2016 - Archieve

Under the hood articles from the past.

Tuesday, October 4, 2016

Bisakah Mengubah Mindset yang Sudah Terbentuk pada Anak?

Setelah pada postingan sebelumnya kita membahas tentang pentingnya sebuah Mindset serta bagaimana cara membangun mindset yang positif,

maka sebuah pertanyaan lanjutan pun muncul.

Apakah sebuah mindset yang sudah terlanjur tertanam pada alam bawah sadar anak-anak bisa diubah?


parenting, pendidikan karakter, pendidikan anak


Telah kita ketahui bahwa membentuk mindset yang baik pada anak-anak adalah proses yang cukup panjang, yang telah kita mulai – bahkan – sejak sebelum mereka lahir.

Yang kita sebut sebagai proses yang panjang itu adalah informasi yang kita berikan secara intens sehingga ia mengendap dan tersimpan pada alam bawah sadar,

lalu memegang kendali pada perilaku dan sikap anak-anak kita.

Maka bagaimana mungkin kita bisa mengubah sesuatu yang sudah kadung tertanam kuat pada diri mereka?

Jawabannya, bisa!

Namun sebelum kita berbicara tentang bagaimana mengubah mindset anak-anak kita,

akan lebih baik jika kita menelusuri terlebih dahulu bagaimana cara sebuah mindset itu masuk ke dalam pikiran bawah sadar seseorang.

Seperti yang sempat dijelaskan pada postingan sebelumnya, bahwa otak kita memiliki bagian penting yang disebut critical area.

Sesuai namanya, critical area ini berfungsi untuk mengkritisi, menyaring dan memilih informasi mana yang logis dan informasi mana yang tidak logis.

Biasanya, hal-hal yang tidak masuk akal atau bertentangan dengan logika akan ter”razia” di sini.

Informasi yang terjaring critical area selanjutnya ia akan disimpan di dalam pikiran bawah sadar sebagai MEMORI: bahwa pernah ada informasi seperti itu.

Sedangkan informasi yang diterima oleh critical area, ia akan menetap dan disimpan di dalam pikiran bawah sadar sebagai sebuah keyakinan atau kepercayaan.

Inilah yang kita sebut MINDSET.

Nah, kabar lainnya,

meski terbentuknya mindset ini melalui pemeriksaan critical area, namun ada beberapa informasi – yang seharusnya tertolak – justru lolos dari penyaringan.

Dengan beberapa tindakan khusus, hal-hal yang tidak masuk akal bisa dipaksa masuk atau lolos dari filter critical area,

untuk kemudian menjadi mindset di dalam diri seseorang.

Tindakan khusus tersebut bisa dirinci menjadi 4 cara:

1. Pengulangan informasi secara intens


Di antara tindakan-tindakan khusus untuk meloloskan sebuah informasi dari critical area adalah dengan cara memasukkan informasi tersebut secara terus menerus.

Hal-hal yang secara kontinyu diulang-ulang lambat laun akan diterima oleh pikiran seseorang sebagai mindset.

Seorang pendidik, misalnya, tidak sekali-dua kali mengingatkan murid-muridnya agar selalu datang tepat waktu ke sekolah.

Ini adalah salah satu upaya untuk menanamkan mindset positif.

Akibatnya kita menjadi malu saat terlambat datang ke sekolah. Pemikiran bahwa terlambat adalah suatu hal yang salah dan memalukan telah menjadi mindset dalam diri kita.

Sehingga kita selalu berupaya agar tidak datang terlambat.

Alam bawah sadar kita merespon seperti itu karena kalimat-kalimat tersebut terus diulang-ulang oleh pendidik setiap hari.

Begitu puladengan seorang khatib yang selalu menyampaikan perintah-perintah agama di setiap ceramahnya.

Akibat pengulangan kalimat-kalimat positif itulah kita menjadi tergerak untuk berlaku positif juga.

Hal yang sama juga berlaku untuk informasi-informasi yang negatif.

Saat kecil, kita sebenarnya tidak punya rasa takut. Rasa penasaran-lah yang lebih besar.

Namun cerita hantu-hantu yang menyeramkan mulai membuat kita takut saat informasi itu terus menerus diputar di benak kita.

2. Sumber yang kita percaya


Anak-anak kita lebih cenderung percaya dengan ucapan kita - sebagai orangtuanya - daripada ucapan orang lain, meski kita sedang berbohong atau bercanda.

Pendapat dari orangtua, guru ataupun orang lain yang menjadi idola kita lebih mudah diterima dan lebih mudah masuk ke dalam diri kita sebagai mindset.

Hal ini terjadi karena kita menganggap semua ucapan orang-orang yang kita percaya adalah BENAR.

3. Hipnosis


Jika pada poin pertama dijelaskan bahwa proses pembentukan mindset dilakukan dengan “memaksakan” sebuah informasi masuk melalui critical area dengan cara mengulang-ulang informasi tersebut,

maka pada poin kedua dan ketiga ini cara yang dilakukan sebenarnya adalah memasukkan informasi tanpa melalui filter critical area.

Hipnosis didefinisikan sebagai sebuah keadaan dimana alam sadar seseorang dalam kondisi tidak aktif. Pada kondisi ini critical area juga dalam keadaan tidak aktif.

Artinya, ia tidak lagi bisa membedakan mana informasi yang logis dan mana yang tidak.

Akibatnya, semua informasi yang masuk – dalam kondisi ini – mengendap di alam bawah sadar dan menjadi mindset.

Kondisi yang sama juga terjadi pada seorang pasien operasi yang berada di bawah pengaruh obat bius.

Ucapan dokter atau perawat yang berada di dekatnya bisa menjadi sugesti yang membentuk mindsetnya.

4. Kejadian tragis dan luar biasa


Saat kita melihat sebuah kejadian yang tragis, yang menghentak emosi kita,

maka otak akan langsung mengambil sebuah kesimpulan dan menyimpannya di alam bawah sadar kita sehingga terbentuklah mindset.

Misalnya seorang gadis yang dikhianati teman laki-lakinya, bisa jadi terbentuk mindset bahwa semua laki-laki adalah pengkhianat, atau berhubungan dengan sesama perempuan lebih baik daripada dengan seorang laki-laki.

Ini adalah beberapa proses bagaimana sebuah sistem kepercayaan atau mindset terbentuk.

Setelah kita memahami proses-proses tersebut,

maka cara untuk mengubah mindset pada diri seseorang bisa dilakukan dengan menggunakan (atau menggabungkan) prinsip-prinsip di atas.

Afirmasi


Afirmasi berarti peng-ikrar-an. Yaitu tindakan mengikrarkan sebuah kalimat positif dengan tujuan untuk membentuk mindset positif.

Saya jadi teringat sebuah film animasi besutan Disney-Pixar, CARS.

Di dalam film tersebut, tokoh utama yang digambarkan sebagai mobil balap, setiap kali akan memulai perlombaannya, selalu mengikrarkan kalimat-kalimat pendek yang positif.

“Aku hebat...”, “Aku secepat kilat...”, “Aku pemenang!”

Ini adalah salah satu bentuk afirmasi.

Kalimat-kalimat positif tersebut harus diucapkan dengan penuh penekanan.Tujuannya agar ia tertanam ke dalam pikiran bawah sadar sebagai mindset,

yang kemudian mampu mengontrol gerak fisik dan tindakan kita.

Pada anak-anak kita, kita bisa merubah kalimatnya menjadi,

“Kakak adalah anak yang penuh semangat...”, “Kamu adalah anak yang percaya diri...”, “Saat bangun nanti, kamu akan ceria sekali...”, dan sebagainya.

Dengan kita melakukannya berulang-ulang – setiap hari - maka lambat laun kalimat-kalimat tersebut akan menjadi sebuah keyakinan pada diri anak.

Dan karena kita adalah sosok orangtua yang dipercaya dan menjadi idola anak-anak kita, maka tanpa sadar kita sudah menggabungkan dua metode pembentukan mindset yang telah ditulis di atas,

yaitu Pengulangan dan Sumber yang dipercaya.

Lalu jika kemudian kita melakukannya pada anak di waktu-waktu yang tepat (biasanya saat anak-anak menjelang terlelap atau sesaat setelah bangun pagi),

kita mungkin telah menggabungkan ketiga metode sekaligus: Pengulangan, Sumber yang dipercaya dan Hipnosis.

Hal ini terjadi karena pada waktu-waktu tersebut otak manusia berada pada gelombang alfa,

yaitu keadaan dimana seseorang berada dalam kondisi antara sadar dan tidak.

Pada kondisi inilahsebuah mindset lebih mudah masuk ke dalam pikiran bawah sadar.

(Barangkali inilah sebabnya kenapa beberapa pengajian agama dimulai sekitar pukul 9 atau 10 malam. Hal ini dimaksudkan agar materi lebih mudah masuk dan tersimpan sebagai mindset karena pada jam-jam tersebut biasanya orang sudah mulai mengantuk.)

Lalu bagaimana kalimat yang baik untuk ber-afirmasi?


Karena tujuannya adalah untuk membentuk cara berpikir positif, maka kalimat-kalimat yang ditekankan adalah kalimat-kalimat positif juga.

Sebaiknya kita menghindari menggunakan kalimat-kalimat yang mengandung kata “tidak”, “jangan”, dst.

Jika kita seorang muslim, maka doa-doa harian itulah sesungguhnya kalimat afirmasi yang paling ampuh.

Terakhir, sebagai penutup postingan kali ini,

selain dengan ucapan-ucapan positif, afirmasi bisa dilakukan dengan cara mengubah ucapan-ucapan positif tersebut menjadi sebuahgambar.

Metode afirmasi dengan membayangkan ini juga memiliki aturan yang sama dengan afirmasi dengan pengucapan,

yaitu penggambaran yang dilakukan haruslah diupayakan se-rinci dan se-detil mungkin. Seperti mimik wajah, gerakan tangan, emosi yang terlibat di dalamnya, dan sebagainya.

Wednesday, September 28, 2016

Bagaimana Mindset Mengubah Kehidupan Anak-anak Kita?

parenting, pendidikan karakter, pendidikan anak


Saya masih ingat ketika 15 tahun yang lalu salah seorang ustadz kami mengutip sebuah quote yang berbunyi begini,

“Cara anda berpikir mempengaruhi cara anda berbuat. Dan cara anda berbuat mempengaruhi bagaimana orang lain menilai anda.”

Maksud dari kalimat di atas adalah bahwa cara berpikir yang kita bangun memiliki pengaruh besar terhadap hubungan kita dengan orang lain.

Dan jika cara berpikir ini mempengaruhi cara kita berperilaku,

maka tentu saja, hal ini juga akan berpengaruh pada kehidupan kita, secara pribadi.

Jadi inti dari kalimat di atas adalah,

membentuk cara berpikir alias mindset adalah hal pertama yang harus kita tempa pada diri anak-anak kita, sebelum kita menyiapkan hal-hal lainnya untuk kehidupan mereka nanti.

Bahkan di dalam sebuah bisnis, mindset ini ternyata memegang peranan yang sangat penting.

Ia bisa menjadi penyebab bisnis tersebut akan pesat berkembang atau tumbang terjengkang.

Mindset beda, hasil beda!


Ada sebuah cerita lama yang cukup inspiratif, yang mungkin anda sudah pernah membacanya.

Cerita ini menggambarkan bagaimana mindset yang berbeda bisa membuat perbedaan besar di dalam kehidupan seseorang.

Ada 2 orang bersaudara yang merupakan anak dari seorang pengusaha besar.

Karena usia yang sudah cukup matang, kedua bersaudara ini ingin membuka usaha mereka sendiri.

Keduanya lalu menemui sang ayah untuk meminta persetujuan atas keinginan mereka tersebut.

Sang ayah rupanya sangat setuju dengan keinginan kedua putranya. Bahkan sang ayah memberikan pesan kepada mereka. Sebuah pesan yang sama, namun akan memberikan dampak berbeda bagi keduanya.

