang menggunakan fasilitas internet atau tidak.


4. Atur penggunaannya

Sebagai orangtua, kitalah yang mengatur anak. Bukan sebaliknya.

Kontrol untuk hal ini sepenuhnya ada di tangan orangtua.

Kapan anak-anak boleh menggunakan gadgetnya,

kapan mereka boleh mengakses internet,

berapa lama durasinya, dsb.

Dan seperti poin no. 3, jika anak-anak menggunakan laptop atau smartphone,

atur agar mereka tidak menggunakannya di kamar pribadi atau secara sembunyi-sembunyi.

Silahkan baca juga cara membuat kesepakatan dengan anak, di sini.


5. Sanksi yang tegas

Setiap peraturan harus memiliki sanksi yang tegas.

Segera terapkan ketika anak-anak melanggarnya.


6. Maksimalkan fasilitas parental control

Setting password wifi agar hanya kita saja yang tahu.

Kita juga bisa menginstal software proteksi,

serta melakukan pengaturan-pengaturan pada browser, ISP, dan menggunakan DNS Nawala untuk memblokir situs-situs terlarang.

Search Engine dan YouTube juga bisa diset untuk memblock konten-konten dewasa.

Selain itu kita juga bisa mengenalkan situs-situs yang bagus dan recommended untuk mereka.

Untuk langkah-langkahnya, kita bisa menggunakan mesin pencari untuk mencarinya.


7. Jadilah sahabat yang menjaga mereka

Sebagai “penjaga”, kita juga perlu melibatkan diri pada dunia mereka.

Kita bisa menjadi teman anak-anak di medsos, sehingga kita mengetahui ruang gerak mereka, siapa teman-temannya dan bagaimana anak-anak kita bersikap di dunia maya.

Kita harus bisa menjadi tempat bertanya dan curhat mereka.

Tekankan bahwa kita tidak melarang mereka ber-internet, tapi dengan batasan-batasan tertentu yang bisa mereka pahami.


8. Etika bergaul dan privasi

Yang juga penting untuk diajarkan kepada anak-anak adalah bagaimana melindungi privasi mereka di dunia online.

Tidak semua info pribadi boleh kita share di sana.

Nomor kontak, alamat rumah atau sekolah, foto-foto pribadi keluarga adalah data-data berharga yang hanya boleh diketahui oleh orang-orang tertentu saja.

Jelaskan juga bagaimana anak-anak harus bersikap pada teman-temannya,

juga pada orang-orang yang baru dikenalnya di media sosial.


9. Berikan teladan

Tentu saja, keteladanan adalah sebuah keharusan di dalam mendidik anak-anak.

Keteladanan juga berarti, kita ikut mematuhi peraturan yang kita terapkan pada anak-anak.


10. Jangan lupakan interaksi dunia nyata

Sebagai kesimpulan dan penutup artikel ini,

kita menyadari kebutuhan anak-anak terhadap gadget dan internet.

Namun bagaimanapun juga, hubungan sosial di kehidupan nyata juga tidak boleh ditinggalkan.

Jika perlu, mungkin ada hari-hari khusus dimana keluarga sama sekali tidak boleh menggunakan gadget dan internet.

Jika dirasa-rasa, poin terakhir ini kelihatannya seru juga ya?

Tuesday, August 16, 2016

Mendidik Anak itu Sulit, Awali dengan 3 Hal ini!

Pohon bambu adalah salah satu jenis pohon yang memiliki pertumbuhan paling cepat di dunia.

The Book of Bamboo, karangan David Farelly (1984) melaporkan bahwa sebuah pohon bambu bisa tumbuh setinggi 1 meter hanya dalam waktu 24 jam saja!

Dan pada beberapa jenis, bambu ini bisa tumbuh hingga mencapai ketinggian 30 meter!

parenting, pendidikan karakter, pendidikan anak

Namun tahukah anda bahwa untuk mencapai “kecepatan” tumbuh seperti itu, sebatang bambu membutuhkan waktu hingga 5 tahun...

Ketika pertama kali ditanam, bambu tidak akan menunjukkan perkembangan yang berarti, meski sudah dipupuk atau disiram setiap hari.

Hal ini terjadi hingga tahun keempatnya.

Namun saat menginjak umur 5 tahun, barulah bambu ini akan tumbuh melesat cepat dan menjulang dengan tingginya!

Alasan kenapa pada tahun-tahun pertamanya bambu tidak mengalami pertumbuhan pada batangnya,

karena ternyata, ia mengalami perkembangan pada akarnya.

Bambu sedang mempersiapkan akar yang kuat, yang akan ia gunakan untuk menopang dan menahan batangnya yang tinggi.

Dari filosofi bambu ini kita bisa ambil setidaknya 2 pesan moralnya.



Satu: Pendidikan anak-anak bukan sesuatu yang instan


Seperti bambu yang butuh waktu untuk persiapan tumbuh, begitu juga dengan anak-anak.

Kita tidak bisa mendidik mereka dengan hanya beberapa kalimat lalu berharap hasilnya bisa terlihat seketika itu juga.

Tentu butuh waktu yang panjang agar kalimat-kalimat itu bisa menancap kuat di dada mereka,

membentuk pola pikir mereka,

dan kemudian menentukan bagaimana mereka bertindak.

Saya sudah pernah menulis tentang tahapan mendidik anak di sini.

Karena itulah sebagai orangtua sekaligus pendidik mereka, kunci utamanya ada dua:

SABAR dan KONSISTEN.

Tanpa kedua hal ini, mustahil pendidikan bisa berhasil.



Dua: Pendidikan anak-anak harus dibangun sejak dini


Sebagaimana membangun sebatang bambu, maka seperti itulah gambaran kita membangun karakter anak-anak.

Mendidik mereka diibaratkan sama seperti mempersiapkan tunas-tunas bambu. (Mungkin karena inilah anak-anak itu disebut sebagai “tunas bangsa”).

Seorang ahli perkembangan dan perilaku anak, Brazelton, mengatakan bahwa tahun-tahun pertama yang dilalui oleh seorang anak akan menentukan pola pikirnya di dalam menghadapi permasalahan-permasalahan yang dihadapinya kelak.

Hal ini menunjukkan betapa pentingnya “pembentukan akar” untuk menghasilkan mental yang kuat pada diri anak-anak.

Lalu pertanyaannya,

jika proses pembentukan ini harus dimulai sedini mungkin, apa yang harus dilakukan oleh orangtua untuk mengawali langkah ini?

Studi dari beberapa psikolog anak menyebutkan bahwa untuk membentuk karakter yang kuat pada diri anak, maka ada 3 hal yang harus dimantapkan terlebih dahulu.

Ada yang menyebut ketiga hal ini dengan istilah “Triangle of Reflections”,

yaitu pemahaman tentang diri sendiri, pemahaman tentang lingkungannya dan pemahaman tentang Tuhan.


MEMAHAMI DIRI SENDIRI

Seperti yang pernah disampaikan pada 9 Tipe Kecerdasan Manusia, bahwa pada beberapa anak memang telah dianugerahi kecerdasan intrapersonal,

yaitu kemampuan untuk menganalisis kelebihan dan kekurangan diri sendiri.

Namun bukan berarti pada anak-anak yang lain kecerdasan ini tidak bisa dirangsang.

Justru jika anak-anak kita bukan termasuk yang memiliki kecerdasan tipe ini, maka kita harus berupaya membantu mereka untuk mengenali dan memahami diri mereka sendiri.

Beberapa langkah yang bisa kita lakukan antara lain:

1. Komunikasi dua arah


Biasanya, orangtua adalah pihak yang paling tahu tentang karakter buah hati mereka.

Maka bantulah mereka dengan sesering mungkin berkomunikasi secara pribadi.

Dorong mereka untuk mengutarakan perasaannya, lalu berikan saran atau motivasi untuk itu.

Hal ini dapat memicu kepercayaan diri mereka, yang dalam konteks ini, menjadikan mereka untuk berpikir secara lebih obyektif tentang kelemahan diri mereka.

2. Tidak terlalu mudah membantu mereka


Salah satu dari salah dua poin agar anak memahami dirinya sendiri adalah dengan mengerti tentang kelemahannya.

Dengan terlalu mudah menjadi dewa penolong di saat mereka kesulitan justru akan menutup pintu bagi mereka untuk memahami diri sendiri. (Silahkan baca 10 kalimat yang menghancurkan harga diri anak)


MEMAHAMI LINGKUNGANNYA

Satu-satunya cara untuk memahami lingkungan adalah dengan terjun langsung untuk bersosialisasi dengan mereka.

