March 2018 - Archieve

Under the hood articles from the past.

Sunday, March 25, 2018

Daffa, dan Sedikit Cerita Tentang GBS

Apa itu GBS?


Bersamaan dengan merebaknya kasus difteri, ada satu jenis penyakit lagi yang penting untuk mendapat perhatian khusus...

Anak kami adalah salah satu penderitanya yang - dengan takdir Allah - mengalami kesembuhan jauh lebih cepat dari perkiraan.

Mudah-mudahan apa yang kami tulis ini bermanfaat bagi pembaca sekalian.

***

Tahun 2018 ini agaknya akan menjadi tahun yang istimewa bagi saya dan keluarga. Karena memasuki awal tahun ini Allah berkehendak memberi kami sebuah “kado spesial”.

Daffa, anak kedua kami yang sudah berusia 6 tahun, secara mendadak tiba-tiba tidak bisa berjalan...

Kedua kakinya sangat lemah sehingga tidak bisa menahan berat tubuhnya sendiri. Begitu pula dengan kedua tangannya yang - bahkan - tidak sanggup mengangkat cangkir minumannya.


KRONOLOGISNYA


Sebenarnya, sejak awal Januari ini saya sudah merasa ada yang tidak beres dengan anak kami.

Pandangan matanya sayu dan di bagian bawah matanya agak sedikit menghitam. Tingkahnya juga lesu seperti orang yang malas atau kecapekan. Saat ditanya, Daffa mengaku tidak sakit,

tidak pusing,

dan tidak habis jatuh.

Setelah itu, setiap kali saya ajak ke masjid ia terus-terusan berpegangan pada tangan saya, bahkan saat sholat.

Saya yang merasa anak kami hanya kecapekan, tidak terlalu memperdulikan hal tersebut. Namun mungkin di situlah kesalahan saya.

Puncaknya, tanggal 4 Januari 2018, Daffa yang terbiasa berangkat dan pulang sekolah dengan berjalan kaki (karena jarak sekolah yang hanya terpisah beberapa blok), terjatuh.

Saat itu salah seorang wali murid yang melihatnya lantas membantunya berdiri. Namun setelah berdiri, Daffa kembali jatuh. Karena khawatir dengan keadaannya, wali murid tersebut akhirnya mengantar Daffa pulang dengan motornya.

Ketika kami menanyainya, ia menjawab bahwa pada bagian belakang lutut kanannya sakit.

Keesokan harinya kedua bagian belakang lututnya sakit. Dan selanjutnya kedua lengan hingga ketiaknya yang terasa sakit.

Sejak itu Daffa tidak bisa bangun maupun berdiri...


TANDA TANYA?


Namun ada satu hal yang menjadi tanda tanya bagi kami, termasuk oleh dokter sendiri pada awal-awal sakitnya. Tanda tanya tersebut adalah bahwa sakitnya Daffa ini tanpa diiringi dengan gejala-gejala lain seperti pada penyakit umumnya.

Daffa tidak panas atau demam, tidak mual dan muntah serta tidak diare. Pusing hanya sesekali saja, karena mungkin sehari-harinya dihabiskan lebih banyak dengan tidur-tiduran.

Untuk makan dan bersenda gurau dengan kakak atau adiknya juga seperti biasanya. Tidak ada yang berbeda.

Satu-satunya hal yang menunjukkan bahwa dia sakit hanyalah tubuhnya yang lemas. Dan ada beberapa persendian yang sakit bila ditekan atau ditarik.

Sehari-harinya Daffa hanya bisa berbaring saja. Bahkan untuk duduk harus dibantu dan untuk ke kamar kecil harus digendong.


UPAYA PENGOBATAN


Selama hari-hari itu kami sudah mengupayakan pengobatan ke banyak tempat. Mulai bidan, dokter praktek, dokter spesialis, bahkan rukyah. Akan tetapi sampai sejauh ini Allah masih belum membuka penyebab sakitnya Daffa.