Pesan dari sang ayah berisi 2 hal yang cukup singkat,

yaitu “jangan pernah menagih hutang” dan “jangan sampai terkena sinar matahari”.

Maka dengan berbekal dua hal ini, keduanya pun memulai perjalanan mereka sebagai seorang pengusaha.

Singkat cerita, beberapa tahun kemudian mulailah tampak perbedaan diantara bisnis keduanya.

Bisnis yang dirintis oleh saudara yang satu menjadi lebih maju, lebih besar dan berkembang dengan sangat bagus.

Sedangkan usaha yang dimiliki oleh saudara yang satunya lagi terus mengalami penurunan, bahkan sudah diambang kebangkrutan.

Karena penasaran, maka saudara yang bangkrut ini pun menemui saudaranya dengan maksud mempertanyakan kenapa usahanya gagal padahal ia telah mengikuti pesan sang ayah?

Akhirnya diketahui bahwa penyebab kegagalan bisnis yang satu dan keberhasilan usaha yang lain adalah karena perbedaan keduanya di dalam mengartikan pesan tersebut.

Pesan “jangan pernah menagih hutang”, diartikan oleh saudara yang satu agar sama sekali tidak menagih hutang kepada orang yang berhutang kepadanya.

Sehingga meski orang tersebut lupa atau memang sengaja tidak membayar hutangnya, saudara yang satu ini tidak pernah mempersoalkannya.

Sedangkan saudara yang satunya lagi mengartikan pesan tersebut dengan cara menerapkan penjualan hanya secara cash, sehingga tidak ada transakasi hutang-piutang.

Perputaran uang lancar. Modal pun aman.

Sedang pada bisnis yang satunya, jelas, karena piutangnya ada di mana-mana, cash flow tersendat. Modal pun sedkit demi sedikit terkikis.

Sedangkan pesan “jangan terkena sinar matahari”diartikan saudara yang satunya agar menjaga kulitnya dari terkena sinar matahari.

Maka sejak awal ia sudah membeli sebuah mobil baru agar saat berangkat dan pulang dari kantornya ia tidak terkena sinar matahari.

Ada pengeluaran besar saat belum ada profit. Aliran uang yang tidak lancar ditambah beban perawatan untuk kendaraan menyebabkan usahanya gulung tikar.

Tapi tidak bagi saudara yang satunya lagi.

Karena hanya berbekal motor yang ia punya, maka ia pun berangkat lebih pagi – sebelum matahari terbit - dan pulang lebih malam, setelah matahari terbenam.

Dengan jam kerja yang jauh lebih lama, maka produktifitas usahanya pun jauh lebih baik.

Nah, ini adalah salah satu ilustrasi betapa pentingnya “cara kerja” mindset ini.

Mindset tidak bisa dijiplak!


Masih contoh dari dunia bisnis,

ada sebuah metode sederhana yang bisa kita terapkan saat akan memulai sebuah usaha.

Metode tersebut oleh teman-teman entrepreneur biasa disingkat dengan ATM. Yaitu Amati, Tiru dan Modifikasi.

Dengan mengamati usaha orang lain, kita akan punya gambaran besar tentang usaha yang akan kita jalankan.

Kita bisa punya gambaran detil tentang hal-hal apa saja yang dibutuhkan, kelebihan dan kelemahannya, termasuk juga kalkulasi modal yang dibutuhkan.

Selanjutnya kita tinggal menerapkan (baca: meniru) hal-hal tersebut pada usaha yang kita jalankan.

Dan dengan beberapa modifikasi yang kreatif, usaha kita bisa menjadi lebih baik daripada usaha orang lain tersebut.

Sepintas cara ini sangat efektif untuk mendongkrak omset bisnis kita.

Secara logika, usaha yang kita jalankan jelas lebih baik daripada usaha orang yang kita tiru.

Namun, tahukah kita bahwa hal ini tidak pernah menjamin bahwa bisnis kita akan lebih berhasil daripada usaha orang lain.

Masalahnya adalah, yang bisa kita contek hanyalah hal-hal yang bersifat fisik dan bisa dipelajari.

Misalnya teknik pembuatan produk, mencari tempat kulakan, strategi pemasaran, cara kerja tim, cara berkomunikasi dengan customer, dan hal-hal lainnya yang kita sebut “bersifat fisik”.

Namun ada satu hal lagi - yang sangat penting - yang tidak bisa dicontek secara langsung.

Yaitu MINDSET.

Bahkan ada yang mengatakan bahwa mindset tidak bisa dipelajari, karena ia terbentuk di alam bawah sadar kita.

Inilah yang menjadikan bagaimana dua orang yang melakukan hal yang sama bisa mendapatkan hasil yang berbeda.

Sejalan dengan kutipan di atas, maka “Beda mindset berarti beda pengelolaan. Beda pengelolaan berarti berbeda pula yang akan dihasilkan”.

Akan tetapi, meski tadi disebutkan bahwa mindset tidak bisa dipelajari (karena sudah kadung terbentuk pada alam bawah sadar kita),

namun ada cara-cara tertentu yang bisa dilakukan untuk mengubah mindset tersebut.

Mengubah dari cara berpikir lama ke sistem pola pikir yang baru.


Bangun mindset anak kita!


Mindset adalah bagaimana kita berpikir dan bagaimana kita bertindak.

Mindset adalah penggabungan dari sekumpulan harapan, pendapat, kebiasaan, keputusan dan keyakinan.

Mindset itu adalah Thomas Alva Edison ketika berusaha menciptakan sebuah lampu pijar.

Artinya, mindset bukanlah sesuatu yang tiba-tiba ada. Ia terbentuk pada diri seseorang semenjak kecil.

Bahkan, sejak sebelum orang tersebut lahir.

Lalu bagaimana cara membentuk mindset ini?

Ada tahapan-tahapan pembentukan pola pikir pada diri anak, berdasarkan usia mereka.

Secara garis besarnya, ada 3 tahap yang akan dilalui.

1. Pembentukan pada masa kehamilan


Dikatakan bahwa memori janin telah terbentuk utuh saat usia kandungan telah mencapai 3 bulan.

Maka tahapan pembentukan pola pikir yang bisa dilakukan pada masa ini adalah menjaga emosi sang ibu agar tetap stabil.

Banyak kasus-kasus yangtidak diinginkan terjadi disebabkan karena gangguan emosi sang ibu, yang hal tersebut akan berdampak langsung terhadap janin.

Selain itu, hal lainnya yang bisa dilakukan adalah memberikan rangsangan pendidikan.

Bisa dengan cara memperdengarkan lantunan ayat-ayat Al-Qur’an, hafalan surat-surat pendek, dasar-dasar bahasa, sentuhan fisik, dan sebagainya.

2. Pembentukan pada masa bayi


Pada masa ini pikiran sadar pada bayi belum terbentuk, sehingga rangsangan dari luar tidak terlalu berpengaruh.

Akan tetapi semua rangsangan-rangsangan tersebut akan disimpan di alam pikiran bawah sadar.

Dalam hal ini yang akan terbentuk pada pikiran sang bayi adalah KEPERCAYAAN.

Maka dengan menerima anak apa adanya dan tidak menuntut berlebihan kepadanya, serta tetap menjalin komunikasi yang hangat dan tetap mendoakannya adalah hal-hal yang bisa dilakukan untuk membentuk mindset positifnya.

3. Pembentukan pada masa kanak-kanak


Para psikolog menyebut masa ini adalah masa tanam.

Pada masa ini transfer pola pikir positif dari orangtua ke anak biasanya mulai mendapat penolakan. Hal ini terjadi karena pada masa anak-anak mulai terbentuk filter mental mereka.

Sebagaimana diketahui ada salah satu bagian otak yang kita sebut critical area.

Setiap informasi yang masuk akan disaring di bagian ini. Jika informasi dianggap tidak masuk akal, maka critical area akan menolaknya.

Meski tertolak, informasi ini akan tetap tersimpan di alam bawah sadar. Bukan sebagai mindset, akan tetapi hanya sekedar memori bawah sadar.

Namun pada beberapa perlakuan, informasi yang seharusnya difilter oleh critical area bisa saja “lolos” dan menetap pada alam bawah sadar menjadi mindset.

Hal ini bisa terjadi pada kasus hipnotis, trauma, atau pada suatu hal yang diulang terus menerus.

Untuk meminimalisir penolakan-penolakan tersebut, maka penanaman cara berpikir yang positif ini harus dilakukan dalam keadaan yang menyenangkan.

Bisa melalui hobi dan kesukaan mereka, cerita-cerita imajinatif yang menginspirasi serta diskusi-diskusi ringan di dalam keluarga.

Rewarding and punisment (hadiah dan hukuman) juga mulai bisa diterapkan dalam kadar ringan untuk membentuk kebiasaan baik dalam keluarga.


Friday, September 23, 2016

Inilah 4 Kesalahan Kita Sebagai Seorang Pemimpin!


parenting, pendidikan anak, pendidikan karakter, pemmpin


Setiap kita adalah pemimpin.

Dan setiap pemimpin akan diminta pertanggung-jawabannya atas apa yang dipimpinnya.

Mengutip perkataan Mas Jaya Setiabudi – mentor bisnis sekaligus founder dari yukbisnis.com -

memimpin adalah seni “mengelus” dan “menampar”.

Artinya bahwa seorang pemimpin harus tahu betul kapan saatnya menyayang, mengapresiasi dan memuji,

serta tahu kapan saatnya menegur, menghukum dan bertindak tegas.

Tugas seorang pemimpin itu bukan cuma memerintah dan menyuruh.

Seorang pemimpin yang baik adalah mereka yang tidak hanya meletakkan wewenang di pundak anak buahnya,

namun juga mengajarkan kepada mereka bagaimana bertanggung jawab terhadap wewenang tersebut.

Orangtua,

adalah pemimpin di dalam keluarganya.

Sosok ayah dan ibu secara otomatis menjadi leader bagi anak-anak mereka.

Hal inilah yang mewajibkan mereka untuk memiliki kemampuan memimpin ini.

Seperti kita tahu bahwa di dalam ilmu kepemimpinan, kita mengenal dua hal penting yang menjadi bahan dasarnya,

yaitu PENGHARGAAN dan HUKUMAN.

Kedua hal ini tidak boleh dipisahkan, karena keduanya merupakan satu-kesatuan.

Salah satunya tidak bisa diterapkan tanpa melibatkan yang lainnya.

Sedangkan kedua-duanya juga tidak bisa dihadirkan tanpa ada proses panjang sebelumnya.

Yaitu proses pengajaran tentang nilai-nilai kebaikan dan keburukan.

Jika diibaratkan sebuah pohon, maka kita tidak bisa memetik buahnya sebelum menanamnya.

Kita tidak bisa langsung memuji atau menghukum sebelum anak-anak paham kenapa hal tersebut mereka terima.

Lebih jauh, ada 3 catatan penting terkait dengan kedua hal ini.

Pertama.

Memberikan penghargaan (reward) tidak harus diwujudkan dalam bentuk hadiah materi, sebagaimana hukuman-pun tidak selalu harus ditunjukkan dengan perlakuan yang kasar.

Perhargaan terhadap seorang anak bisa dilakukan dengan pujian yang tulus, perhatian yang penuh dengan kasih sayang, dsb.

Mereka yang diapresiasi dengan cara ini biasanya akan menjadi lebih termotivasi untuk bersikap loyal.

Sedangkan mereka yang selalu mendapat materi atas keberhasilannya, hanya akan menjadi manusia-manusia pengejar materi yang mengabaikan nilai moral dan etika.

Kedua.

Penerapan kedua hal ini tidak bisa di-generalisir pada semua anak.

Artinya bahwa penghargaan atau hukuman yang berhasil diterapkan pada seorang anak,

belum tentu sukses saat diaplikasikan untuk anak yang lain.