Dengan mengajari anak-anak bersosialisasi, berarti kita memberikan kesempatan kepada mereka untuk mengenali karakter-karakter di luar diri mereka,

yang hal ini tentu saja dibutuhkan untuk penguatan mental mereka.

Ada banyak cara yang bisa dilakukan untuk mengajari anak-anak mengenali lingkungannya.

1. Beri contoh langsung


Cara paling efektif untuk mengajari anak-anak adalah dengan memberi mereka contoh yang praktis.

Tunjukkan bagaimana kita menyapa tetangga, berbicara dengan teman atau berinteraksi dengan orang lain.

Hal ini dipercaya bisa mendorong mereka untuk bersikap terbuka terhadap lingkungannya.

2. Memiliki komunitas


Bagi siapapun, komunitas adalah sebuah tempat dimana setiap anggotanya lebih mudah untuk saling berinteraksi dan berbagi.

Hal ini karena pada komunitas terdapat kesamaan visi, misi ataupun hobi.

Jadi, tidak ada salahnya membiarkan anak-anak punya kelompoknya sendiri.

Atau kita bisa mengarahkan mereka untuk bergabung dengan tim- tim olahraga, atau sekedar bermain bersama dengan teman-teman di sekitar rumah.

3. Jangan terlalu over


Maksudnya adalah jangan terlalu memaksanya untuk keluar ataupun terlalu menahannya di dalam rumah.

Keduanya tidak baik untuk perkembangan anak-anak.

Persilahkan mereka untuk berekspresi, namun jangan sampai lalai mengawasi.


MEMAHAMI KONSEP KETUHANAN

Saat terbaik untuk mengajarkan sesuatu kepada anak-anak adalah ketika mereka sudah bertanya tentang hal itu.

Sebuah ungkapan mengatakan,

“When the student ask WHY or HOW, that is when they are really ready to learn something.”

Mungkin pernah terucap dari anak-anak kita pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan konsep ketuhanan ini. Misalnya,

“Kok dia bisa mati?”

“Tuhan itu di langit ya?”

“Uang ini dari Tuhan?”

Dan dengan berbagai variasinya.

Maka ketika kita berbicara tentang Tuhan kepada anak-anak, kita harus menggunakan bahasa mereka untuk menjelaskan hal ini.

Penjelasan sederhana seperti misalnya bahwa Tuhan itu tidak bisa dilihat namun bisa dirasakan, atau bahwa Tuhan akan selalu menjaga anak-anak yang baik,

bisa diberikan untuk mengawali penjelasan kita,

lalu secara bertahap sesuai dengan kapasitas usia mereka.

Selain dengan penjelasan-penjelasan sederhana, kita juga bisa mengajarkan kepada anak-anak untuk mengenal Tuhan mereka dengan misalnya,

mengajarkan doa-doa pendek yang dibaca setiap hari,

atau mengenalkan tentang ritual-ritual keagamaan yang memancing rasa ingin tahu mereka,

atau bisa juga dengan mengajak mereka bersedekah atau berbagi dengan anak-anak jalanan dan orang-orang yang kurang mampu.



Wednesday, August 10, 2016

3 Dampak Buruk Membanggakan Anak yang Tidak Disadari Orangtua

Mohon maaf jika beberapa hari ini ayahnulis.blogspot.co.id tidak mengupdate artikel-artikel terbaru,

karena ada beberapa hal yang harus diselesaikan di dunia nyata. H-hee...


Sebelumnya, ada 2 hal yang ingin saya sampaikan tentang anak atau lebih spesifik lagi adalah buah hati kita.


Pertama: Kehadirannya membahagiakan

Tidak bisa dipungkiri bahwa bagi sepasang suami-istri, kehadiran seorang anak adalah hal yang sangat dinantikan di dalam kehidupan mereka.

Berapa banyak pasangan yang sudah bertahun-tahun menikah namun masih belum juga dikaruniai momongan.

Bagi pasangan yang bersangkutan, hal ini bisa memicu efek psikologis, entah diakui atau tidak.

Belum lagi pertanyaan-pertanyaan “tajam” yang dilontarkan oleh orang-orang di lingkarannya.

“Kapan punya anak?”, atau “Sudah berapa anaknya sekarang?”

yang tentu saja semakin menambah beban bagi pasangan tersebut.

Nah, ketika kemudian kita dikaruniai oleh Tuhan seorang anak,

maka inilah suatu hal yang paling membahagiakan, yang mungkin sulit diungkapkan oleh deretan kata-kata.


Kedua: Prestasinya membanggakan

Kalau kehadirannya saja sudah membahagiakan, bagaimana jika seandainya di dalam perkembangannya ia memiliki “nilai lebih” dibandingkan dengan teman-teman sebayanya?

Tentu, sebagai orangtua kita memang pantas bersyukur.

Sebenarnya tidak ada larangan untuk mensyukuri rezeki yang dikaruniakan Tuhan kepada kita.

Malah hal ini sangatlah dianjurkan oleh agama.

Namun yang perlu digarisbawahi di sini adalah bahwa “mensyukuri” dan “membanggakan” memiliki definisi arti yang jauh berbeda,

meski di dalam praktek nyatanya justru batasan yang ada amatlah tipis.

Jika mau disandingkan,

biasanya SYUKUR itu bersifat “ke dalam”, sedang BANGGA lebih cenderung “keluar”.

Syukur itu dinikmati di dalam hati, sedang kebanggaan itu diberitakan ke tetangga-tetangga.

Maka ketika kita mencoba bersyukur dengan cara “keluar”, bisa jadi saat itulah kita terjebak ke dalam definisi membanggakan.

Kalau sudah membanggakan, maka tinggal satu klik saja kita sudah masuk ke dalam ketegori MENYOMBONGKAN.

Pernah dengan ibu-ibu yang berkumpul lalu masing-masing menceritakan keunggulan putra-putri mereka?

“Alhamdulillah, bu. Anak saya sudah bisa membaca meski umurnya baru 2 tahunan.”

“Anak saya itu aktif sekali lho, Jeng. Masa’ belum 1 tahun sudah jalan...”

Ini adalah sedikit contoh bagaimana orangtua membanggakan kelebihan anak-anak mereka.

Alih-alih menuai hasil yang positif, sikap bangga atas prestasi anak ini justru akan menimbulkan dampak yang tidak baik.

Berikut ini adalah akibat buruk yang tidak disadari orangtua karena membanggakan anak-anak.


1. Kebiasaan Membandingkan


Saat kita membanggakan kelebihan anak kita, maka yang terjadi sebenarnya adalah kita membandingkannya dengan anak lain (atau anak lawan bicara kita).

Kenapa membandingkan ini menjadi dampak yang buruk?

Ketika kita sudah terbiasa membandingkan anak kita dengan anak orang lain,

maka perhatian kita akan teralihkan.

Kita tidak lagi fokus memperhatikan anak sendiri, melainkan lebih konsentrasi pada anak orang lain.

Inilah yang menyebabkan perhatian kita terhadap anak sendiri menjadi berkurang.

Selain itu, dampak buruk dari kebiasaan membandingkan ini adalah perasaan tidak nyaman dari lawan bicara kita.

Jika kebetulan anak lawan bicara kita “lebih unggul” daripada anak kita, maka bisa jadi ia akan membantah atau mengkritisi pernyataan kita,

yang hal ini sangat mungkin memicu perdebatan dan pertengkaran.

Namun jika anak dari lawan bicara kita ternyata jauh di bawah prestasi anak kita,

maka yang terjadi biasanya adalah mereka akan memaksa atau menuntut agar anak mereka bisa sama seperti anak kita, atau bahkan lebih unggul.

Hal inilah yang menjadi penyebab anak tertekan dan terbebani.


2. Kebiasaan Menggunakan Tolok Ukur Anak Lain


Setiap anak itu memiliki kecerdasannya masing-masing.

Anda bisa baca tentang 9 macam tipe kecerdasan anak di sini.

Karena itu kita tidak bisa menilai kelebihan seorang anak diukur berdasarkan prestasi anak lain.

Jika hal ini yang terjadi maka kita sudah terjebak pada cara pandang bertingkat,

dimana si A dinilai lebih baik daripada si B, hanya karena si B tidak memiliki prestasi seperti si A.


3. Kebiasaan untuk Bersaing


Setelah membandingkan anak yang satu dengan anak yang lain,

lalu menilai mereka dengan tolok ukur yang salah,

maka dampak selanjutnya yang akan muncul dari sikap membanggakan ini adalah kebiasaan untuk bersaing.

Berkompetisi dengan cara yang sehat tentu saja baik untuk perkembangan mental mereka.