Hasil cek lab dari RS juga tidak menunjukkan adanya indikasi yang perlu diwaspadai. Memang ada sedikit gejala tipes, namun kemudian hilang pada pemeriksaan berikutnya.

Sedikit hal yang bisa kami lakukan adalah mengupayakan perbaikan imun Daffa dengan memberinya asupan buah pisang dan air kelapa muda. Alhamdulillah, meski kecil, upaya ini ada hasilnya.

Tanggal 22 Januari, atas saran dan bantuan dari para tetangga dan jamaah di masjid, kami membawa Daffa ke RSUD Sidoarjo.

Dari dokter yang bertugas di Poli Anak, kami diarahkan untuk cek lab (lagi) dan melakukan pemeriksaan sistem syaraf.

Hasil lab yang kami terima juga menunjukkan tanda-tanda normal. Hanya saja ketika harus melakukan pemeriksaan syaraf, dokter yang bertugas menyatakan bahwa alat mereka mengalami gangguan. Sehingga kami disarankan untuk melakukan pemeriksaan tersebut di RSUD Dr. Soetomo, Surabaya.


GBS SYNDROME


GBS atau Guillain-Barre Syndrome adalah keadaan ketika sistem kekebalan tubuh menyerang system syaraf.

Tanda yang paling terlihat adalah pelemasan otot dimulai dari tubuh bagian bawah (mirip kelumpuhan) lalu bergerak ke atas, dan biasanya diiringi gatal tubuh bagian atas dan pelemasan otot pernafasan alias sesak nafas.

Hasil pemeriksaan EMG dinyatakan Daffa terkena sindrom GBS ini.

Namun karena saat dibawa ke RSUD Dr. Soetomo keadaan Daffa sudah jauh lebih baik dari hari-hari sebelumnya (sudah bisa duduk sendiri dan merangkak), maka dokter mempertimbangkan untuk tidak dilakukan rawat inap.

Sehingga keesokan harinya kami sudah diperbolehkan pulang dengan catatan tetap dilatih fisioterapinya di rumah seperti latihan menapak, menendang, memukul, jongkok-berdiri, naik-turun tangga, dan sebagainya.

FYI, menurut penjelasan Dr. Immanuel dari Poli Syaraf Anak mengatakan bahwa jaringan otot dibagi menjadi dua bagian. Jaringan otot dari leher ke atas atau yang disebut UMN (Up Muscle Neuron) dan; jaringan otot dari leher ke bawah yang disebut LMN (Low Muscle Neuron).

Qadarullah, pada kasus Daffa yang diserang “hanyalah” jaringan otot bawah sehingga in sya Allah tidak ada hubungannya dengan otak.

Inilah yang mungkin membedakan Daffa dengan pasien-pasien lainnya.

Pasien lainnya harus diinfus (karena tidak bisa makan dengan baik) dan harus dipasang selang oksigen (karena sesak nafas berkelanjutan).

Bahkan jika kondisinya semakin parah, maka dokter akan memberikan cairan (saya lupa namanya) yang harga perbotolnya persis gaji saya sebulan!

Dan itu harus diberikan setiap hari...

Allahumma rabban-naasi, adzhibil ba'sa wasfihi, wa anta syafii. Laa syifa'a illa syifa'uka. Syifa'an laa yughadiru saqama.

“Ya Allah, Rabb-nya manusia, hilangkanlah kesusahan dan berilah dia kesembuhan, Engkau Dzat Yang Maha Menyembuhkan. Tidak ada kesembuhan kecuali kesembuhan dari-Mu, kesembuhan yang tidak meninggalkan penyakit lain.”

Saya mendoakan ini untuk pasien-pasien lain yang bernasib jauh lebih parah dari anak kami.

***

Alhamdulillah, kondisi anak kami saat ini sudah jauh lebih baik.

Daffa sudah bisa berjalan dan beraktifitas seperti biasanya. Meski kami masih harus membatasi durasinya,

karena jika ia kelelahan, malam harinya suhu tubuhnya akan naik.