Karakteristik yang berbeda pada tiap-tiap anak mengharuskan orangtua untuk memberikan pujian dan teguran dengan cara dan porsi yang tepat.

Ketiga.

Perlu timing yang tepat.

Dalam buku 30 Strategi Mendidik Anak karya Dr. Musthafa Abu Sa’ad, disebutkan bahwa kesalahan umum yang dilakukan oleh para orangtua di dalam penerapan ‘Perhargaan dan Hukuman’ ini adalah ketidak-tepatan dalam penempatan waktunya.

Kenapa timing ini penting?

Karena kita tahu bahwa hal-hal yang sebenarnya baik, namun jika penyampaiannya tidak pada waktu yang tepat,

justru akan menjadi tampak buruk.

Di dalam buku tersebut disebutkan ada 4 kesalahan orangtua di dalam penyampaian ‘penghargaan’ dan ‘hukuman’ yang tidak pada waktu yang tepat.


1. Tidak memberikan penghargaan pada sikap baik anak


Si Ahmad yang berhasil lulus dengan nilai yang cukup baik, segera berlari pulang dan ingin menunjukkan ijazahnya kepada sang ayah.

“Ayah, aku lulus! Lihatlah nilaiku!”

Tetapi si ayah tidak menoleh dan menghentikan aktivitasnya. Si ayah malah berkata,

“Ayah masih sibuk, jangan diganggu. Ganti seragammu. Sesudah itu pergilah bermain.”

See,

Jika anda yang berada pada posisi Ahmad, bagaimana perasaan anda?

Jengkel?

Kecewa?

Marah?

Tentu saja.

Namun dampak yang lebih parah sebenarnya adalah si Ahmad kemungkinan akan kehilangan semangatnya untuk belajar.

Ia akan berpikir percuma saja belajar.

Toh, meski mendapat nilai baguspun tidak ada pengaruhnya apa-apa.

Jika anda pernah membaca Cara Menjadi Pendengar yang Baik Untuk Anak Dalam 4 Langkah!,

maka anda akan tahu betapa pentingnya mendengarkan anak.


2. Memberikan penghargaan untuk sikap buruk anak


Si Adi yang diajak ibunya berbelanja ke sebuah mall tertarik pada sebuah mainan yang tengah dipajang di etalase.

Adi meminta untuk dibelikan mainan tersebut, namun si ibu menolak.

Adi kemudian merengek-rengek dan menangis keras di tengah-tengah pengunjung mall.

Akhirnya, karena tidak tahan menjadi pusat perhatian, si ibu akhirnya mengalah,

“Ya sudah, ibu akan belikan mainan itu. Tapi kamu harus berhenti menangis.”

Apa yang dilakukan oleh si ibu adalah contoh yang salah.

Dengan memberikan apa yang diminta anak pada kondisi seperti di atas akan memberikan pemahaman kepada anak bahwa memang begitulah cara untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan.

Catatan ayahnulis tentang hal ini bisa anda baca pada tulisan yang berjudul Cara Tepat Mengatasi Anak yang Marah di Tempat Umum


3. Memberikan hukuman untuk sikap baik anak


Terdengar agak aneh ya? Tapi silahkan simak contoh berikut.

Saat ibunya sedang berada di luar rumah, Fatimah ingin memberikan sebuah kejutan untuk ibunya.

Ia lalu mengambil sapu dan membersihkan semua bagian rumah dan membuang kotorannya ke luar.

Saat ibunya datang, dengan bangga Fatimah mengatakan bahwa dirinya telah membersihkan rumah.

Namun si ibu justru memarahinya, “Kenapa kotorannya kamu buang di depan? Tuh, depan rumah jadi tampak kotor, kan?”

Fatimah yang mengira akan mendapat pujian harus kecewa karena yang diberikan ibunya justru ‘hukuman’ berupa kemarahan.

Sedangkan si ibu hanya melihat “kesalahan” yang dilakukan putrinya tanpa menimbang motif dibalik itu.

Tidak terburu-buru dalam menvonis anak adalah salah satu dari metode mengoreksi kesalahan anak. catatan selengkapnya bisa anda baca di sini.


4. Tidak memberikan hukuman untuk sikap buruk anak


Dua bersaudara terlibat pertengkaran dan perkelahian.

Meski kemudian terlihat kalau sang kakak meminta maaf pada adiknya, si ibu tetap meminta suaminya untuk memberi pengertian kepada mereka.

Namun si ayah justru tidak bereaksi apa-apa.

“Anak-anak itu memang begitu. Biarkan saja. Toh, nanti akan berbaikan dengan sendirinya.

Karena merasa dibela, jelas, sikap seperti ini akan memotivasi sang kakak untuk terus mengulangi perbuatan buruknya.

Sedangkan bagi sang adik yang merasa tidak pernah dibela justru akan memupuk sikap permusuhannya dengan sang kakak.

Singkatnya, membela dan menyalahkan salah satu,

atau membiarkan mereka begitu saja adalah sebuah langkah yang tidak bijak.

Perbuatan ini juga menjadi salah satu dari 9 alasan kenapa nasehat kita tidak didengarkan anak.

Yang harus dilakukan oleh orangtua adalah memahami penyebab pertengkaran tersebut dan menyikapinya dengan bijaksana dan se-adil mungkin.

Saturday, September 17, 2016

Hipersensitif dan Hiposensitif, Apa itu?

hipersensitif, hiposensitif, parenting, pendidikan anak

Sebagai orangtua yang masih sangat awam dengan dunia parenting,

istilah hipersensitif dan hiposensitif baru saya temukan beberapa hari terakhir ini.

Hal ini tidak lain karena putra pertama kami memiliki kecenderungan ke sana.

Hipersensitif juga dikenal di dunia medis.

Yaitu suatu keadaan dimana kulit balita sangat sensitif terhadap rangsangan dari luar tubuh.

Sensitifitas yang tinggi ini akan menyebabkan tanda-tanda fisik (misalnya ruam pada kulit balita, dsb).

Namun di dunia parenting,

istilah hipersensitif digunakan untuk anak-anak yang memiliki perasaan yang sangat peka.

Kepekaan yang berlebih ini tidak jarang menimbulkan masalah di dalam pergaulan mereka.

Saat anak berusia 5 tahun, kepekaan mereka akan meningkat.

Dan ini wajar.

Hal ini terjadi karena pada usia itu anak-anak sudah bisa melihat perbedaan dirinya dengan anak-anak yang lain,

yang membuat mereka menilai dirinya tidak sesempurna teman-temannya.

Namun meski dinilai wajar,

keadaan seperti ini tidak bisa dibiarkan begitu saja karena akan menjadikan anak tumbuh sebagai pribadi yang hipersensitif.

Dan ini bukan hal yang bagus.

Ada yang membagi hipersensitif ini ke dalam 2 macam.

Untuk lebih mudahnya, saya akan menggunakan 2 contoh kejadian di bawah ini.

Contoh 1

Saat melihat temannya terjatuh, anak anda tiba-tiba ikut menangis.

Rupanya ia juga ikut merasakan sakitnya jatuh seperti itu. Padahal mungkin saja, temannya yang jatuh tadi tidak merasakan sakit yang terlalu parah.

Kita bisa menyebut keadaan ini dengan hipersensitif ke luar.

Contoh 2

Saat bermain bersama anak-anak sebayanya, salah satu dari mereka mencoba menggoda anak anda dengan niat untuk bercanda.

Namun anak anda menanggapinya dengan serius, seolah-olah ia sedang diejek dan dilecehkan.

Anak anda marah, lalu terjadilah pertengkaran.

Keadaan ini dinamakan dengan hipersensitif ke dalam.

Di antara keduanya, jenis yang disebut terakhir inilah yang kerap menimbulkan dampak yang buruk.

Anak-anak hipersensitif cenderung memandang sekitarnya dengan negatif sehingga apapun dianggap salah bagi mereka.


Hipersensitif dan Hiposensitif, apa bedanya?


Kedua istilah di atas sebenarnya sama saja,

yaitu penyebutan untuk kondisi anak-anak yang memiliki perasan peka yang terlalu tinggi,

sehingga hal ini memicu reaksi negatif seperti mudah tersinggung, ngambekan, cengeng ataupun marah.

Perbedaannya adalah,

sensitifitas yang dimiliki anak-anak hipersensitif biasanya ditunjukkan secara langsung. Misalnya langsung marah ketika merasa dirinya diejek, dsb.

Sedangkan pada anak-anak dengan kecenderungan hiposensitif, seringkali lebih mampu menutupi perasaannya.

Hanya saja, perasaan yang disembunyikan ini kemudian akan ditumpuk menjadi dendam yang kuat.

Tanggal 6 September kemarin, dengan difasilitasi oleh pihak sekolah, kami – para wali murid - berkesempatan untuk bertemu dan berkonsultasi dengan Bpk. Heru Cahyo, seorang konsultan di bidang pendidikan anak-anak sekaligus konseptor sebuah sekolah swasta di daerah Barata Jaya, Surabaya.

Sedikit cerita saja, pada hari sebelumnya anak-anak kelas 1 diminta untuk menggambar obyek berupa rumah, pohon dan orang pada selembar kertas.

Dimana rumah merepresentasikan sosok ibu, pohon adalah ayah dan orang adalah diri mereka sendiri.

Dari susunan tiga buah obyek yang mereka gambar tadi, akan bisa diketahui bagaimana karakter anak serta bagaimana hubungan mereka dengan orangtua.

Satu hal yang sempat kami tanyakan saat itu adalah apa penyebab anak gampang tersinggung serta bagaimana cara orangtua menanggulanginya.

Dari penjelasan beliau ditambah hasil searching di internet, beberapa hal yang menyebabkan anak-anak mudah tersinggung di antaranya adalah:

1. Kelelahan atau sakit


Meski sepele, namun faktor ini bisa memicu perasaan tersinggung pada anak.

Orang dewasa akan mudah mengatakan dirinya sedang lelah atau sakit, secara verbal. Tapi tidak demikian dengan anak-anak.

Pada saat kurang fit, anak-anak biasanya mengungkapkan kondisi mereka dengan cara rewel atau gampang menangis.

2. Suasana yang tidak nyaman


Hal ini biasanya karena anak-anak sedang mendapati “situasi baru” yang belum atau jarang mereka temui.

Misalnya saat pindah ke rumah baru, atau saat anak diajak menghadiri undangan ke sebuah tempat yang hampir semuanya tidak dikenal oleh anak kita.

Suasana yang tidak nyaman bisa juga terjadi saat anak-anak berada di suatu tempat yang panas, sesak atau bising, misalnya di dalam angkutan umum, dsb.

3. Butuh perhatian


Kurangnya perhatian juga bisa menjadi penyebab anak-anak bersikap temperamental.

Orangtua yang tampak pilih kasih dengan kakak atau adiknya, atau kurangnya interaksi anak dengan sang ayah karena ditinggal kerja ke tempat yang jauh bisa menyebabkan anak-anak merasa terbuang.

Hal inilah yang kemudian memicu sikap mudah tersinggung atau gampang marah pada anak.

4. Merasa gagal


Saat anak-anak merasa tidak terpenuhi keinginannya, mereka akan melampiaskan kekesalannya dengan marah-marah atau menangis.

Di artikel yang ini dijelaskan cara-cara yang efektif untuk membuat anak-anak selalu berpikir positif.

5. Terlalu banyak larangan


Orangtua yang terlalu banyak melarang anaknya, bisa membuat anak-anak kesal.

Hal ini juga menjadi sebab kenapa anak-anak tidak mau mendengarkan nasehat orangtua mereka.

6. Tipikal Perfeksionis


Mereka yang memiliki sikap perfeksionis menuntut segalanya untuk sesuai dengan harapan.

Jika kemudian di dalam prosesnya, atau hasilnya ada yang “cacat”,

anak-anak dengan kepribadian seperti ini biasanya akan langsung drop.