Namun jika kebiasaan ini adalah karena “merasa kalah” dan ingin selalu lebih unggul daripada anak lain,

maka ini yang tidak sehat.

Persaingan semacam ini akan membawa “penyakit” baru di dalam dunia mereka, yaitu dendam.

Sehingga kemudian mereka lebih suka bertarung daripada berteman.


Tahan diri dari sikap membanggakan


Sebenarnya, ada satu hal yang bisa kita tanamkan ke dalam diri kita untuk menjaga kita dari sikap membangga-banggakan anak,

yaitu pemahaman bahwa mereka itu masih anak-anak.

Mereka masih dalam proses berkembang dan membentuk.

Karena itulah, masih terlalu dini bagi kita untuk membangga-banggakan mereka sekarang.

Kalau nanti mereka menjadi seperti apa yang kita banggakan, tidak jadi masalah.

Jika tidak? Kita dan mungkin juga mereka akan menjadi bahan ejekan orang lain.

Praise them it’s ok.

Tapi memuji pun jangan sampai merusak harga diri mereka,

dan jangan berlebihan yang membuat mereka menjadi sombong.

Ingatlah bahwa perjalanan mereka masih sangat panjang.

Mereka masih harus melewati banyak rintangan dan permasalahan.

Jadi daripada membangga-banggakan mereka, bukankah lebih baik kita fokus pada setiap tahap perkembangan mental mereka?


Cerita 1

Ada seorang ibu-ibu yang senang sekali menceritakan prestasi anaknya.

Bagaimana tidak, anaknya ini sudah hafal 3 juz Al-Qur’an meski usianya belum sampai 5 tahun.

Awalnya dia berpendapat prestasi itu perlu diceritakan agar menjadi motivasi bagi orangtua yang lain.

Namun beberapa waktu kemudian, anaknya ini tiba-tiba tidak mau lagi melanjutkan hafalannya. Meski si ibu sudah membujuknya dengan berbagai cara.

Ada semacam tekanan orangtua yang tidak bisa dihadapi oleh si anak.


Cerita 2

Ada seorang bapak yang seringkali membangga-banggakan anaknya di depan teman si bapak tersebut.

Tentang anaknya yang langganan juara, lalu mendapat bea siswa untuk masuk di universitas terkemuka, dan bla bla bla...

Namun bertahun kemudian, nasib bergeser.

Anak si bapak tadi sekarang hanya punya usaha kecil-kecilan di rumah, sedangkan anak temannya sering mendapat undangan ke berbagai negara untuk seminar atau mengajarkan ilmunya.

***

Sebenarnya jika kita mau membuka mata dan telinga, ada banyak cerita di sekitar kita yang bisa dijadikan contoh.

Tahanlah diri dari berbangga, karena sombong adalah teman dekatnya.

Syukuri dalam hati, nikmati di dalam sunyi.

Doakan mereka agar menjadi lebih baik,

dengan mengajarkan dan mencontohkan hal-hal yang baik.



Sunday, August 7, 2016

Anak Juga Punya Harga Diri, 10 Kalimat Ini Akan Menghancurkannya!

Harga diri - atau yang biasa diterjemahkan sebagai penilaian terhadap diri sendiri – adalah suatu komponen yang harus ada pada diri setiap anak.

Harga diri biasanya tumbuh seiring dengan kepercayaan diri.


Pada beberapa kondisi,

mereka merasa diri mereka tidak berharga sehingga membutuhkan penghargaan dari lingkungan sekitarnya.

Hal inilah yang kemudian melahirkan permasalahan lanjutan, yaitu menurunnya rasa percaya diri.

Ternyata Disiplin Juga Bisa Merusak Anak! yang sempat saya share beberapa minggu yang lalu menjelaskan dampak-dampak yang timbul

apabila perasaan tidak dihargai ini terlanjur melekat pada diri mereka.

Kita – para orangtua – tentu berharap agar anak-anak kita memiliki rasa percaya diri yang bagus dan kemampuan untuk menghargai diri mereka sendiri.

Namun sayangnya, tidak semua respon kita berkontribusi ke arah sana.

Yang seringkali terjadi malah sebaliknya,

respon kita terhadap apa yang mereka lakukan – tanpa kita sadari - justru dapat mengikis harga diri mereka.

Riset dari beberapa orang yang concern terhadap dunia parenting, merumuskan ada 10 kalimat yang bisa menghancurkan harga diri anak-anak.


1. Kalimat “Kamu memang hebat...”


Banyak dari kita yang beranggapan bahwa pujian terhadap anak bisa menumbuhkan rasa percaya diri mereka.

Hal ini bisa jadi benar, bisa jadi tidak.

Untuk lebih jelasnya, anda bisa membaca kembali 7 aturan tentang memuji anak di sini.

Salah satu poinnya adalah memuji apa yang dilakukan, bukan memuji siapa yang melakukan.

“Kamu penari yang hebat...”

“Kakak pandai ya... bisa ranking 1 lagi!”

Adalah contoh-contoh pujian yang ditujukan untuk pelakunya.

Hal ini tidak akan menambah rasa percaya diri atau membentuk harga dirinya.

Bagaimanapun kita perlu menekankan pentingnya sebuah proses bagi mereka.

Karena jika mereka tidak tahu pentingnya sebuah proses (artinya mereka hanya terpacu kepada hasil),

maka anak-anak itu akan berpikir bahwa pujian itu hanyalah karena hasil yang telah mereka capai dan mereka tidak pernah merasa ada apresiasi untuk kerja keras yang telah dilakukan.

Maka yang jauh lebih membangun adalah pujian atas usaha mereka, misalnya,

“Tarian yang tadi sangat indah sekali, Sayang. Kamu pasti berlatih keras untuk itu. Ibu suka.”

“Itulah kalau kakak rajin belajar, hasilnya... kakak bisa menjawab semua soalnya dengan mudah!”

Dengan gaya memuji yang seperti ini, maka di dalam hati anak-anak itu akan ada respon seperti ini,

“Aku telah berlatih dan berusaha keras. Dan orangtuaku ternyata menghargaiku usahaku itu.”

Lihat,

dari sinilah harga diri itu tumbuh.


2. Kalimat “Kamu membuat ibu marah!”


Biasanya orangtua mengucapkan kalimat ini dengan tujuan untuk membuat anak menyadari dan mengubah perilaku buruknya.

Namun, kalimat-kalimat yang senada dengan ini justru akan membuat anak merasa bersalah, takut dan rendah diri.

Ketika sedang marah, hindarilah mengucapkan kalimat-kalimat seperti ini.

Lebih baik ajaklah anak berdiskusi tentang apa yang dilakukannya. Bantu anak memahami apa yang sedang terjadi.


3. Kalimat “Gitu aja gak bisa...”


Masing-masing anak terlahir dengan kemampuan yang berbeda-beda.

Bisa jadi sebuah tugas yang sama menjadi mudah dilakukan oleh anak yang satu, namun sangat sulit dikerjakan oleh anak-anak yang lainnya.

Orangtua harus bisa memahami hal ini.

Mengatakan “Begitu saja tidak bisa...” atau “Ini lho gampang. Seharusnya kamu mampu...”

sebenarnya justru akan mengecilkan kepercayaan diri anak-anak dan membuat mereka mudah putus asa.

Tanpa disadari pemikiran yang akan muncul pada pada diri anak adalah,

“Berarti ada yang salah dengan diriku. Mungkin aku memang anak yang bodoh...”

Sebaliknya, jika kita katakan bahwa hal tersebut mungkin adalah hal yang sulit,

dan terus mendorong mereka untuk berusaha dan tetap berpikir positif,

maka jika ternyata mereka bisa melakukannya, kepercayaan diri mereka akan langsung meningkat.

Akan tetapi jika mereka gagal, paling tidak mereka tahu bahwa hal tersebut memang sulit sehingga anak-anak tidak merasa minder.


4. Kalimat “Kamu tidak akan mampu melakukannya”


Mungkin anda akan bertanya, apakah ada orangtua yang mengatakan hal seperti itu kepada anak mereka?

Jika yang dimaksud adalah perkataan secara verbal, mungkin tidak ada.

Namun yang menjadi poin di sini adalah bahasa tubuh orangtua yang menunjukkan hal itu.

Kapan bahasa tubuh kita mengatakan hal itu?

Saat anak kesulitan mengikat tali sepatunya, lalu kita membantu mengikatkannya.

Saat anak kerepotan memakai baju seragamnya, lalu kita memakaikannya.

Intinya adalah membuat segalanya terlalu mudah bagi anak.

Hal ini akan menghilangkan kesempatan mereka untuk belajar mandiri.

Tidak terlalu mudah memberikan bantuan kepada anak juga melatih mereka untuk bertanggung jawab terhadap diri mereka sendiri.