Dan saya harus mengakui jika gerakan-gerakan sholat merupakan terapi yang sangat baik untuk kesembuhan Daffa.

Saat ini Daffa masih belum bisa rukuk dengan sempurna, karena masih terasa ada otot yang tertarik (katanya).

Memang belum bisa dikatakan sembuh total, namun keadaan ini sudah sangat kami syukuri mengingat pada kasus GBS jangka waktu kesembuhan diperkirakan antara 6-12 bulan, bahkan pada beberapa kasus yang parah bisa sampai 4 tahun!

Catatan: Saat saya memposting tulisan ini, saya baru saja mendapat informasi bahwa di RSUD Sidoarjo mulai berdatangan pasien suspect GBS.

Semoga ini adalah akhir catatan Daffa dengan GBS-nya.

Dan semoga anda dan keluarga juga dikaruniai kesehatan yang berkah. Aamiin.


Long Distance Parenting, Mungkinkah Berhasil?

Pendidikan jarak jauh


Pada sebagian orang, menjadi orangtua di masa-masa seperti sekarang ini sungguh merupakan keadaan yang berat.

Harga-harga kebutuhan yang terus meninggi, biaya pendidikan di lembaga-lembaga yang bagus yang hampir-hampir tidak terjangkau,

adalah hal-hal utama yang menjadi permasalahan setiap orangtua yang berada di level ini.

Untuk itulah para orangtua harus rela bekerja “lebih” demi anak-anak mereka. Bekerja lebih lama, lebih berat, atau bahkan lebih jauh untuk mendapatkan penghasilan yang lebih baik.

Pada keadaan inilah anak-anak biasanya merasa jauh dari orangtua,

baik jauh secara fisik maupun jauh secara emosional.

Jika hal ini tidak segera disadari oleh orangtua, maka hasilnya nanti bisa jadi lebih buruk lagi...

Perlu ada cara bagi para orangtua yang terpisah jauh dari anak-anaknya, agar kedekatan secara emosional tetap bisa terjalin dengan baik.

Ada sebuah kisah di dalam Al-Qur’an yang bisa dijadikan contoh bahwa kedekatan secara emosional antara orangtua dan anak bisa dilakukan meski keduanya terpisah jarak yang jauh.

***

Di dalam kisah Nabi Ibrahim ‘alaihissalam diceritakan bahwa ketika Nabi Ibrahim bersama istrinya dan putranya, si bayi Ismail berada di sebuah tempat yang tandus dan gersang,

datanglah perintah Allah kepada beliau untuk meninggalkan istri dan putranya di tempat tersebut.

Meski dengan berat hati, Nabi Ibrahim pun berpisah dengan keluarganya demi ketaatannya kepada Tuhannya.

Singkatnya,

setelah bertahun-tahun kemudian, Nabi Ibrahim kembali untuk bertemu dengan keluarganya. Saat itu Ismail mulai beranjak dewasa.

Akan tetapi belum sempat keduanya membangun hubungan, datanglah ujian ketaatan lagi dari Allah untuk Nabi Ibrahim berupa perintah untuk menyembelih putranya tersebut.

Bimbang dan ragu sempat menyelimuti hati sang ayah...

Kita semua tentu sudah tahu bagaimana kelanjutannya. Namun yang menarik di dalam kisah ini adalah,

sebelum Nabi Ibrahim benar-benar melaksanakan perintah Allah tersebut, terjadilah dialog antara kedua ayah dan anak ini.

Saat itu Nabi Ibrahim bertanya, “Sesungguhnya aku telah mendapatkan perintah untuk menyembelihmu. Maka bagaimana pendapatmu?”

Maka jawab Ismail, “Wahai ayahanda-ku, laksanakanlah apa yang diperintahkan Allah kepadamu. Insyaallah, engkau akan mendapatiku termasuk orang yang sabar.”