Biasanya kalau sudah dalam kondisi begini, anak-anak akan susah untuk diminta melakukan sesuatu atau diajak berkomunikasi.


Lalu bagaimana menangani anak yang mudah tersinggung dengan tepat?


Ada beberapa langkah yang bisa diterapkan oleh para orangtua untuk mengatasi anak-anak yang memiliki kecenderungan hipersensitif.

Namun jika harus diringkas, setidaknya ada 5 cara yang menurut kami paling efektif.

Kelima cara itu adalah:

1. Memberikan godaan ringan


Hal yang harus dilakukan untuk mengatasi anak yang hipersensitif adalah dengan menunjukkan kepada mereka bahwa tidak semua godaan itu bermaksud untuk melecehkan atau menghina.

Cara yang paling mudah untuk diterapkan adalah dengan sesering mungkin untuk menggoda (atau mengusili) anak kita.

Namun cara ini tidak boleh sampai membuat anak menangis atau marah.

Jangan sampai mereka berpikir bahwa kita sama saja dengan teman-teman mereka.

Orangtua harus mengukur level godaan se-ringan mungkin. Baru nanti jika memungkinkan levelnya bisa ditingkatkan lagi.

2. Orangtua sebagai role model


Disadari atau tidak, bagaimana cara kita bersikap terhadap suatu hal, maka begitulah yang akan dicontoh oleh anak-anak kita.

Saat menghadapi suatu permasalahan, orangtua harus menunjukkan sikap percaya diri dan optimis.

Maka sikap yang sama juga akan diterapkan anak-anak saat menanggapi suatu hal.

3. Bersikap lembut dan sabar


Saat anak-anak sedang sensitif, orangtua sebaiknya tidak menanggapinya dengan kekerasan.

Hal ini justru akan memperburuk keadaan mereka.

Sebaliknya, perlakukan mereka dengan lembut dan sabar. Tunjukkan bahwa kita memahami mereka.

4. Benturkan dengan keadaan


Meski kita harus bersikap lembut dan sabar pada anak-anak,

namun ada saatnya dimana mereka harus dibenturkan dengan keadaan yang tidak mereka senangi.

Kita harus mengajarkan bahwa tidak semua harus berjalan sesuai dengan keinginan mereka.

Ada saat dimana mereka yang harus mengalah dan mengikuti aturan yang ada.

5. Jalin komunikasi yang intens


Terhadap anak-anak yang mudah tersinggung,

seringkali kita hanya harus membantu mereka untuk mengungkapkan perasaannya saat itu.

Jauh lebih baik jika mereka mengatakan “Aku tidak suka”, daripada langsung marah karena tersinggung.

Dengan membiasakan anak-anak untuk mengatakan yang dirasakan – bukan meluapkannya – akan membantu mereka untuk meredam emosinya.

Friday, August 26, 2016

Kritik yang Membangun itu Tidak Ada!

parenting, pendidikan karakter, pendidikan anak

Mereka yang berkutat di dunia parenting, tentu amat familiar dengan puisi yang pertama kali ditulis tahun 1954 oleh Dorothy Law Nolte, seorang pendidik dan konseling keluarga, untuk sebuah surat kabar di California ini.

(Untuk versi terjemahannya bisa lihat di sini)

Children Learn What They Live
(Dorothy Law Nolte, Ph.D.)

If children live with criticism, they learn to condemn.
If children live with hostility, they learn to fight.
If children live with fear, they learn to be apprehensive.
If children live with pity, they learn to feel sorry for themselves.
If children live with ridicule, they learn to feel shy.
If children live with jealousy, they learn to feel envy.
If children live with shame, they learn to feel guilty.
If children live with encouragement, they learn confidence.
If children live with tolerance, they learn patience.
If children live with praise, they learn appreciation.
If children live with acceptance, they learn to love.
If children live with approval, they learn to like themselves.
If children live with recognition, they learn it is good to have a goal.
If children live with sharing, they learn generosity.
If children live with honesty, they learn truthfulness.
If children live with fairness, they learn justice.
If children live with kindness and consideration, they learn respect.
If children live with security, they learn to have faith in themselves and in those about them.
If children live with friendliness, they learn the world is a nice place in which to live.

Yang cukup menarik perhatian saya adalah kalimat pertama dari puisi fenomenal yang sudah diterjemahkan ke dalam lebih dari 30 bahasa ini.

Kalimat pertama puisi itu berbunyi,

“Jika anak hidup dengan kritikan, mereka belajar menyalahkan.”


Kenapa saya bilang menarik?

Karena sejak dulu kita mengenal bahwa tidak semua kritikan itu buruk.

Kita diperkenalkan bahwa ada beberapa jenis kritikan yang bagus, malahan kita mengistilahkannya sebagai “kritik yang membangun”.

Tapi di dalam puisi di atas, seolah-olah mengisyaratkan bahwa semua jenis kritik itu, buruk.

Masaru Emoto, seorang doktor pengobatan alternatif berkebangsaan Jepang, pernah melakukan sebuah eksperimen.

Ia meletakkan beberapa butir beras pada dua wadah yang berbeda.

Beras yang ada pada wadah yang pertama, setiap hari diberi kritikan terus menerus.

Bahkan pada wadah tersebut juga ditempel kertas yang berisi kecaman.

Sementara pada beras yang berada pada wadah kedua selalu diberikan pujian, penghargaan dan motivasi setiap hari.

Hasilnya?

Setelah beberapa hari kemudian, didapati bahwa beras yang berada pada wadah pertama telah menghitam dan rusak.

Sedangkan beras yang ada pada wadah kedua tetap putih dan bersih.

Masaru yang dikenal lewat bukunya “The Power of Waters” juga pernah melakukan percobaan yang sama dengan menggunakan media air.

Ia memperdengarkan kepada air tersebut berbagai macam suara, musik, doa-doa, pujian dan cacian.

Gelas berisi air yang mendapat kritik dan kecaman – setelah dilihat menggunakan mikroskop - memiliki bentuk kristal-kristal yang cacat,

sedangkan air yang diberikan pujian dan motivasi justru membentuk kristal-kristal air yang indah.

Apa artinya?

Artinya bahwa TIDAK ADA KRITIKAN YANG MEMBANGUN.

Semua kritikan itu merusak, melemahkan dan menghancurkan.

Dalam Kamus Istilah-istilah Populer, kata “kritik” diartikan sebagai “celaan”.

Sehingga saat kita mengkritik seseorang,

seolah-olah kita ingin menegaskan bahwa kita benar dan orang tersebut salah.

Dari sini kita tahu mengapa anak-anak (dan juga istri) yang selalu dikritik tidak membuat mereka bertambah menjadi lebih baik.

Justru anak-anak yang sering mendapat apresiasi menjadi mudah untuk melakukan hal-hal positif lainnya.

Jika anda seorang suami, anda bisa melakukan tes seperti ini dengan terus mengkritik istri anda setiap hari,

lalu pada beberapa hari hari berikutnya anda terus memuji hasil pekerjaannya.

Anda akan bisa membandingkan perbedaannya.

Apa yang terjadi pada beras (dan air) mengajarkan kepada kita untuk tidak mengeluarkan kata-kata yang kasar dan bernada hinaan kepada orang lain,

terutama kepada anak-anak kita.

Memang ada beberapa orang yang bisa menggunakan kritikan sebagai sarana untuk meng-upgrade diri.

Tapi yang pasti hal tersebut tidak akan terjadi pada anak-anak.

Seperti yang ditulis Dorothy pada baris lain dalam puisi di atas,

“Jika anak hidup dengan ejekan, mereka belajar menjadi rendah diri.”

Anda tentunya sudah membaca artikel blog ini yang berjudul Pelajaran Nancy Matthew Elliot dan Sang Putra.

Ketika kecaman datang dari pihak sekolah kepada sang ibu,

maka sang ibu bisa mengubah kecaman itu menjadi cambuk pelecut dirinya.

Tapi bisakah kita membayangkan bagaimana seandainya kecaman itu langsung diterima oleh si anak?

Jika hal itu terjadi, mungkin sampai sekarang lampu pijar belum ditemukan dan kita masih hidup dengan kegelapan.

Lalu jika mengkritik bisa menghancurkan anak,

bagaimana cara kita mengingatkan jika mereka salah?

Anda bisa membaca terlebih dahulu 7 Aturan Dasar Mengoreksi Kesalahan Anak dengan Tepat dan Bagaimana Cara Mengoreksi Kesalahan Anak Tanpa Ditolak.

Secara umum, anak-anak lebih suka menerima sesuatu dari seseorang yang dianggapnya teman daripada pemberian seseorang yang tidak mereka sukai.

Jadi daripada kita memakai bahasa kritikan kepada anak-anak, jauh lebih efektif jika kita menggunakan bahasa seorang sahabat, yaitu SARAN.

Saya beberapa blog yang saya sambangi, setidaknya ada 5 langkah bagaimana cara memberi saran yang baik untuk anak-anak

Dan hal ini bisa kita praktekkan juga kepada orang lain (atau sahabat kita), tanpa membuat mereka merasa tersinggung.


1. Bertanyalah


Hal yang cukup penting di dalam pemberian saran adalah jangan pernah merasa kita tahu apa yang anak-anak rasakan.

Daripada kita mengira-ngira, akan lebih baik jika kita bertanya langsung tentang apa yang mereka rasakan atau pertanyaan-pertanyaan yang tidak mereka pikirkan sebelumnya.


2. Dengarkan mereka


Setelah kita bertanya, hal selanjutnya yang harus dilakukan adalah mendengarkan mereka.

Tentang bagaimana cara menjadi pendengar yang baik untuk anak-anak, bisa anda baca di sini.



3. Beri Pilihan


Jika kita ingin menghindari perasaan tersinggung dari anak-anak karena saran kita,

maka kita bisa memberikan saran tersebut secara “tersembunyi”.

Dengan memberikan mereka pilihan beserta hal-hal yang akan menjadi konsekuensinya, anak-anak akan merasa dibantu untuk membuat keputusan,

bukan merasa diatur oleh kita.
 

4. Dukung atau Sedikit Membandingkan


Saat anak-anak kita sudah menentukan pilihannya,

maka jika pilihannya itu sudah tepat menurut kita, dukunglah.

Besarkan kepercayaan diri mereka.

Namun jika pilihan mereka kurang tepat,

maka kita bisa “menggiring” opini mereka ke pilihan yang lebih baik dengan cara membandingkan cerita mereka dengan pengalaman kita dulu atau teman kita atau anak-anak lain.

Namun hal seperti ini jangan dilakukan berlebihan, karena anak-anak akan merasa keputusannya dimonopoli oleh kita.
 

5. Apresiasi-lah


Membuat keputusan itu bukan hal yang mudah bagi anak-anak.

Keterbatasan ber-logika membuat mereka kerap membuat keputusan yang keliru.

Jika langkah no. 4 belum berhasil pada anak, jangan langsung menunjukkan sikap permusuhan kepada mereka.

Hargailah keputusan tersebut.

Barangkali mereka - seperti saya sebut di artikel 7 cara berkomunikasi dengan anak - adalah anak-anak yang harus mendapat “pengalaman” dan belajar dari kesalahannya terlebih dahulu.

Sunday, August 21, 2016

Cara Menjadi Pendengar yang Baik Untuk Anak Dalam 4 Langkah!

Ada satu anekdot kocak yang bisa saya pakai untuk membuka tulisan kali ini.

Suatu hari seorang anak yang masih kelas 1 SD bertanya kepada mamanya yang sedang sibuk di dapur.

“Ma, ML itu apa sih?”

Si ibu langsung kaget.

“Hush! Darimana kamu tahu istilah itu?!”

“Ayolah, Ma... Artinya apa?” Rengek si anak.

“Itu urusan orang dewasa. Kamu belum waktunya untuk tahu.”

“Tapi aku kan cuma kepingin tahu artinya...”