5. Kalimat “Jangan lakukan itu, nanti kamu...”


Atau kalimat lainnya yang menyiratkan ketakutan kalau anak-anak kita akan melakukan kegagalan.

Kegagalan,

bagaimanapun juga - jika disikapi dengan pikiran positif – bisa memiliki dampak yang baik.

Kegagalan anak-anak sebenarnya adalah kesempatan mereka untuk bersikap kesatria dengan mengakuinya, lalu bangkit kembali untuk memperbaikinya.

Setiap kita juga pernah gagal. Hal itu jugalah yang membentuk diri kita yang sekarang, bukan?

Kita, pada akhirnya belajar dari kegagalan tersebut.

Sebagai orangtua, kita mungkin merasa harus mencegah mereka dari kegagalan. Namun, sikap ini tidak membantu untuk membentuk kepercayaan diri mereka.

Karena jika dicermati,

yang membuat kita merasa memiliki harga diri bukan karena kita tidak pernah gagal,

namun bagaimana cara kita menanggapi serta mengatasi kegagalan tersebut.

Maka cara bertindak terhadap sebuah kegagalan inilah yang seharusnya kita ajarkan kepada mereka.


6. Kalimat “Nanti saja, ya...”


Anak-anak kita adalah bagian dari hidup kita. Maka semestinya mereka juga punya hak atas waktu kita.

Sebagai bagian dari tugas orangtua untuk membiayai kehidupan dan pendidikan mereka, kita mungkin harus bekerja keras untuk memenuhinya.

Namun menyediakan waktu kita untuk mereka telah menjadi bagian dari tugas kita juga.

Artikel yang berjudul Punya Perasaan Bersalah Terhadap Anak-anak? Hati-hati! bisa memperjelas bagian ini.

Ketika anak-anak kita mengajak bermain di saat kita sedang sibuk, lalu kita menunda-nunda waktunya atau mengalihkannya untuk bermain dengan orang lain,

sebenarnya kita telah mengikis harga diri mereka,

karena anak akan mulai merasa bahwa kita “menghindari” mereka, sehingga muncul perasaan bahwa diri mereka tidak diinginkan di dalam keluarga.

Duduk bersama dan mengobrol ringan tentang kegiatan mereka di rumah,

pergi ke masjid atau ke pasar dengan berjalan kaki,

atau meminta mereka membantu pekerjaan kita di rumah,

adalah cara-cara sederhana dan tidak meminta waktu banyak untuk membuat anak merasa dihargai.


7. Kalimat “Kamu ini memang nakal...”


Ucapan kepada anak “Kamu kok nakal sih?”, “Kamu ini bodoh sekali...”, “Dasar tidak tahu diri!”, dan ucapan sejenis yang mengisyaratkan pelabelan pada anak menjadikan mereka cenderung meng-iyakan sebutan itu.

Dengan melabeli anak-anak dengan label yang buruk sebenarnya orangtua telah mendoakan mereka untuk menjadi seperti label tersebut.

3 Macam Cara Orangtua Mendoakan Keburukan untuk Anaknya boleh anda baca terlebih dahulu.

Saat anak-anak dipanggil dengan sebutan yang buruk, maka yang akan subur adalah perasaan rendah dan minder pada diri mereka.

Karena itu ketika kita sedang marah, tahanlah diri untuk tidak menyebut mereka dengan sebutan yang buruk.


8. Kalimat “Kalau kamu tidak mau menuruti ibu, ibu akan...”


Sebut saja kalimat mengancam.

Contoh yang senada sudah pernah saya pakai pada artikel yang berjudul Anak Tidak Menurut, Mungkin Kita Melakukan Kebiasaan “Kecil” Ini, namun dengan maksud yang berbeda.

Para orangtua biasanya menggunakan cara yang dianggap ampuh untuk membuat anak menuruti kemauan mereka.

Yaitu dengan metode ancaman.

Dengan cara ini kita berharap agar anak-anak mau melakukan sesuatu yang sebelumnya tidak ingin mereka lakukan.

Pada akhirnya, mungkin mereka akan melakukannya.

Namun tanpa kita sadari metode seperti ini justru akan menanamkan pada diri anak-anak bahwa untuk mendapatkan penghargaan orang lain,

mereka harus melakukan sesuatu yang diminta oleh orang tersebut.

Pakar parenting anak menyebut bahwa anak-anak yang tumbuh dewasa dengan cara ini cenderung menjadi korban kekerasan seksual ataupun KDRT.


9. Kalimat “Sudah, tidak apa-apa...” atau “Sudah, lupakan saja...”


Ucapan-ucapan semisal ini sepintas terlihat baik untuk mereda kekecewaan atau kemarahan anak,

namun dengan kalimat seperti itu anak akan merasa bahwa orangtua mereka tidak menghargai apa yang sedang mereka rasakan.

Seolah-olah mereka berkata, “Aku ini kecewa, aku ini sakit hati. Kenapa ayah bilang tidak apa-apa?”

Ketika setiap mereka mendapat masalah kita selalu menekankan “Sudah, tidak apa-apa”,

maka mereka akan terdoktrin untuk mentoleransi semua keadaan.

Masalahnya adalah,

kita tidak pernah bisa menjamin bahwa apa yang akan dialami anak-anak kita adalah sesuatu yang baik untuk tumbuh-kembang mereka.

Pada perjalanan mereka nanti, pasti akan ada keadaan dimana mereka tidak boleh membiarkannya.

Maka yang perlu kita ajarkan kepada mereka bukan sikap mentoleransi semua keadaan,

namun bagaimana mereka bersikap atas keadaan tersebut.

Saat mereka terjatuh, jangan katakan “tidak apa-apa”.

Namun ajari mereka untuk berhati-hati memilih jalan yang tidak licin.

Saat mereka diganggu teman-teman sekelasnya, jangan katakan “lupakan saja”.

Namun ajari mereka bagaimana merespon kondisi tersebut.

Cara-cara inilah yang lebih menumbuhkan harga diri mereka.


10. Kalimat “Terserah!!!”


Sebenarnya saya cukup kesulitan mencari judul yang tepat untuk poin terakhir ini, karena kalimat yang akan saya contohkan menggunakan bahasa Jawa.

Namun saat ditranslate ke dalam bahasa Indonesia hasilnya kurang bisa menunjukkan maksud yang sebenarnya.

Karena alasan itulah saya harus menggunakan 3 buah tanda seru agar maksudnya bisa ditangkap.

Contoh-contoh kalimat lainnya misalnya, “Semaumu!!!”, “Kalau tidak bisa, ya sudah!!!”,

atau kalimat-kalimat lain yang mengindikasikan sikap pesimis dan menyerah ketika merasa gagal saat melakukan sesuatu.

Bagaimana kalimat-kalimat semacam ini bisa menurunkan harga diri anak?

Jawabannya sederhana. Like father like son atau Buah apel jatuh tidak jauh dari pohonnya.

Anak-anak kita selalu melihat dan mendengar kita. dari situlah mereka belajar.

Ketika yang sering mereka dengar adalah ungkapan-ungkapan pesimistis, maka seperti itulah mereka merespon masalah yang mereka hadapi.

Jadi ketika kita berharap anak-anak kita menjadi pribadi yang percaya diri,

maka bentuklah diri kita menjadi sosok orangtua yang optimis.

Friday, August 5, 2016

4 Cara Menarik Rezeki yang Berkah untuk Keluarga

Mungkin di antara anda ada yang bertanya-tanya kalau blog ini adalah blog tentang parenting, kenapa harus membahas soal rezeki?

Apa ada hubungannya?

Jelas, ada.


Ketika kita membahas tentang bagaimana membentuk anak yang berkepribadian baik, maka hal ini tidak akan lepas dari bagaimana karakter atau kepribadian orangtuanya.

Dan ketika kita membahas tentang kepribadian dan sifat seseorang, maka hal ini tidak bisa lepas dari bagaimana pola konsumsi atau makanan yang masuk ke dalam tubuh orang tersebut.

Dr. Alexis Carrrel, seorang ahli transplantasi organ tubuh manusia dalam sebuah studinya mengatakan,

“Pengaruh dari senyawa kimia yang ada di dalam makanan terhadap pikiran manusia belum diketahui secara tepat, karena belum pernah dilakukan penelitian secara memadai.

Namun tidak diragukan lagi bahwa perasaan manusia sangat dipengaruhi oleh kualitas dan kuantitas makanan yang dikonsumsinya.”

Jadi secara kronologis,

makanan akan membangun perasaan seseorang.

Perasaan ini kemudian membentuk cara berpikirnya.