***

Sekarang, 

yang menjadi pertanyaan adalah,

bagaimana bisa seorang anak yang telah bertahun-tahun tidak pernah bertemu dengan ayahnya,

bisa menjadi sedemikian patuhnya kepada sosok yang baru kali ini ditemuinya?

Atau jika kasus ini diterapkan di dalam dunia parenting,

bagaimana cara orangtua mendidik anak-anaknya agar mereka menjadi anak-anak yang berbakti kepada orangtuanya...

... meskipun terpisah oleh jarak yang jauh?

Mungkinkah karakter dan mental anak-anak bisa dibangun dari jarak yang jauh?


Long Distance Parenting, Mungkinkah Berhasil?


Long Distance Parenting atau LDP adalah sebuah istilah yang merujuk kepada upaya pembentukan karakter dan mental anak-anak dengan ayah atau ibu yang tidak berada di dekat mereka.

Hal ini bisa terjadi karena ayah atau ibu yang bekerja di tempat yang jauh atau memiliki tugas tertentu sehingga tidak bisa setiap saat bertemu.

Kisah Nabi Ibrahim mengajarkan kepada kita Long Distance Parenting bisa dilakukan dan memiliki tingkat keberhasilan yang sama dengan pendidikan jarak pendek yang umum dilakukan.

Mencontoh pada kisah Nabi Ibrahim,

setidaknya ada dua hal penting yang menjadi faktor utama dari keberhasilan LDP ini.


Pertama, doa sang Ayah


Kita paham bahwa Allah-lah yang maha mengatur. Segala sesuatu terjadi pada kita dan pada keluarga kita adalah atas kehendak-Nya. Termasuk dalam hal ini adalah kondisi yang mengharuskan kita jauh dari keluarga.

Karena itulah kita membutuhkan kemaha-kuasaan Allah untuk membuat segalanya menjadi lebih baik.

Nabi Ibrahim telah mencontohkan bagaimana cara beliau berdoa:

Beliau menitipkan keluarganya hanya kepada Allah yang maha melindungi.

Beliau juga tidak meminta anak yang kaya atau tampan. Yang beliau minta adalah anak-anak yang shalih, yang tetap mengerjakan sholatnya.

Maka sebagai jawaban dari doa-doa tersebut, Allah menjadikan Ismail sebagai anak yang ikhlas dan sabar.


Kedua, figur sang Ibu


Ibu yang menemani Ismail saat ketiadaan sang ayah adalah seorang ibu yang tangguh.

Bukan saja tangguh secara fisik, namun juga secara emosional.

Pada setiap kesempatan sang Ibu senantiasa menceritakan bagaimana sifat-sifat dan kebiasaan sang Ayah dengan baik. Sehingga sang anak merasa tahu lebih banyak tentang ayahnya.

Meski Ibrahim tidak berada di dekat mereka,

namun sang Ibu berhasil membangun profil sang ayah dengan sangat kuat sehingga sang anak merasa begitu mengenal sosok ayahnya,

seolah-olah sang Ayah memang hadir di tengah-tengah mereka.


Ketiga (sebagai tambahan saja), komunikasi yang intens


Di era digital seperti sekarang ini, jarak yang jauh sudah tidak lagi menjadi halangan untuk tetap terhubung. Banyak cara berkomunikasi yang bisa kita lakukan dengan bantuan ponsel.

Komunikasi yang intens bukan berarti komunikasi yang teratur, yang terjadwal dan yang membosankan,

namun sebuah komunikasi yang mampu melibatkan emosi dengan baik.

Komunikasi yang intens menjadikan seolah-olah keduanya hadir, berbicara di dalam satu ruangan yang sama, berhadap-hadapan.

Orangtua tidak harus memilliki hari atau jam tertentu untuk menghubungi anak-anak mereka. Namun sesering mungkin, kita bisa mencoba menelpon pada waktu-waktu yang tidak biasa untuk sekedar memberitahukan bahwa kita sedang ingin tahu keadaan mereka.

Atau, kita juga bisa menanyakan tentang permasalahan yang sedang mereka hadapi untuk didiskusikan bersama.