Akhirnya, karena tidak betah dengan rengekan si anak, si ibu ini akhirnya menjelaskan,

“Begini,”

“ML itu artinya Making Love, yaitu hubungan antara laki-laki dan perempuan yang hanya boleh dilakukan oleh suami istri. Jika belum menikah, maka kita tidak boleh melakukan hal itu..”

Si anak bengong.

“Nah, sudah mengerti, kan? Sekarang ibu tanya, darimana kamu tahu istilah itu?”

Si anak dengan wajah innocent-nya menunjukkan botol air minum yang sedang dipegang,

“Ini, Ma. Di botol air minum kan sering ada tulisan 1000 ml, 1500 ml...”

Gantian si ibunya bengong... #TepokJidat

H-hee...

Cerita di atas adalah salah satu contoh kecil permasalahan yang timbul ketika orangtua salah memahami maksud si anak.

parenting, pendidikan karakter, pendidikan anak

Anda tentu sudah membaca 9 Alasan Kenapa Nasehat Orangtua Tidak Didengar Anak yang saya tulis beberapa waktu yang lalu.

Di artikel tersebut disebutkan ada 9 perilaku salah dari orangtua yang menyebabkan kenapa nasehat mereka tidak sampai ke anak-anak.

Yang ingin saya sampaikan, ada satu poin lagi sebenarnya yang belum saya unkap pada tulisan itu,

karena saya memang berencana untuk membuat satu tulisan tersendiri tentang poin tersebut.

Manusia,

di dalam hubungan sosialnya dengan orang lain memiliki 4 sarana komunikasi.

Keempat sarana komunikasi itu adalah berbicara, menulis, membaca dan mendengar.

Di antara keempat sarana komunikasi di atas,

“mendengar” adalah hal yang seringkali terabaikan.

Padahal, kita bisa memahami orang-orang yang ada di sekitar kita,

dan mengetahui keinginan mereka,

hanya ketika kita mau mendengarkan perkataan mereka.

Kalau kita salah paham terhadap maksud anak, ya seperti cerita di atas contohnya.

Akan tetapi sedikit berbeda dengan istilah “mendengar” yang mengkonotasikan perbuatan fisik (yaitu telinga),

kata “mendengarkan” pada pembahasan ini lebih mengarah kepada perbuatan hati.

Mendengarkan adalah suatu kemampuan yang tidak semua orangtua memilikinya.

Banyak dari kita yang bisa mendengar, namun sedikit sekali yang mampu mendengarkan anak-anak mereka.

Filosofi 2 telinga dan 1 mulut adalah agar kita lebih banyak mendengarkan daripada memerintah.


Kenapa MENDENGARKAN ini harus menjadi satu pokok bahasan tersendiri?

Dalam buku “Istraatijiyah at-Tarbiyah Al-Ijaabiyyah” yang ditulis oleh Dr. Musthafa Abu Sa’ad

(tenaaang... judulnya memang bahasa Arab, tapi saya punya versi terjemahnya, 30 Strategi Mendidik Anak),

di sana ditulis begini,

“Menjadi pendengar yang baik bagi sang anak berarti memperhatikan apa yang ingin diungkapkan oleh sang anak,
sekaligus menjadi media penyampaian pesan positif kepada sang anak dengan baik pula.”

Frasa terakhir inilah yang penting.

Bahwa – menurut penulis - kunci keberhasilan menjadi pendengar yang baik terletak pada “pesan tersembunyi” yang dihasilkan dari komunikasi non-verbal yang disampaikan orangtua kepada anak.

Komunikasi non-verbal itu bisa berupa senyuman, mimik wajah ataupun bahasa tubuh yang menyatakan perasaan sayang dan cinta kita kepada mereka.

Mendengarkan perasaan anak dengan penuh perhatian dapat membangun kepercayaan diri anak-anak dan meningkatkan harga diri mereka.

Ketika anak menyadari perhatian dan kasih sayang kita kepada mereka,

maka semangat dan motivasinya terhadap hal-hal yang baik lainnya akan terpupuk.

Hal ini tentu akan sangat berperan bagi pertumbuhan karakter dan mental mereka.

Di dalam buku yang sama, penulis bahkan meletakkan proses mendengarkan ini setara dengan mengajak anak-anak membeli kebutuhan mereka, merawat kesehatan dan kebersihan mereka, dsb.

Artinya perlu ada waktu tersendiri dan komunikasi yang bersifat personal.

Dalam satu hari kita bersama anak-anak, sediakan – setidaknya – 5 menit untuk mendengarkan perkataan dan perasaan mereka.

Dengan memanfaatkan waktu yang sebentar untuk mendengarkan anak-anak,

ini lebih baik daripada waktu yang akan kita habiskan untuk menyelesaikan masalah yang diakibatkan karena kurangnya kita mendengarkan mereka.

Dan seperti kemampuan-kemampuan lainnya yang perlu terus diasah,

kemampuan untuk mendengarkan ini pun perlu dilatih dengan baik.

Sebab jika kita gagal, maka anak-anak ini akan merasa diabaikan dan tidak dihargai.

Dampak selanjutnya adalah anak-anak yang suka membangkang perintah orangtuanya.

Berikut ini adalah bagaimana cara orangtua bisa menjadi pendengar yang baik untuk anak-anaknya.


1. Bahasa tubuh yang tepat


Orangtua harus membuat bahasa tubuh yang tepat.

Kita harus menunjukkan bahwa kita akan serius mendengarkan setiap kata-katanya.

Jadi jangan mendengarkan sambil melakukan aktifitas yang lain,

dan jangan mencoba untuk berpura-pura mendengarkan, karena anak-anak pasti akan menyadarinya.

Pusatkan perhatian kita kepadanya.

Bisa dengan cara menatap kedua matanya dengan pandangan sayang,

atau kita juga bisa menambahkan sentuhan, pelukan atau genggaman tangan untuk memperkuat komunikasi non-verbal kita.

Karena itulah tadi dikatakan proses ini memerlukan waktu tersendiri.

Sediakan, meski tidak lama.


2. Beri respon, bukan bantahan


Agar anak merasa perkataannya diperhatikan, orangtua perlu memberi respon setiap kali anak berbicara.

Respon di sini bisa berupa ucapan “ohh,” atau “begitu, ya” atau ucapan-ucapan yang sejenis.

Atau bisa juga dengan sekedar anggukan kepala yang menunjukkan persetujuan atau kita memahami apa yang mereka ungkapkan.

Jangan buru-buru membantah jika kita tidak setuju, apalagi sampai memotong ucapannya.

Meski kita sudah punya jawabannya, tahanlah, sampai anak-anak benar-benar menyelesaikan perkataannya.

Selain karena bisa menyebabkan anak merasa tidak dihargai, terburu-buru memberikan jawaban juga rentan memicu salah paham jika kita salah mengartikan maksud anak.


3. Ringkas ucapannya


Setelah anak-anak selesai, maka coba ringkas kembali apa yang bisa anda simpulkan dari perkataan mereka.

“Jadi, yang dimaksud kakak itu seperti ini, ya...?”

Jika anak-anak menjawab “iya”, maka kita bisa mulai berbicara kepada mereka.

Sebaliknya, jika mereka menjawab “tidak”, maka mintalah kepada mereka untuk menjelaskan kembali.

Hal ini lebih baik daripada kita salah memahami maksud mereka.

Dengan cara seperti ini anak-anak akan belajar bagaimana cara meringkas dan menjelaskan perasaan mereka

atau ketelitian dalam mengungkapkan sesuatu.


4. Berpikir dari sudut pandang anak


Lihatlah dari sudut pandang mereka.

Kita bisa mencoba untuk menjadi diri mereka, yang dengan cara ini kita menjadi lebih mudah untuk memahami jalan pikirannya.

Jika mereka sedang dalam kondisi marah,

jangan menghardiknya untuk membuatnya berhenti.

Tapi kita harus berusaha untuk tetap tenang mendengarkan perkataannya.

Pada kondisi emosional (marah, sedih, dsb), anak-anak cenderung butuh tempat untuk mengungkapkan perasaannya.

Sehingga kita harus menempatkan diri berada di posisi mereka,

sehingga anak-anak tidak merasa sedang “dilawan” oleh orangtuanya.

Nah, inilah 4 langkah cara menjadi pendengar yang baik untuk anak-anak.

Jika anak-anak merasa mereka didengarkan, maka mereka akan mau mendengarkan perkataan kita.

Wednesday, August 17, 2016

Bahaya Internet untuk Anak dan 10 Langkah Praktis Memproteksi Mereka

Era digital sudah tak terelakkan.

Bahkan kehidupan manusia secara general sudah sangat bergantung kepada sebuah benda kecil yang kita sebut gadget.

parenting,pendidikan anak,pendidikan karakter

Hal-hal yang tadinya cukup lama jika dikerjakan secara manual, sekarang hanya dalam hitungan detik saja.

Pekerjaan yang dulunya harus dilakukan oleh beberapa orang, sekarang cukup satu orang untuk meng-handlenya.

Imbasnya, para orangtua dan guru pendidik pun mau tak mau harus mengikuti “revolusi” ini.

Hal ini terlihat dari beberapa program sekolah atau materi ajar yang menggunakan gadget sebagai alat utamanya.

Satu contoh kecil misalnya meminta anak-anak mengumpulkan gambar bunga-bunga yang ada di Indonesia.

Kalau dulu, anak-anak harus hunting surat kabar bekas dari agen atau distributor di pasar terlebih dahulu.

Setelah ketemu gambar yang dicari, lalu digunting dan ditempelkan pada lembaran kertas.

Bakal makan waktu seharian penuh.

Tapi sekarang, anak-anak bisa lari ke warnet, lalu mengetikkan satu kata kunci dan di-print.

Voilaa! Tugas pun selesai.


Internet: Dua Sisi Mata Uang


Seperti halnya yang kita ketahui, bahwa teknologi selalu membawa dua dampak: positif dan negatif.

“Teknologi” dalam pembahasan ini adalah kemudahan di dalam mengakses internet,

dalam konteks ini adalah bagi anak-anak.

Sebuah survei yang dilakukan oleh Yayasan Kita dan Buah Hati (Elly Risman) tahun 2005 melaporkan bahwa dari responden dengan rentang usia antara 9-12 tahun, 80% telah mengakses pornografi.

25 persen di antaranya mendapatkan akses itu dari ponsel,

20 persennya lagi dari situs-situs di internet,

sedang sisanya dari majalah, VCD, dan media lainnya.

Data dari dunia game online juga tak kalah mencengangkan.

Berdasarkan data di atas - kebebasan anak-anak untuk mengakses dunia maya - tentunya menjadi hal yang sangat mencemaskan.

Apalagi jika hal tersebut dilakukan di warnet, yang notabene terlepas dari pengawasan orangtua. (Meski sudah ada beberapa warnet yang menerapkan aturan ketat untuk hal ini).

Atas kekhawatiran itulah kemudian banyak dari para orangtua yang membekali anak-anak mereka dengan gadget pribadi,

dengan tujuan agar penggunaannya bisa mendapat pengawasan langsung oleh orangtua.

Tapi efektif-kah?

Sebuah pertanyaan menggelitik - yang saya yakini – kita semua bisa menjawabnya.


Bahaya Penggunaan Internet bagi Anak-anak


Kita memang tidak menutup mata akan hal-hal positif yang bisa didapatkan dari internet.

Namun, seperti yang sudah disinggung di atas tadi bahwa tanpa pengawasan yang ketat, penggunaan internet untuk anak-anak justru bisa menjadi bumerang.

Beberapa dampak buruk di bawah ini, seharusnya bisa menjadi pertimbangan bagi para orangtua sebelum mengijinkan anak-anak mereka mengakses internet.