Dan cara berpikir ini akan berpengaruh pada cara dia bertindak.

Dalam hal ini berarti cara dia mendidik anak-anak dan keluarganya.

Sementara dari sisi agama, Rasulullah sudah pernah mengingatkan,

“Dan makanannya dari barang yang haram, minumannya dari yang haram, pakaiannya dari yang haram, dan diberi makan dengan makanan yang haram. Maka bagaimanakah Allah akan memperkenankan doanya?”
(Diriwayatkan oleh Imam Muslim dengan sanad yang shahih)


Keharaman menghilangkan keberkahan

Secara sederhana, kata “berkah” bisa kita definisikan dengan “sesuatu yang mengandung kebaikan atau manfaat yang banyak”.

Jika dihubungkan dengan dunia parenting,

maka mustahil kita memperoleh anak-anak yang baik dan keluarga yang tenteram-harmonis jika apa yang dikonsumsi oleh keluarga kita tidak mengandung keberkahan,

karena bercampur dengan rezeki yang haram.

Maka sebagai seorang muslim - sekaligus orangtua - yang mendambakan anak-anak yang tumbuh sebagai pribadi yang baik,

hal yang harus dilakukan adalah mengupayakan rezeki yang berkah untuk anak dan keluarga kita.

Ini adalah sesuatu yang wajib diprioritaskan.

Hanya masalahnya,

rezeki yang berkah dan rezeki yang tidak berkah,

ia tidak bisa dilihat secara kasat mata. Ia hanya bisa dirasakan dengan rasa dan hati nurani.

Sehingga bisa saja sifat berkah itu terdapat pada jumlah rezeki yang sedikit. Bisa juga pendapatannya melimpah namun tidak ada nilai manfaat di dalamnya.

Akan tetapi, ini yang perlu dicermati,

meski rezeki yang tidak berkah itu tidak bisa dilihat secara langsung, namun ada beberapa tanda yang bisa kita digunakan untuk mendeteksinya.

Saya mendapatkan setidaknya ada 5 ciri-ciri harta yang tidak berkah.

Tanda rezeki tidak berkah itu di antaranya adalah:


1. Cepat habis


Keberkahan itu berbanding lurus dengan kecukupan.

Jadi ketika suatu harta jauh dari berkah, maka ia akan mudah sekali habis tanpa meninggalkan manfaat yang berarti.

Kita mungkin pernah mengalami situasi dimana gajian baru kemarin tapi tiba-tiba sekarang sudah habis, dan kita tidak sadar digunakan untuk apa saja uang tersebut.

Jika hal seperti sering terjadi, coba ingat-ingat lagi barangkali ada hal-hal yang kita lakukan yang membuat Sang Pemberi Rezeki tidak ridho dengan kita.

2. Membuat gelisah


Karena berasal dari Dzat yang Maha Suci, maka keberkahan punya korelasi dengan ketenangan.

Kita sudah singgung tadi bahwa berkah-tidaknya sebuah rezeki bisa dirasakan dengan hati kita.

Jika hati kita menjadi semakin gelisah ketika mendapatkan harta tersebut, maka ada kemungkinan apa yang kita peroleh tersebut bukanlah rezeki yang berkah.

Maka coba di-trace kembali, siapa tahu ada jalur yang haram yang dilewati rezeki tersebut untuk sampai kepada kita.

3. Menimbulkan penyakit


Hal ini bukan berarti ketika kita sakit, berarti rezeki kita pasti tidak berkah.

Namun di antara sifat-sifat harta yang haram adalah menimbulkan kerusakan ketika dikonsumsi.

Kata “al-khoba-aits” yang digunakan Al-Qur’an untuk menunjukkan sesuatu yang buruk atau jahat, ternyata juga memiliki arti “busuk” dan “kotor”.

Maka bagaimana seandainya sesuatu yang busuk dan kotor dikonsumsi oleh tubuh???

Ada sebuah catatan bagus, namun saya tidak tahu siapa penulisnya. Catatan itu berbunyi,

“Gen di dalam tubuh manusia telah diatur untuk menyakini sebuah kebenaran hakiki. Jika kebenaran tersebut dilanggar, maka gen itu akan “memberontak”. Dan inilah awal dari kecemasan dan ketakutan.”
(Dave Osborne-Anonymous)

Hal ini menjelaskan bahwa ketika ada sesuatu yang haram masuk ke dalam tubuh kita, maka secara naluriah sel-sel di dalam tubuh akan “menolak” hal tersebut.

Akibatnya tubuh merasa tidak nyaman, apalagi ditambah dengan kegelisahan (seperti yang ditulis pada poin no. 2),

inilah yang menyebabkan timbulnya penyakit-penyakit pada tubuh kita.

4. Menjauh dari hal-hal baik


Keberkahan itu adalah hal yang baik dan membawa pada hal-hal yang baik pula.

Jika keberkahan tidak ada pada harta kita, maka ia akan sulit sekali dipakai untuk hal-hal yang baik. Seandainya bisa pun, maka kebaikan itu tidak akan bermanfaat bagi diri kita.

Maka bagaimanakah Allah akan memperkenankan doanya?”

Karena itulah, tidak mungkin kita mendidik anak-anak kita menjadi orang-orang baik kalau apa yang kita makan dan apa yang mereka makan berasal dari hal-hal yang tidak baik.

5. Mendorong ke hal-hal buruk


Sebagaimana suatu kebaikan akan membuka pintu-pintu kebaikan yang lain, maka begitu juga dengan keburukan.

Jika harta didapatkan dari jalur yang salah, maka ia akan cenderung dibelanjakan untuk sesuatu yang salah pula.

Maka jangan heran kalau anak-anak kita menjadi anak-anak dengan tipikal pemberontak dan susah diajak kepada kebaikan...

Salah satu sebabnya adalah rezeki yang kita berikan kepada mereka berasal dari jalur yang tidak baik.

***


Lalu sebagai solusinya, bagaimana cara kita mendapatkan rezeki yang berkah ini?

Penyebab rezeki yang tidak berkah salah satunya karena aktifitas yang dilakukan untuk mendapatkan rezeki tersebut adalah termasuk ke dalam hal-hal yang dilarang oleh agama.

Hal-hal yang terlarang ini juga bisa menjadi sebab penghambat rezeki yang baik.

Maka kali ini perlu dijelaskan pula bagaimana cara agar rezeki yang kita dapatkan adalah rezeki yang mengandung keberkahan.

Ust. Widjayanto - atau yang kerap disapa Uwi - dalam sebuah acara di televisi menyebutkan ada 4 hal yang harus kita lakukan agar rezeki yang datang kepada kita adalah rezeki yang berkah.

Keempat hal tersebut mutlak diperlukan dan harus dilakukan dengan benar.

Sebab jika salah satu saja tidak dilakukan, maka rezeki yang kita dapatkan akan menjadi tidak berkah.

Apa saja 4 hal tersebut?


1. NIAT HARUS BENAR


Kita sering mendengar bahwa setiap apa yang kita lakukan tergantung dari niatnya.

Di dalam Islam, perbuatan mubah yang diniatkan untuk beribadah, maka ia akan bernilai ibadah.

Gampangnya, jika niat kita bekerja karena ingin mendapatkan uang,

maka kita akan mendapatkan uang.

Jika kita bekerja karena untuk beribadah dan mendapat ridhonya Allah,

maka kita akan mendapatkan rezeki yang berkah.

Maka niat yang benar inilah pintu pertama untuk mendapatkan rezeki yang berkah.


2. CARA KERJA HARUS BENAR


Ketika niat kita sudah benar, maka kita AKAN mendapatkan hasil tersebut.

Tapi baru ‘akan’ lho ya...

Kalau tidak dikerjakan, mana mungkin menghasilkan?

Karena untuk mendapat rezeki yang baik harus dilakukan dengan cara yang baik pula. Tidak melalui cara menipu, mencuri, mengurangi takaran, riba, dsb.


3. BENDA KERJANYA HARUS BENAR


Selain NIAT dan CARA yang harus benar, hal berikutnya yang harus dipastikan kebenarannya adalah benda kerjanya.

Sebab bisa jadi caranya sudah benar, misalnya melalui jual-beli,

namun yang menjadi obyek jual belinya adalah narkoba, minuman keras atau hal-hal terlarang lainnya.

Cara-cara seperti inilah yang bisa menjadi penyebab terhalangnya rezeki yang baik.


4. PERUNTUKAN HASILNYA HARUS BENAR


Sebagaimana rezeki yang buruk akan cenderung lari ke arah yang buruk dan rezeki yang baik berpotensi menuju ke yang baik,

maka kita bisa menggunakan teknik berpikir terbalik di sini.