[-]  Kecanduan pornografi dan game online

[-]  Dampak lanjutannya, anak-anak cenderung meniru perilaku buruk yang dilihatnya

[-]  Secara psikologis, anak akan menjadi gampang marah dan emosional

[-]  Dalam bidang pendidikan, hal ini bisa menjadikan anak malas, dan

[-]  Mengurangi kreatifitas mereka

[-]  Dari sisi keuangan keluarga, ini adalah pemborosan

[-]  Durasi yang lama di depan layar dapat mengganggu kesehatan mata anak-anak

[-]  Interaksi dengan dunia nyata akan berkurang

[-]  Kemungkinan terpapar oleh ide-ide yang menyesatkan


Proteksi Anak-anak dari Bahaya Internet


Bagaimanapun juga, sebagai bekal untuk menghadapi era yang “lebih digital” lagi,

setuju atau tidak, pengenalan terhadap dunia internet ini harus dilakukan pada anak-anak kita.

Mereka harus memiliki “senjata” untuk bisa survive di jamannya nanti.

Lalu langkah-alangkah apa yang tepat yang harus dilakukan oleh orangtua untuk mengatasi persoalan ini?

Berikut ini ada 10 langkah praktis yang bisa diterapkan untuk mengajarkan kepada anak-anak tentang dunia internet,

sekaligus melindungi mereka dari dampak buruknya.


1. Jelaskan hal-hal positif tentang gadget dan akses internet yang kita berikan

Ini adalah hal pertama yang harus kita lakukan.

Jelaskan manfaat yang bisa mereka dapatkan dari gadget dan internet,

lalu tekankan hal-hal buruk yang bisa diakibatkan olehnya.

Tentu saja hal ini baru bisa kita terapkan pada anak-anak yang sudah dapat membedakan mana hal-hal yang baik dan mana perilaku yang buruk.


2. Berikan gadget sesuai usia anak dan sesuai kebutuhan

Berkaitan dengan poin sebelumnya,

ketika anak masih belum bisa mempertanggung jawabkan perbuatannya, maka pemberian gadget dan akses internet justru hanya akan merusak mereka.

Dan sampai saat ini saya berpendapat bahwa untuk anak-anak usia SD,

pemberian akses internet masih belum diperlukan.

Kalaupun ada tugas sekolah yang mengharuskan mereka menggunakan internet,

maka kita bisa menemani mereka ke warnet atau meminjamkan laptop kita untuk sementara.


3. PC masih lebih relevan

Dibanding smartphone atau tablet, memberikan anak-anak sebuah komputer rumah masih lebih rasional.

Bentuknya yang tidak mobile akan memudahkan kita untuk mengawasi mereka.

Dengan meletakkan komputer di ruang tengah,

kita bisa langsung mengetahui apakah anak-anak sedang menggunakan fasilitas internet atau tidak.


4. Atur penggunaannya

Sebagai orangtua, kitalah yang mengatur anak. Bukan sebaliknya.

Kontrol untuk hal ini sepenuhnya ada di tangan orangtua.

Kapan anak-anak boleh menggunakan gadgetnya,

kapan mereka boleh mengakses internet,

berapa lama durasinya, dsb.

Dan seperti poin no. 3, jika anak-anak menggunakan laptop atau smartphone,

atur agar mereka tidak menggunakannya di kamar pribadi atau secara sembunyi-sembunyi.

Silahkan baca juga cara membuat kesepakatan dengan anak, di sini.


5. Sanksi yang tegas

Setiap peraturan harus memiliki sanksi yang tegas.

Segera terapkan ketika anak-anak melanggarnya.


6. Maksimalkan fasilitas parental control

Setting password wifi agar hanya kita saja yang tahu.

Kita juga bisa menginstal software proteksi,

serta melakukan pengaturan-pengaturan pada browser, ISP, dan menggunakan DNS Nawala untuk memblokir situs-situs terlarang.

Search Engine dan YouTube juga bisa diset untuk memblock konten-konten dewasa.

Selain itu kita juga bisa mengenalkan situs-situs yang bagus dan recommended untuk mereka.

Untuk langkah-langkahnya, kita bisa menggunakan mesin pencari untuk mencarinya.


7. Jadilah sahabat yang menjaga mereka

Sebagai “penjaga”, kita juga perlu melibatkan diri pada dunia mereka.

Kita bisa menjadi teman anak-anak di medsos, sehingga kita mengetahui ruang gerak mereka, siapa teman-temannya dan bagaimana anak-anak kita bersikap di dunia maya.

Kita harus bisa menjadi tempat bertanya dan curhat mereka.

Tekankan bahwa kita tidak melarang mereka ber-internet, tapi dengan batasan-batasan tertentu yang bisa mereka pahami.


8. Etika bergaul dan privasi

Yang juga penting untuk diajarkan kepada anak-anak adalah bagaimana melindungi privasi mereka di dunia online.

Tidak semua info pribadi boleh kita share di sana.

Nomor kontak, alamat rumah atau sekolah, foto-foto pribadi keluarga adalah data-data berharga yang hanya boleh diketahui oleh orang-orang tertentu saja.

Jelaskan juga bagaimana anak-anak harus bersikap pada teman-temannya,

juga pada orang-orang yang baru dikenalnya di media sosial.


9. Berikan teladan

Tentu saja, keteladanan adalah sebuah keharusan di dalam mendidik anak-anak.

Keteladanan juga berarti, kita ikut mematuhi peraturan yang kita terapkan pada anak-anak.


10. Jangan lupakan interaksi dunia nyata

Sebagai kesimpulan dan penutup artikel ini,

kita menyadari kebutuhan anak-anak terhadap gadget dan internet.

Namun bagaimanapun juga, hubungan sosial di kehidupan nyata juga tidak boleh ditinggalkan.

Jika perlu, mungkin ada hari-hari khusus dimana keluarga sama sekali tidak boleh menggunakan gadget dan internet.

Jika dirasa-rasa, poin terakhir ini kelihatannya seru juga ya?

Tuesday, August 16, 2016

Mendidik Anak itu Sulit, Awali dengan 3 Hal ini!

Pohon bambu adalah salah satu jenis pohon yang memiliki pertumbuhan paling cepat di dunia.

The Book of Bamboo, karangan David Farelly (1984) melaporkan bahwa sebuah pohon bambu bisa tumbuh setinggi 1 meter hanya dalam waktu 24 jam saja!

Dan pada beberapa jenis, bambu ini bisa tumbuh hingga mencapai ketinggian 30 meter!

parenting, pendidikan karakter, pendidikan anak

Namun tahukah anda bahwa untuk mencapai “kecepatan” tumbuh seperti itu, sebatang bambu membutuhkan waktu hingga 5 tahun...

Ketika pertama kali ditanam, bambu tidak akan menunjukkan perkembangan yang berarti, meski sudah dipupuk atau disiram setiap hari.

Hal ini terjadi hingga tahun keempatnya.

Namun saat menginjak umur 5 tahun, barulah bambu ini akan tumbuh melesat cepat dan menjulang dengan tingginya!

Alasan kenapa pada tahun-tahun pertamanya bambu tidak mengalami pertumbuhan pada batangnya,

karena ternyata, ia mengalami perkembangan pada akarnya.

Bambu sedang mempersiapkan akar yang kuat, yang akan ia gunakan untuk menopang dan menahan batangnya yang tinggi.

Dari filosofi bambu ini kita bisa ambil setidaknya 2 pesan moralnya.



Satu: Pendidikan anak-anak bukan sesuatu yang instan


Seperti bambu yang butuh waktu untuk persiapan tumbuh, begitu juga dengan anak-anak.

Kita tidak bisa mendidik mereka dengan hanya beberapa kalimat lalu berharap hasilnya bisa terlihat seketika itu juga.

Tentu butuh waktu yang panjang agar kalimat-kalimat itu bisa menancap kuat di dada mereka,

membentuk pola pikir mereka,

dan kemudian menentukan bagaimana mereka bertindak.

Saya sudah pernah menulis tentang tahapan mendidik anak di sini.

Karena itulah sebagai orangtua sekaligus pendidik mereka, kunci utamanya ada dua:

SABAR dan KONSISTEN.

Tanpa kedua hal ini, mustahil pendidikan bisa berhasil.



Dua: Pendidikan anak-anak harus dibangun sejak dini


Sebagaimana membangun sebatang bambu, maka seperti itulah gambaran kita membangun karakter anak-anak.

Mendidik mereka diibaratkan sama seperti mempersiapkan tunas-tunas bambu. (Mungkin karena inilah anak-anak itu disebut sebagai “tunas bangsa”).

Seorang ahli perkembangan dan perilaku anak, Brazelton, mengatakan bahwa tahun-tahun pertama yang dilalui oleh seorang anak akan menentukan pola pikirnya di dalam menghadapi permasalahan-permasalahan yang dihadapinya kelak.

Hal ini menunjukkan betapa pentingnya “pembentukan akar” untuk menghasilkan mental yang kuat pada diri anak-anak.

Lalu pertanyaannya,

jika proses pembentukan ini harus dimulai sedini mungkin, apa yang harus dilakukan oleh orangtua untuk mengawali langkah ini?

Studi dari beberapa psikolog anak menyebutkan bahwa untuk membentuk karakter yang kuat pada diri anak, maka ada 3 hal yang harus dimantapkan terlebih dahulu.

Ada yang menyebut ketiga hal ini dengan istilah “Triangle of Reflections”,

yaitu pemahaman tentang diri sendiri, pemahaman tentang lingkungannya dan pemahaman tentang Tuhan.


MEMAHAMI DIRI SENDIRI

Seperti yang pernah disampaikan pada 9 Tipe Kecerdasan Manusia, bahwa pada beberapa anak memang telah dianugerahi kecerdasan intrapersonal,

yaitu kemampuan untuk menganalisis kelebihan dan kekurangan diri sendiri.

Namun bukan berarti pada anak-anak yang lain kecerdasan ini tidak bisa dirangsang.

Justru jika anak-anak kita bukan termasuk yang memiliki kecerdasan tipe ini, maka kita harus berupaya membantu mereka untuk mengenali dan memahami diri mereka sendiri.

Beberapa langkah yang bisa kita lakukan antara lain:

1. Komunikasi dua arah


Biasanya, orangtua adalah pihak yang paling tahu tentang karakter buah hati mereka.

Maka bantulah mereka dengan sesering mungkin berkomunikasi secara pribadi.

Dorong mereka untuk mengutarakan perasaannya, lalu berikan saran atau motivasi untuk itu.

Hal ini dapat memicu kepercayaan diri mereka, yang dalam konteks ini, menjadikan mereka untuk berpikir secara lebih obyektif tentang kelemahan diri mereka.

2. Tidak terlalu mudah membantu mereka


Salah satu dari salah dua poin agar anak memahami dirinya sendiri adalah dengan mengerti tentang kelemahannya.

Dengan terlalu mudah menjadi dewa penolong di saat mereka kesulitan justru akan menutup pintu bagi mereka untuk memahami diri sendiri. (Silahkan baca 10 kalimat yang menghancurkan harga diri anak)


MEMAHAMI LINGKUNGANNYA

Satu-satunya cara untuk memahami lingkungan adalah dengan terjun langsung untuk bersosialisasi dengan mereka.

Dengan mengajari anak-anak bersosialisasi, berarti kita memberikan kesempatan kepada mereka untuk mengenali karakter-karakter di luar diri mereka,

yang hal ini tentu saja dibutuhkan untuk penguatan mental mereka.

Ada banyak cara yang bisa dilakukan untuk mengajari anak-anak mengenali lingkungannya.

1. Beri contoh langsung


Cara paling efektif untuk mengajari anak-anak adalah dengan memberi mereka contoh yang praktis.

Tunjukkan bagaimana kita menyapa tetangga, berbicara dengan teman atau berinteraksi dengan orang lain.

Hal ini dipercaya bisa mendorong mereka untuk bersikap terbuka terhadap lingkungannya.

2. Memiliki komunitas


Bagi siapapun, komunitas adalah sebuah tempat dimana setiap anggotanya lebih mudah untuk saling berinteraksi dan berbagi.

Hal ini karena pada komunitas terdapat kesamaan visi, misi ataupun hobi.

Jadi, tidak ada salahnya membiarkan anak-anak punya kelompoknya sendiri.

Atau kita bisa mengarahkan mereka untuk bergabung dengan tim- tim olahraga, atau sekedar bermain bersama dengan teman-teman di sekitar rumah.

3. Jangan terlalu over


Maksudnya adalah jangan terlalu memaksanya untuk keluar ataupun terlalu menahannya di dalam rumah.

Keduanya tidak baik untuk perkembangan anak-anak.

Persilahkan mereka untuk berekspresi, namun jangan sampai lalai mengawasi.


MEMAHAMI KONSEP KETUHANAN

Saat terbaik untuk mengajarkan sesuatu kepada anak-anak adalah ketika mereka sudah bertanya tentang hal itu.

Sebuah ungkapan mengatakan,

“When the student ask WHY or HOW, that is when they are really ready to learn something.”

Mungkin pernah terucap dari anak-anak kita pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan konsep ketuhanan ini. Misalnya,

“Kok dia bisa mati?”

“Tuhan itu di langit ya?”

“Uang ini dari Tuhan?”

Dan dengan berbagai variasinya.

Maka ketika kita berbicara tentang Tuhan kepada anak-anak, kita harus menggunakan bahasa mereka untuk menjelaskan hal ini.

Penjelasan sederhana seperti misalnya bahwa Tuhan itu tidak bisa dilihat namun bisa dirasakan, atau bahwa Tuhan akan selalu menjaga anak-anak yang baik,

bisa diberikan untuk mengawali penjelasan kita,

lalu secara bertahap sesuai dengan kapasitas usia mereka.

Selain dengan penjelasan-penjelasan sederhana, kita juga bisa mengajarkan kepada anak-anak untuk mengenal Tuhan mereka dengan misalnya,

mengajarkan doa-doa pendek yang dibaca setiap hari,

atau mengenalkan tentang ritual-ritual keagamaan yang memancing rasa ingin tahu mereka,

atau bisa juga dengan mengajak mereka bersedekah atau berbagi dengan anak-anak jalanan dan orang-orang yang kurang mampu.



Wednesday, August 10, 2016

3 Dampak Buruk Membanggakan Anak yang Tidak Disadari Orangtua

Mohon maaf jika beberapa hari ini ayahnulis.blogspot.co.id tidak mengupdate artikel-artikel terbaru,

karena ada beberapa hal yang harus diselesaikan di dunia nyata. H-hee...


Sebelumnya, ada 2 hal yang ingin saya sampaikan tentang anak atau lebih spesifik lagi adalah buah hati kita.


Pertama: Kehadirannya membahagiakan

Tidak bisa dipungkiri bahwa bagi sepasang suami-istri, kehadiran seorang anak adalah hal yang sangat dinantikan di dalam kehidupan mereka.

Berapa banyak pasangan yang sudah bertahun-tahun menikah namun masih belum juga dikaruniai momongan.

Bagi pasangan yang bersangkutan, hal ini bisa memicu efek psikologis, entah diakui atau tidak.

Belum lagi pertanyaan-pertanyaan “tajam” yang dilontarkan oleh orang-orang di lingkarannya.

“Kapan punya anak?”, atau “Sudah berapa anaknya sekarang?”

yang tentu saja semakin menambah beban bagi pasangan tersebut.

Nah, ketika kemudian kita dikaruniai oleh Tuhan seorang anak,

maka inilah suatu hal yang paling membahagiakan, yang mungkin sulit diungkapkan oleh deretan kata-kata.


Kedua: Prestasinya membanggakan

Kalau kehadirannya saja sudah membahagiakan, bagaimana jika seandainya di dalam perkembangannya ia memiliki “nilai lebih” dibandingkan dengan teman-teman sebayanya?

Tentu, sebagai orangtua kita memang pantas bersyukur.

Sebenarnya tidak ada larangan untuk mensyukuri rezeki yang dikaruniakan Tuhan kepada kita.

Malah hal ini sangatlah dianjurkan oleh agama.

Namun yang perlu digarisbawahi di sini adalah bahwa “mensyukuri” dan “membanggakan” memiliki definisi arti yang jauh berbeda,

meski di dalam praktek nyatanya justru batasan yang ada amatlah tipis.

Jika mau disandingkan,

biasanya SYUKUR itu bersifat “ke dalam”, sedang BANGGA lebih cenderung “keluar”.

Syukur itu dinikmati di dalam hati, sedang kebanggaan itu diberitakan ke tetangga-tetangga.

Maka ketika kita mencoba bersyukur dengan cara “keluar”, bisa jadi saat itulah kita terjebak ke dalam definisi membanggakan.

Kalau sudah membanggakan, maka tinggal satu klik saja kita sudah masuk ke dalam ketegori MENYOMBONGKAN.

Pernah dengan ibu-ibu yang berkumpul lalu masing-masing menceritakan keunggulan putra-putri mereka?

“Alhamdulillah, bu. Anak saya sudah bisa membaca meski umurnya baru 2 tahunan.”

“Anak saya itu aktif sekali lho, Jeng. Masa’ belum 1 tahun sudah jalan...”

Ini adalah sedikit contoh bagaimana orangtua membanggakan kelebihan anak-anak mereka.

Alih-alih menuai hasil yang positif, sikap bangga atas prestasi anak ini justru akan menimbulkan dampak yang tidak baik.

Berikut ini adalah akibat buruk yang tidak disadari orangtua karena membanggakan anak-anak.


1. Kebiasaan Membandingkan


Saat kita membanggakan kelebihan anak kita, maka yang terjadi sebenarnya adalah kita membandingkannya dengan anak lain (atau anak lawan bicara kita).

Kenapa membandingkan ini menjadi dampak yang buruk?

Ketika kita sudah terbiasa membandingkan anak kita dengan anak orang lain,

maka perhatian kita akan teralihkan.

Kita tidak lagi fokus memperhatikan anak sendiri, melainkan lebih konsentrasi pada anak orang lain.

Inilah yang menyebabkan perhatian kita terhadap anak sendiri menjadi berkurang.

Selain itu, dampak buruk dari kebiasaan membandingkan ini adalah perasaan tidak nyaman dari lawan bicara kita.

Jika kebetulan anak lawan bicara kita “lebih unggul” daripada anak kita, maka bisa jadi ia akan membantah atau mengkritisi pernyataan kita,

yang hal ini sangat mungkin memicu perdebatan dan pertengkaran.

Namun jika anak dari lawan bicara kita ternyata jauh di bawah prestasi anak kita,

maka yang terjadi biasanya adalah mereka akan memaksa atau menuntut agar anak mereka bisa sama seperti anak kita, atau bahkan lebih unggul.

Hal inilah yang menjadi penyebab anak tertekan dan terbebani.


2. Kebiasaan Menggunakan Tolok Ukur Anak Lain


Setiap anak itu memiliki kecerdasannya masing-masing.

Anda bisa baca tentang 9 macam tipe kecerdasan anak di sini.

Karena itu kita tidak bisa menilai kelebihan seorang anak diukur berdasarkan prestasi anak lain.

Jika hal ini yang terjadi maka kita sudah terjebak pada cara pandang bertingkat,

dimana si A dinilai lebih baik daripada si B, hanya karena si B tidak memiliki prestasi seperti si A.


3. Kebiasaan untuk Bersaing


Setelah membandingkan anak yang satu dengan anak yang lain,

lalu menilai mereka dengan tolok ukur yang salah,

maka dampak selanjutnya yang akan muncul dari sikap membanggakan ini adalah kebiasaan untuk bersaing.

Berkompetisi dengan cara yang sehat tentu saja baik untuk perkembangan mental mereka.

Namun jika kebiasaan ini adalah karena “merasa kalah” dan ingin selalu lebih unggul daripada anak lain,

maka ini yang tidak sehat.

Persaingan semacam ini akan membawa “penyakit” baru di dalam dunia mereka, yaitu dendam.

Sehingga kemudian mereka lebih suka bertarung daripada berteman.


Tahan diri dari sikap membanggakan


Sebenarnya, ada satu hal yang bisa kita tanamkan ke dalam diri kita untuk menjaga kita dari sikap membangga-banggakan anak,

yaitu pemahaman bahwa mereka itu masih anak-anak.

Mereka masih dalam proses berkembang dan membentuk.

Karena itulah, masih terlalu dini bagi kita untuk membangga-banggakan mereka sekarang.

Kalau nanti mereka menjadi seperti apa yang kita banggakan, tidak jadi masalah.

Jika tidak? Kita dan mungkin juga mereka akan menjadi bahan ejekan orang lain.

Praise them it’s ok.

Tapi memuji pun jangan sampai merusak harga diri mereka,

dan jangan berlebihan yang membuat mereka menjadi sombong.

Ingatlah bahwa perjalanan mereka masih sangat panjang.

Mereka masih harus melewati banyak rintangan dan permasalahan.

Jadi daripada membangga-banggakan mereka, bukankah lebih baik kita fokus pada setiap tahap perkembangan mental mereka?


Cerita 1

Ada seorang ibu-ibu yang senang sekali menceritakan prestasi anaknya.

Bagaimana tidak, anaknya ini sudah hafal 3 juz Al-Qur’an meski usianya belum sampai 5 tahun.

Awalnya dia berpendapat prestasi itu perlu diceritakan agar menjadi motivasi bagi orangtua yang lain.

Namun beberapa waktu kemudian, anaknya ini tiba-tiba tidak mau lagi melanjutkan hafalannya. Meski si ibu sudah membujuknya dengan berbagai cara.

Ada semacam tekanan orangtua yang tidak bisa dihadapi oleh si anak.


Cerita 2

Ada seorang bapak yang seringkali membangga-banggakan anaknya di depan teman si bapak tersebut.

Tentang anaknya yang langganan juara, lalu mendapat bea siswa untuk masuk di universitas terkemuka, dan bla bla bla...

Namun bertahun kemudian, nasib bergeser.

Anak si bapak tadi sekarang hanya punya usaha kecil-kecilan di rumah, sedangkan anak temannya sering mendapat undangan ke berbagai negara untuk seminar atau mengajarkan ilmunya.

***

Sebenarnya jika kita mau membuka mata dan telinga, ada banyak cerita di sekitar kita yang bisa dijadikan contoh.

Tahanlah diri dari berbangga, karena sombong adalah teman dekatnya.

Syukuri dalam hati, nikmati di dalam sunyi.

Doakan mereka agar menjadi lebih baik,

dengan mengajarkan dan mencontohkan hal-hal yang baik.



Sunday, August 7, 2016

Anak Juga Punya Harga Diri, 10 Kalimat Ini Akan Menghancurkannya!

Harga diri - atau yang biasa diterjemahkan sebagai penilaian terhadap diri sendiri – adalah suatu komponen yang harus ada pada diri setiap anak.

Harga diri biasanya tumbuh seiring dengan kepercayaan diri.


Pada beberapa kondisi,

mereka merasa diri mereka tidak berharga sehingga membutuhkan penghargaan dari lingkungan sekitarnya.

Hal inilah yang kemudian melahirkan permasalahan lanjutan, yaitu menurunnya rasa percaya diri.

Ternyata Disiplin Juga Bisa Merusak Anak! yang sempat saya share beberapa minggu yang lalu menjelaskan dampak-dampak yang timbul

apabila perasaan tidak dihargai ini terlanjur melekat pada diri mereka.

Kita – para orangtua – tentu berharap agar anak-anak kita memiliki rasa percaya diri yang bagus dan kemampuan untuk menghargai diri mereka sendiri.

Namun sayangnya, tidak semua respon kita berkontribusi ke arah sana.