Dengan menyalurkan harta kita untuk sesuatu yang baik, maka ia akan “menarik” rezeki-rezeki yang baik untuk datang kepada kita.

Tuesday, August 2, 2016

6 Aturan Penting yang Diabaikan Saat Membuat Kesepakatan dengan Anak

Saya pernah men-share sebuah artikel di blog ini tentang bagaimana mengatasi anak yang marah di tempat umum.

Jika anda belum sempat membacanya, anda bisa baca di sini.

Di dalam artikel tersebut, pada salah satu poinnya disebutkan untuk membuat “kesepakatan” dengan anak sebelum kita berangkat ke tempat tujuan.

Cara ini dianggap cukup ampuh untuk mengantisipasi atau meminimalisir tingkah buruk anak-anak selama dalam perjalanan atau ketika berada di tempat tujuan.

kesepakatan dengan anak, perjanjian dengan anak

Lalu timbul sebuah pemikiran di dalam benak saya,

jika kita bisa meredam perilaku yang tidak menyenangkan dari buah hati kita dengan kesepakatan ini,

maka seharusnya tidak mustahil kita membangun sikap disiplin mereka dengan teknik yang sama.

Dengan membuat kesepakatan bersama,

anak-anak akan memiliki semacam role model untuk diikuti dan aturan-aturan yang akan mengarahkan mereka pada perilaku yang lebih baik.

Dan yang menarik adalah,

pada perjalanannya nanti, kesepakatan yang kita buat bersama anak-anak ini tidak akan lagi mereka anggap sebagai perintah dari kita,

melainkan sudah menjadi pegangan dalam keseharian mereka.

Dengan kata lain, pelaksanaan kesepakatan tersebut akan dilakukan dengan KESADARAN mereka sendiri.

Sehingga meskipun tidak ada kesepakatan tertulis, hal tersebut tidak akan mempengaruhi mereka.

Menurut saya, ini adalah nilai plusnya.

Namun ada sedikit perbedaan pada kesepakatan yang hanya untuk mengantisipasi emosi si kecil di tempat umum dengan kesepakatan yang kita buat untuk menumbuhkan sikap disiplin mereka.

Perbedaan yang paling menonjol adalah, kesepakatan untuk tujuan yang pertama ini hanya bersifat sementara.

Yaitu hanya selama mereka berada di tempat yang dimaksud.

Sedang kesepakatan dengan tujuan yang kedua lebih bersifat jangka panjang.

Karena itu, untuk kesepakatan yang kita tujukan untuk peningkatan kedisiplinan ini ada beberapa aturan-aturan yang perlu diperhatikan.

Aturan-aturan ini perlu dijalankan agar kesepakatan yang dibuat tidak justru melahirkan perasaan terpaksa dan tertekan pada diri anak.

Banyak orangtua yang membuat kesepakatan dengan buah hati mereka namun mengabaikan hal-hal yang sebenarnya sangat penting ini.

Saya mencatat setidaknya ada 6 hal yang perlu diperhatikan orangtua saat akan membuat kesepakatan bersama anak.


1. Keterlibatan semua komponen keluarga


Pada artikel yang ini: Pendidikan Tidak Berhasil, Mungkin Kita Melakukan Kesalahan Ini!

dijelaskan bahwa ketidak-kompakan komponen keluarga akan menyebabkan kegagalan proses pendidikan buah hati kita.

Komponen keluarga, dalam hal ini bisa berarti ayah-ibu, kakek-nenek, saudara, paman dan siapapun yang tinggal bersama atau memiliki ikatan yang erat dengan anak kita,

harus mempunyai langkah yang sama dalam upaya pengembangan karakter anak.

Jika tidak begitu, maka yang terjadi adalah “penggembosan”.

Diibaratkan seperti seseorang yang berjalan dengan salah satu kaki yang diikat beban,

akan terasa berat untuk sampai ke tempat tujuan.

Jadi libatkan semua anggota keluarga, dan pastikan mereka mendukung kesepakatan yang kita buat bersama si kecil.


2. Kesepakatan untuk hal-hal yang paling penting saja


Aturan yang perlu diperhatikan berikutnya adalah jumlah kesepakatan yang jangan terlalu banyak bagi anak.

Pilih hal-hal yang dianggap paling penting saja.

Lebih baik jika difokuskan pada nila-nilai yang dijunjung di dalam keluarga tersebut, misalnya menepati janji, jujur, dsb.

Namun harus diingat bahwa cara berpikir anak-anak itu tidak seperti cara berpikir kita.

Sehingga kita tidak harus memasukkan semua hal-hal baik di dalam kesepakatan bersama ini.

Kita bisa mensiasatinya dengan memilih beberapa hal terlebih dahulu untuk beberapa minggu. Lalu menambah atau menggantinya pada minggu-minggu berikutnya.


3. Apa yang harus dilakukan, bukan apa yang dilarang


Penekanan tentang apa yang harus dilakukan dan bukan pada apa yang dilarang ini bukannya tanpa sebab.

Jika kesepakatan yang kita buat lebih banyak berisi konten larangan, maka anak akan merasa dikekang.

Tidak boleh begini, dilarang begitu dan jangan seperti ini.

Maka seperti yang sudah saya share pada artikel tentang bagaimana cara kita mengoreksi kesalahan anak tanpa mendapat penolakan (anda bisa baca di sini),

kecenderungan anak untuk mengeksplore informasi yang diterimanya bisa menjelaskan poin ketiga ini.

Pada beberapa tipe anak, mereka akan lebih memilih untuk “menyelidiki” penyebab larangan daripada sekedar bertanya “Kenapa?”

Karena itu fokus pada apa yang seharusnya mereka lakukan lebih berdampak positif daripada list yang cuma berisi larangan-larangan.


4. Tulis di tempat yang bisa dilihat anak


Meletakkan poin-poin kesepakatan bersama di tempat yang bisa dilihat oleh anak ini memiliki keuntungan.

Yaitu mencegah anak dari sikap menghindar atau lari dari tanggung jawab ketika tiba-tiba mereka berubah pikiran tentang kesepakatan yang sudah dibuat.

Kita bisa menempelkan poin-poin kesepakatan ini di pintu kulkas atau lemari pakaiannya.

Dengan cara seperti ini anak akan terlatih untuk mempertanggung jawabkan apa yang sudah diucapkannya.


5. Ada konsekuensi yang harus diterapkan


Dalam tulisan saya yang berjudul 9 Alasan Kenapa Nasehat Orangtua Tidak Didengar Anak,

di situ dijelaskan apa peranan penting dari sebuah sanksi alias hukuman.

Begitu pula dengan kesepakatan yang kita buat bersama si kecil.

Selalu cantumkan apa konsekuensi yang harus dijalani apabila mereka melanggar kesepakatan yang telah dibuat itu.

Namun 2 ada tambahan catatan di sini.

Pertama, jangan berikan hukuman yang akan menyakiti mental dan juga fisik anak-anak kita.

Hal ini sudah pernah dibahas di artikel yang ini.

Kedua, selain adanya hukuman sebagai konsekuensi atas pelanggaran mereka,

unsur pengecualian juga perlu dimasukkan ke dalam draft kesepakatan tersebut.

Satu contoh misalnya ada konsekuensi yang harus diterima si kecil jika mereka terlambat masuk ke sekolah.

Tapi jika keterlambatan itu terjadi karena kita yang terlambat mengantarkan mereka,

maka sanksi tidak boleh berlaku di sini.

Nah, pengecualian seperti inilah yang harus dijelaskan pada anak kita.


6. Review lagi, dan lagi


Sebagai manusia, kita juga tak luput dari salah,

bahkan dalam hal mengatur dan mendidik anak-anak kita.

Umumnya para orangtua karena merasa lebih “senior” dan lebih dahulu merasakan kehidupan,

menganggap apa yang mereka berikan kepada anak-anak mereka adalah sesuatu yang tepat.

Padahal hal ini tidak selamanya benar.

Ada banyak faktor yang menjadikan aturan-aturan tidak tepat jika diterapkan pada anak-anak kita,

meski kita merasa bahwa hal itu tepat diterapkan pada kita.

Cara berpikir dan cara menimbang masalah, kondisi emosi dan mental, situasi atau jaman, dan lingkungan sosial...

adalah sebagian faktor yang mempengaruhi tepat atau tidaknya aturan itu diterapkan.

Solusinya adalah, sebagai orangtua kita tidak boleh malas untuk mereview apa saja yang sudah kita berikan kepada anak-anak kita.

Jika setelah peninjauan ulang tersebut ditemukan poin-poin yang tidak sesuai bagi diri si anak, maka tidak perlu ragu untuk mengubah atau – bahkan - menghapusnya.

Dengan langkah ini diharapkan kita bisa memberikan yang terbaik untuk anak-anak kita.

Monday, August 1, 2016

9 Tipe Kecerdasan Manusia, Temukan Satu untuk Anak Anda!

manusia cerdas, anak-anak, pendidikan, multiple intelligence

Maret 2016 kemarin, TK dimana anak-anak kami bersekolah mengadakan tes IQ untuk para siswanya.

Metode yang digunakan terbilang baru bagi saya yang gaptek ini.

Mereka menggunakan metode analisa biometrik sidik jari, atau orang-orang menyebutnya dengan pengenalan karakter melalui sidik jari.

Selain karena tidak ada manusia yang memiliki sidik jari yang identik dengan manusia yang lainnya, sidik jari ini juga bersifat permanen.

Dan ia bisa dilihat dan diklasifikasikan.

Sehingga dengan metode ini bisa dideteksi kecenderungan yang dimiliki oleh anak-anak, seperti misalnya,

lebih dominan otak kanan atau kirinya,

tipe kecerdasan yang dimiliki,

gaya belajar yang cocok diterapkan,

termasuk juga potensi bakat dan rekomendasi jurusan kuliah dan pekerjaan yang tepat untuk mereka.


Lebih bagus mana, otak kanan atau kiri?


Kesalahan yang umum terjadi di kalangan orangtua adalah,

mereka lebih suka alias lebih bangga jika anak-anak mereka unggul di bidang akademis, yang “diwakili” oleh otak kiri.

Sehingga timbul kesan menomor duakan anak-anak yang dominan otak kanan.

Hal ini terbukti ketika ibunya Zaki mencoba bertanya kepada wali murid lain tentang hasil tes anak-anak mereka.

Orangtua yang hasil tes anaknya menunjukkan hasil dominan otak kanan, terlihat agak kecewa, minder dan malas menanggapi pertanyaan-pertanyaan lanjutan.

Fenomena ini menunjukkan bahwa pada sebagian (besar) orangtua, anak-anak dengan kecenderungan otak kiri lebih diinginkan daripada anak-anak yang dominan otak kanan.

Di sini saya tidak bermaksud untuk mengatakan bahwa otak kanan itu lebih baik daripada otak kiri.

Tuhan tidak mungkin iseng menciptakan otak kanan, sebagaimana Dia juga tidak sia-sia membuat otak kiri.

Keduanya memiliki nilai plus dan minus. Yang salah satunya diharapkan bisa mengimbangi yang lainnya.


9 Kecerdasan Kompleks


Dr. Howard Gardner - seorang tokoh pendidikan sekaligus psikolog - pernah menerbitkan sebuah buku yang berjudul Frames of Mind (1983).

Di dalam buku itu, ia menjelaskan bahwa kita tidak bisa menganggap kecerdasan seseorang hanya dilihat dari kemampuan matematis (nalar) atau linguistis (berbahasa) orang tersebut.

Selanjutnya, ia juga menelurkan sebuah konsep baru yang kemudian kita kenal dengan teori multiple intelligences atau kecerdasan kompleks.

Di dalam teorinya ini, ia menyebutkan ada 8 macam tipe kecerdasan manusia, yang kemudian direvisinya menjadi 9 tipe kecerdasan manusia pada buku terbarunya Intelligence Reframed (1999).

Dengan adanya konsep ini maka tidak ada lagi alasan mengatakan bahwa anak kita adalah anak yang bodoh.

Sebab bisa jadi ia lemah di satu bidang tertentu, namun sangat cemerlang di bidang yang lain.

Dengan memahami kesemua jenis kecerdasan ini diharapkan para orangtua lebih termotivasi untuk mengembangkan potensi yang dimiliki anak-anak mereka,

bukan malah memaksakan keinginan kita kepada mereka.

Berikut ini adalah 9 tipe kecerdasan manusia menurut Howard Gardner >>


1. Kecerdasan Linguistik (bahasa)


Seorang anak bisa disebut memiliki kecerdasan linguistik ketika ia lebih mampu mengatur kata-kata, baik secara tertulis maupun secara terucap. Anak-anak ini lebih peka terhadap arti kata, urutan kata, ejaan dan ritme atau intonasi pengucapan.

Anak-anak dengan kecerdasan ini biasanya suka dengan istilah-istilah baru (atau asing) dan lebih teliti terhadap detil, sehingga pelajaran bahasa Inggris dan Sejarah lebih mudah mereka tangkap daripada Matematika atau Fisika.

Menyukai puisi, membuat karangan, menulis quote-quote dan lebih sering menyampaikan apa yang pernah didengar atau dibacanya,

serta aktif dalam permainan kata-kata seperti Scrabble, Teka-Teki Silang adalah ciri-ciri dari anak-anak yang masuk dalam kelompok ini.

Kita bisa merangsang perkembangan kecerdasan ini dengan cara memintanya bercerita (misalnya tentang apa yang dilakukannya hari ini), lalu meminta ia mendengarkan cerita kita.

Begitu secara bergantian.

Atau kita bisa mengajaknya bermain tebak-tebakan nama binatang atau nama benda – terserah – yang intinya merangsang anak untuk mendengar dan mengucap.

Sedangkan profesi yang cocok untuk anak-anak dengan kecerdasan linguistik misalnya pengacara, marketer, presenter, jurnalis, penulis, penerjemah, editor, guru bahasa, dsb.


2. Kecerdasan Visual (gambar)


Biasa disebut juga dengan kecerdasan spasial (ruang) karena anak-anak dengan tipe kecerdasan ini mampu untuk melihat atau membayangkan sebuah obyek gambar, ruang atau benda nyata dengan sangat akurat.

Anak-anak yang memiliki kecerdasan visual lebih suka menggambar atau benda-benda yang memiliki banyak gambar. Dalam hal pelajaran, Geometri adalah bab favoritnya.

Permainan yang disukai biasanya permainan yang masuk dalam kategori puzzle atau menyusun gambar. Bermain balok, mencari jejak atau bermain labirin adalah permainan alternatifnya.

Orangtua bisa meningkatkan kemampuan anak dengan membiarkannya berimprovisasi saat menggambar menggunakan krayon, kapur atau cat. Atau kita bisa menambahkan alat gambar dengan benda-benda lain misalnya sikat gigi, kapas, dsb.

Profesi yang tepat untuk anak-anak dengan kecerdasan visual seperti fotografer, seniman, pilot, suveyor, animator atau pekerjaan di bidang tata kota, arsitektur atau desain interior.


3. Kecerdasan Musikal


Pada anak-anak yang memiliki kecerdasan musikal, mereka sangat peka terhadap suara-suara non-verbal (seperti nada atau ritme) yang ada di sekitarnya.

Anak-anak dengan tipe kecerdasan ini bisa menghabiskan banyak waktu untuk mendengarkan musik. Mereka dengan mudah “mencerna” sebuah musik dan menemukan irama yang tidak selaras.

Anak-anak yang cerdas secara musikal biasanya lebih mudah mengingat sesuatu jika dikaitkan dengan musik. Sehingga gaya belajar yang bisa diterapkan pada mereka adalah gaya belajar auditory.

Karena anak-anak dengan kecerdasan musikal senang dan pandai menciptakan sebuah komposisi, kita bisa menfasilitasinya dengan benda-benda di sekitar (seperti gelas, ember, kaleng, dsb) untuk mereka berimprovisasi.

Pekerjaan yang cocok untuk anak-anak seperti ini tentunya pekerjaan yang berkaitan dengan musik seperti DJ, penyanyi, penulis lagu, dirijen, ahli terapi musik atau guru musik.


4. Kecerdasan Matematis (logika)


Kemampuan anak-anak dengan kecerdasan matematis lebih berhubungan dengan pemecahan masalah atau pencarian solusi dengan cara yang rasional dan logis.

Gaya berpikir yang runtut membuat mereka lebih suka mengumpulkan bukti, merumuskan, baru kemudian membuat analisa dan argumen-argumen.

Mereka menyukai angka-angka, pola berurutan dan keteraturan, serta logika. Sehingga soal-soal matematika dan pertanyan-pertanyaan sains seperti “bagaimana jika suatu benda dibeginikan...” atau yang semisalnya,

menjadi sangat menarik bagi mereka.

Mengajak mereka bermain teka-teki atau catur, menghitung benda-benda yang diatur dengan susunan atau pola-pola tertentu bisa meningkatkan kemampuan logika mereka.

Profesi yang berhubungan dengan angka-angka semisal auditor, akuntan, programer, ahli ekonomi, guru IPA sangat cocok untuk mereka yang memiliki kecerdasan matematis.