Yang seringkali terjadi malah sebaliknya,

respon kita terhadap apa yang mereka lakukan – tanpa kita sadari - justru dapat mengikis harga diri mereka.

Riset dari beberapa orang yang concern terhadap dunia parenting, merumuskan ada 10 kalimat yang bisa menghancurkan harga diri anak-anak.


1. Kalimat “Kamu memang hebat...”


Banyak dari kita yang beranggapan bahwa pujian terhadap anak bisa menumbuhkan rasa percaya diri mereka.

Hal ini bisa jadi benar, bisa jadi tidak.

Untuk lebih jelasnya, anda bisa membaca kembali 7 aturan tentang memuji anak di sini.

Salah satu poinnya adalah memuji apa yang dilakukan, bukan memuji siapa yang melakukan.

“Kamu penari yang hebat...”

“Kakak pandai ya... bisa ranking 1 lagi!”

Adalah contoh-contoh pujian yang ditujukan untuk pelakunya.

Hal ini tidak akan menambah rasa percaya diri atau membentuk harga dirinya.

Bagaimanapun kita perlu menekankan pentingnya sebuah proses bagi mereka.

Karena jika mereka tidak tahu pentingnya sebuah proses (artinya mereka hanya terpacu kepada hasil),

maka anak-anak itu akan berpikir bahwa pujian itu hanyalah karena hasil yang telah mereka capai dan mereka tidak pernah merasa ada apresiasi untuk kerja keras yang telah dilakukan.

Maka yang jauh lebih membangun adalah pujian atas usaha mereka, misalnya,

“Tarian yang tadi sangat indah sekali, Sayang. Kamu pasti berlatih keras untuk itu. Ibu suka.”

“Itulah kalau kakak rajin belajar, hasilnya... kakak bisa menjawab semua soalnya dengan mudah!”

Dengan gaya memuji yang seperti ini, maka di dalam hati anak-anak itu akan ada respon seperti ini,

“Aku telah berlatih dan berusaha keras. Dan orangtuaku ternyata menghargaiku usahaku itu.”

Lihat,

dari sinilah harga diri itu tumbuh.


2. Kalimat “Kamu membuat ibu marah!”


Biasanya orangtua mengucapkan kalimat ini dengan tujuan untuk membuat anak menyadari dan mengubah perilaku buruknya.

Namun, kalimat-kalimat yang senada dengan ini justru akan membuat anak merasa bersalah, takut dan rendah diri.

Ketika sedang marah, hindarilah mengucapkan kalimat-kalimat seperti ini.

Lebih baik ajaklah anak berdiskusi tentang apa yang dilakukannya. Bantu anak memahami apa yang sedang terjadi.


3. Kalimat “Gitu aja gak bisa...”


Masing-masing anak terlahir dengan kemampuan yang berbeda-beda.

Bisa jadi sebuah tugas yang sama menjadi mudah dilakukan oleh anak yang satu, namun sangat sulit dikerjakan oleh anak-anak yang lainnya.

Orangtua harus bisa memahami hal ini.

Mengatakan “Begitu saja tidak bisa...” atau “Ini lho gampang. Seharusnya kamu mampu...”

sebenarnya justru akan mengecilkan kepercayaan diri anak-anak dan membuat mereka mudah putus asa.

Tanpa disadari pemikiran yang akan muncul pada pada diri anak adalah,

“Berarti ada yang salah dengan diriku. Mungkin aku memang anak yang bodoh...”

Sebaliknya, jika kita katakan bahwa hal tersebut mungkin adalah hal yang sulit,

dan terus mendorong mereka untuk berusaha dan tetap berpikir positif,

maka jika ternyata mereka bisa melakukannya, kepercayaan diri mereka akan langsung meningkat.

Akan tetapi jika mereka gagal, paling tidak mereka tahu bahwa hal tersebut memang sulit sehingga anak-anak tidak merasa minder.


4. Kalimat “Kamu tidak akan mampu melakukannya”


Mungkin anda akan bertanya, apakah ada orangtua yang mengatakan hal seperti itu kepada anak mereka?

Jika yang dimaksud adalah perkataan secara verbal, mungkin tidak ada.

Namun yang menjadi poin di sini adalah bahasa tubuh orangtua yang menunjukkan hal itu.

Kapan bahasa tubuh kita mengatakan hal itu?

Saat anak kesulitan mengikat tali sepatunya, lalu kita membantu mengikatkannya.

Saat anak kerepotan memakai baju seragamnya, lalu kita memakaikannya.

Intinya adalah membuat segalanya terlalu mudah bagi anak.

Hal ini akan menghilangkan kesempatan mereka untuk belajar mandiri.

Tidak terlalu mudah memberikan bantuan kepada anak juga melatih mereka untuk bertanggung jawab terhadap diri mereka sendiri.


5. Kalimat “Jangan lakukan itu, nanti kamu...”


Atau kalimat lainnya yang menyiratkan ketakutan kalau anak-anak kita akan melakukan kegagalan.

Kegagalan,

bagaimanapun juga - jika disikapi dengan pikiran positif – bisa memiliki dampak yang baik.

Kegagalan anak-anak sebenarnya adalah kesempatan mereka untuk bersikap kesatria dengan mengakuinya, lalu bangkit kembali untuk memperbaikinya.

Setiap kita juga pernah gagal. Hal itu jugalah yang membentuk diri kita yang sekarang, bukan?

Kita, pada akhirnya belajar dari kegagalan tersebut.

Sebagai orangtua, kita mungkin merasa harus mencegah mereka dari kegagalan. Namun, sikap ini tidak membantu untuk membentuk kepercayaan diri mereka.

Karena jika dicermati,

yang membuat kita merasa memiliki harga diri bukan karena kita tidak pernah gagal,

namun bagaimana cara kita menanggapi serta mengatasi kegagalan tersebut.

Maka cara bertindak terhadap sebuah kegagalan inilah yang seharusnya kita ajarkan kepada mereka.


6. Kalimat “Nanti saja, ya...”


Anak-anak kita adalah bagian dari hidup kita. Maka semestinya mereka juga punya hak atas waktu kita.

Sebagai bagian dari tugas orangtua untuk membiayai kehidupan dan pendidikan mereka, kita mungkin harus bekerja keras untuk memenuhinya.

Namun menyediakan waktu kita untuk mereka telah menjadi bagian dari tugas kita juga.

Artikel yang berjudul Punya Perasaan Bersalah Terhadap Anak-anak? Hati-hati! bisa memperjelas bagian ini.

Ketika anak-anak kita mengajak bermain di saat kita sedang sibuk, lalu kita menunda-nunda waktunya atau mengalihkannya untuk bermain dengan orang lain,

sebenarnya kita telah mengikis harga diri mereka,

karena anak akan mulai merasa bahwa kita “menghindari” mereka, sehingga muncul perasaan bahwa diri mereka tidak diinginkan di dalam keluarga.

Duduk bersama dan mengobrol ringan tentang kegiatan mereka di rumah,

pergi ke masjid atau ke pasar dengan berjalan kaki,

atau meminta mereka membantu pekerjaan kita di rumah,

adalah cara-cara sederhana dan tidak meminta waktu banyak untuk membuat anak merasa dihargai.


7. Kalimat “Kamu ini memang nakal...”


Ucapan kepada anak “Kamu kok nakal sih?”, “Kamu ini bodoh sekali...”, “Dasar tidak tahu diri!”, dan ucapan sejenis yang mengisyaratkan pelabelan pada anak menjadikan mereka cenderung meng-iyakan sebutan itu.

Dengan melabeli anak-anak dengan label yang buruk sebenarnya orangtua telah mendoakan mereka untuk menjadi seperti label tersebut.

3 Macam Cara Orangtua Mendoakan Keburukan untuk Anaknya boleh anda baca terlebih dahulu.

Saat anak-anak dipanggil dengan sebutan yang buruk, maka yang akan subur adalah perasaan rendah dan minder pada diri mereka.

Karena itu ketika kita sedang marah, tahanlah diri untuk tidak menyebut mereka dengan sebutan yang buruk.


8. Kalimat “Kalau kamu tidak mau menuruti ibu, ibu akan...”


Sebut saja kalimat mengancam.

Contoh yang senada sudah pernah saya pakai pada artikel yang berjudul Anak Tidak Menurut, Mungkin Kita Melakukan Kebiasaan “Kecil” Ini, namun dengan maksud yang berbeda.

Para orangtua biasanya menggunakan cara yang dianggap ampuh untuk membuat anak menuruti kemauan mereka.

Yaitu dengan metode ancaman.

Dengan cara ini kita berharap agar anak-anak mau melakukan sesuatu yang sebelumnya tidak ingin mereka lakukan.

Pada akhirnya, mungkin mereka akan melakukannya.

Namun tanpa kita sadari metode seperti ini justru akan menanamkan pada diri anak-anak bahwa untuk mendapatkan penghargaan orang lain,

mereka harus melakukan sesuatu yang diminta oleh orang tersebut.

Pakar parenting anak menyebut bahwa anak-anak yang tumbuh dewasa dengan cara ini cenderung menjadi korban kekerasan seksual ataupun KDRT.


9. Kalimat “Sudah, tidak apa-apa...” atau “Sudah, lupakan saja...”


Ucapan-ucapan semisal ini sepintas terlihat baik untuk mereda kekecewaan atau kemarahan anak,

namun dengan kalimat seperti itu anak akan merasa bahwa orangtua mereka tidak menghargai apa yang sedang mereka rasakan.

Seolah-olah mereka berkata, “Aku ini kecewa, aku ini sakit hati. Kenapa ayah bilang tidak apa-apa?”

Ketika setiap mereka mendapat masalah kita selalu menekankan “Sudah, tidak apa-apa”,

maka mereka akan terdoktrin untuk mentoleransi semua keadaan.

Masalahnya adalah,

kita tidak pernah bisa menjamin bahwa apa yang akan dialami anak-anak kita adalah sesuatu yang baik untuk tumbuh-kembang mereka.

Pada perjalanan mereka nanti, pasti akan ada keadaan dimana mereka tidak boleh membiarkannya.

Maka yang perlu kita ajarkan kepada mereka bukan sikap mentoleransi semua keadaan,

namun bagaimana mereka bersikap atas keadaan tersebut.

Saat mereka terjatuh, jangan katakan “tidak apa-apa”.

Namun ajari mereka untuk berhati-hati memilih jalan yang tidak licin.

Saat mereka diganggu teman-teman sekelasnya, jangan katakan “lupakan saja”.

Namun ajari mereka bagaimana merespon kondisi tersebut.

Cara-cara inilah yang lebih menumbuhkan harga diri mereka.


10. Kalimat “Terserah!!!”


Sebenarnya saya cukup kesulitan mencari judul yang tepat untuk poin terakhir ini, karena kalimat yang akan saya contohkan menggunakan bahasa Jawa.

Namun saat ditranslate ke dalam bahasa Indonesia hasilnya kurang bisa menunjukkan maksud yang sebenarnya.

Karena alasan itulah saya harus menggunakan 3 buah tanda seru agar maksudnya bisa ditangkap.

Contoh-contoh kalimat lainnya misalnya, “Semaumu!!!”, “Kalau tidak bisa, ya sudah!!!”,

atau kalimat-kalimat lain yang mengindikasikan sikap pesimis dan menyerah ketika merasa gagal saat melakukan sesuatu.

Bagaimana kalimat-kalimat semacam ini bisa menurunkan harga diri anak?

Jawabannya sederhana. Like father like son atau Buah apel jatuh tidak jauh dari pohonnya.

Anak-anak kita selalu melihat dan mendengar kita. dari situlah mereka belajar.

Ketika yang sering mereka dengar adalah ungkapan-ungkapan pesimistis, maka seperti itulah mereka merespon masalah yang mereka hadapi.

Jadi ketika kita berharap anak-anak kita menjadi pribadi yang percaya diri,

maka bentuklah diri kita menjadi sosok orangtua yang optimis.