Teknisi mesin juga bisa dijadikan alternatif karena anak-anak yang memiliki kecerdasan ini juga mampu menganalisa fungsi atau cara kerja sebuah benda.


5. Kecerdasan Kinestetis (gerak tubuh)


Sesuai namanya, anak-anak dengan kecerdasan ini memiliki kemampuan untuk menggunakan anggota tubuhnya secara terampil.

Kemampuan untuk mengkoordinasikan gerakan tubuh, menyeimbangkannya dan kelincahan di dalam bergerak adalah bagian dari kecerdasan ini.

Sehingga anak-anak seperti ini biasanya tidak bisa duduk berdiam dalam waktu yang lama. Lebih menyukai aktifitas outdoor dan lebih memilih learning by doing ketimbang mempelajari sesuatu dengan membaca atau teori saja.

Anak-anak yang memiliki kecerdasan kinestetis biasanya terlihat dari prestasinya di bidang olah raga atau aktifitas olah tubuh seperti menari atau berakrobat.

Anak-anak ini bisa diarahkan untuk nantinya berprofesi sebagai atlit, penari, model, koreografer, pemain film atau stuntman, mekanik, guru olahraga, penjahit, ahli bedah atau terapi fisik.


6. Kecerdasan Naturalis (alam)


Naturalis berarti sesuatu yang berkaitan dengan alam.

Anak-anak yang memiliki kecerdasan naturalis terlihat dari kepekaannya terhadap alam (seperti gunung, pantai, hutan atau cagar alam) dan kegemarannya akan aktifitas outdoor seperti hiking, surfing, diving, dsb.

Anak-anak ini memiliki kemampuan untuk mengenali lalu mengklasifikasikan hal-hal dan kejadian-kejadian yang ditemuinya di alam.

Mereka lebih tertarik untuk mengobservasi lingkungan alam seperti jenis-jenis batuan, lapisan tanah, macam-macam jenis tumbuhan, binatang atau bahkan benda-benda angkasa.

Kita bisa mengajak buah hati kita ke alam terbuka atau kita bisa menceritakan kepadanya proses pertumbuhan tanaman, fenomena hujan, dsb.

Anak-anak dengan kecerdasan naturalis biasanya cocok bekerja di bidang astronomi, biologi atau botani. Sebagai ahli konservasi lingkungan atau bekerja di museum dan laboratorium juga cocok untuk anak-anak dengan tipe ini.


7. Kecerdasan Inter-personal (hubungan sosial)


Agak aneh juga ketika mengetahui bahwa kemampuan berinteraksi dengan orang lain ini dimasukkan ke dalam 9 tipe kecerdasan manusia oleh Howard Gardner.

Namun jika kita cermati, tidak semua orang memiliki kemampuan untuk berkomunikasi, memahami dan melihat dari sudut pandang individu lain atau kelompok lain.

Kecerdasan sosial ini juga berarti kemampuan untuk memimpi, mengorganisir serta mengenali dan mendeteksi perasaan, sifat, gaya pemikiran dan harapan orang lain, sekaligus memberikan respon atas hal-hal tersebut secara efektif.

Anak-anak dengan kecerdasan sosial biasanya memiliki koneksi dan sahabat yang banyak,

selain karena kemampuan mereka untuk berempati terhadap sesamanya juga karena kepandaian mereka di dalam mengatasi perselisihan antar teman.

Saya ingat ada sebuah kisah.

Ada seorang ibu yang terus-menerus mengeluh tentang keadaan anaknya yang tidak pernah memiliki prestasi di kelasnya.

Nilai rapornya bahkan cenderung menurun.

Para guru di kelas anak ini pun memiliki pendapat yang sama. Dan berbagai upaya sudah dilakukan untuk mendongkrak prestasi si anak.

Namun hasilnya tidak banyak berubah.

Suatu ketika salah seorang guru mengadakan sebuah survey kecil-kecilan di kelas tersebut.

Guru ini memberikan secarik kertas kepada tiap-tiap murid, lalu meminta mereka menuliskan siapa nama teman terbaiknya di kelas tersebut.

Dan anda tahu,

semua murid menuliskan nama anak ibu itu di kertas mereka.

Ini adalah salah satu contoh bagaimana kecerdasan interpersonal bekerja.

Anak-anak dengan tipe kecerdasan interpersonal lebih senang berada di tengah-tengah orang banyak dan terlibat dalam acara-acara sosial.

Orangtua bisa menstimulus kecerdasan ini dengan membacakan dongeng atau cerita kepada anak lalu menanyakan kepadanya tentang perasaan tokoh di dalam cerita tersebut atau kenapa sang tokoh memiliki perasaan tersebut.

Jenis pekerjaan yang nantinya cocok untuk anak-anak ini misalnya manajer, personalia atau humas, admin, psikolog, sosiolog, politisi, guru, konselor, mediator, atau tim marketing.


8. Kecerdasan Intrapersonal (kesadaran diri)


Jika kecerdasan interpersonal adalah kemampuan anak untuk memahami orang lain, maka kecerdasan intrapersonal adalah kemampuan untuk melihat ke dalam diri sendiri.

Dengan bahasa yang lebih umum, anak-anak dengan kecerdasan ini mampu memahami kelebihan dan kekurangan dirinya.

Namun dari proses memahami “kerumitan” diri sendiri inilah mereka menjadi mampu memahami permasalahan orang lain.

Kebiasaan untuk mengintrospeksi diri, menemukan kekurangan dan berupaya memperbaikinya,

serta kecenderungan untuk memiliki pendapat yang berbeda,

menjadikan anak-anak dalam tipe ini lebih senang terpisah daripada berkumpul bersama teman-temannya.

Namun meski demikian, di dalam “perenungannya”, mereka seringkali dapat menemukan siapa orang yang paling tepat untuk dimintai bantuan.

Beberapa orang memang menganggap mereka sebagai pribadi yang tertutup, namun yang lain menyebut anak-anak ini sebagai tipe yang mandiri.

Profesi yang bisa dijalani oleh anak-anak dengan kecerdasan intrapersonal ini misalnya adalah, ulama atau pemuka agama, filsuf, psikolog, terapis atau entrepreneur.


9. Kecerdasan Eksistensial (keberadaan diri)


Jenis kecerdasan terakhir yang dijelaskan oleh Howard Gardner di dalam Intelligence Reframed adalah kecerdasan eksistensial.

Ada yang mengartikan existential intelligence ini dengan kecerdasan makna,

ada pula yang mendefinisikannya sebagai kecerdasan moral.

Secara umum, anak-anak yang memiliki kecerdasan ini seringkali melihat sesuatu dalam “gambaran besarnya”,

“Mengapa kita hidup?”

“Apa tujuan kita di dunia?”

“Bagaimana keadaanku di dalam masyarakat?”

Anak-anak dengan kecerdasan eksistensial biasanya adalah anak-anak yang patuh, tahu bagaimana menjaga rahasia, mengerti tentang etika dan tata-krama serta bisa mengontrol dirinya untuk tidak melakukan pelanggaran-pelanggaran sosial.

Karena itulah anak-anak seperti ini dianggap memiliki tingkat spiritual quotient yang tinggi.

***


Sebuah pesan grup di whatsapp saya menceritakan tentang seorang anak yang harus menjalani rehabilitasi di sebuah rumah sakit jiwa karena mengalami tekanan yang cukup berat.

Ketika ditelusuri, penyebabnya adalah orangtuanya yang terlalu menuntutnya untuk belajar dengan keras.

Belajarnya tidak hanya di kelas dan di rumah, namun juga harus mengikuti kursus dan bimbel dengan waktu yang sangat padat.

Saya tidak mengatakan bahwa anak-anak tidak perlu belajar.

Namun yang perlu disadari adalah bahwa dunia mereka adalah dunia bermain.

Maka dari pintu permainan pula-lah kita seharusnya masuk untuk membimbing dan mendidik mereka.

Karena jika anak dipaksa untuk berpikir secara dewasa, akibatnya bisa dua hal,

jika tidak mengalami stres berat,

maka anak-anak bisa tumbuh menjadi pribadi-pribadi pemberontak.

Saya pernah menulis tentang bagaimana mendidik anak dengan tepat untuk tiap-tiap tahap perkembangannya. Anda bisa membacanya di sini.

Akhirnya, ketika kita – sebagai orangtua – mampu melihat dimana potensi kecerdasan yang dimiliki oleh anak-anak kita,

maka kita akan bisa memahami cara berpikir mereka,

untuk kemudian menyayanginya dan mensyukuri semua yang dianugerahkan kepadanya.