Ketika kita berbicara tentang cara mendisiplinkan buah hati kita, sudah tentu yang kita maksud di sini adalah disiplin positif. Bukan disiplin negatif yang sudah kita ulas pada postingan sebelumnya.
Jika disiplin negatif berpusat pada hukuman dan ancaman, maka disiplin positif bersumbu pada komunikasi.
Inilah bedanya.
Seorang dramawan asal Irlandia, Oscar Wilde, pernah mengatakan,
Ini berarti, komunikasi adalah hal yang maha penting untuk membangun sebuah hubungan. Semakin kuat sebuah komunikasi, akan semakin intens hubungan tersebut.
Dua hal yang dapat merusak persahabatan: Harapan yang berlebihan dan kurangnya komunikasi.
Jadi jika komunikasi adalah cara untuk meningkatkan kedisiplinan pada diri anak, lalu bagaimana cara berkomunikasi yang benar?
Inti dari sebuah komunikasi itu sebenarnya cukup sederhana,
yaitu mengatakan apa yang kita inginkan untuk terjadi.
Nah, berikut ini ada 7 cara untuk berkomunikasi dengan buah hati kita dalam rangka meningkatkan kedisiplinan mereka..
Ketika kita misalnya menginginkan mereka agar menggosok gigi mereka sebelum tidur, kita cukup mengatakan,
“Ayah mau minta sesuatu ya? Ayah minta setiap malam adik menggosok gigi. Nanti ditemani ayah. Bisa ya?”
Se-sederhana itu.
Jika ini dilakukan ketika mood anak sedang baik, mereka pasti akan mengiyakan.
Setelah hari itu, permintaan ini harus terus dilakukan. Dengan cara yang santun, tentunya.
Kita terus meminta kepadanya sampai hal yang dilakukan anak karena permintaan kita tersebut menjadi sebuah kebiasaan baginya.
Memberikan penjelasan adalah suatu cara untuk menyampaikan keinginan kita kepada anak.
Penjelasan yang tepat akan membuat anak mengerti dengan jelas apa yang harus dilakukan dan mana yang tidak.
Satu contoh ketika anak menggelar mainannya di ruang tengah, daripada kita mengatakan,
“Kalau tidak segera dibereskan, nanti akan ibu sapu...”
Jauh lebih baik jika kita menjelaskan bahwa mainan mereka bisa menghalangi lalu lintas di dalam rumah.
Kemudian beri mereka alternatif untuk menggeser mainannya ke tempat lain yang lebih menyenangkan. Di depan rumah, misalnya.
Untuk hal-hal yang bersifat membahayakan mereka, kita sebaiknya memberikan perintah secara langsung.
Saat anak kita berjalan terlalu ke tengah, sehingga kita khawatir jika ada kendaraan yang lewat, maka jangan memberikan perintah yang membuat anak masih harus mencerna lagi apa yang mesti dilakukannya.
Ketika kita mengatakan, “Awas, nanti ada sepeda motor...”
Anak masih akan berpikir, “Memangnya kenapa kalau ada sepeda motor?”
Karena itu lebih baik jika kita menginstruksikan secera langsung, “Adek, ayo jalannya agak ke pinggir...”.
Pada beberapa anak mungkin cukup susah untuk diberi pengertian secara lisan. Maka kalau harus terjadi sesuatu yang tidak diinginkan, biarkan terjadi. Tetap maknai itu sebagai sesuatu yang bisa memberi pelajaran bagi anak.
Ada anak yang harus jatuh dulu, baru ia berhati-hati ketika berjalan.
Ada yang harus tidak naik kelas dulu, baru ia terpacu untuk belajar.
Ada yang memang harus seperti itu.
Mendapat “pengalaman” dulu, baru mendapat pelajaran dari situ.
Tetapi harus dipastikan bahwa orangtua sudah melakukan langkah 1-3 dengan baik.
Kritik yang Membangun itu Tidak Ada! sepertinya juga harus anda baca...
Barangkali yang sering kita lakukan adalah memberikan hadiah ketika mereka berprestasi.
Padahal sebenarnya bukan prestasinya yang harus kita apresiasi, akan tetapi usaha mereka untuk mendapatkan prestasi tersebut.
Bukan ranking 1 di kelas yang membuat kita memberikan hadiah untuk mereka,
akan tetapi kemauan mereka untuk serius belajar dan meninggalkan keinginan mereka untuk menonton televisi.
Terkadang karena terlalu asik menonton tv atau bermain game, anak tidak mau kalau harus berhenti seketika.
Jika kita langsung memaksa - misalnya dengan cara mematikan tv seketika - bisa jadi hal itu akan merusak mood mereka. Akibatnya ketika kita meminta mereka untuk melakukan sesuatu yang lain, mereka menolak.
Ketika orangtua berada pada situasi seperti ini, hal yang bisa kita lakukan adalah melakukan negoisasi dengan mereka. Kita bisa mengatakan, misalnya,
Pastikan agar mereka menjawab “iya,”.
Lalu konsekuenlah.
Setelah 10 menit dekati anak, atau beri kode agar ia tahu bahwa waktu bermain gamenya sudah habis. Jika anak masih menolak berhenti, laksanakan hukuman.
Penjelasan yang lebih khusus bisa anda baca di sini.
Seperti yang sudah saya singgung pada artikel sebelumnya, hukuman ini adalah salah satu cara di dalam proses menumbuhkan disiplin pada anak.
Hukuman adalah langkah terakhir yang “terpaksa” kita terapkan.
Namun dengan catatan, hukuman tersebut haruslah yang bersifat mendidik dan positif, bukan melecehkan.
Misalnya seorang guru yang memberi hukuman menulis kepada muridnya agar tidak malas mengerjakan PR,
Menulis kalimat, “Aku akan lebih rajin lagi”, jauh lebih baik daripada menulis “Aku tidak akan malas lagi”.
Contoh lain dari hukuman yang positif adalah mengurangi jam menonton televisi atau melarang mereka bermain game selama beberapa hari, dsb.
Prinsipnya adalah berikan hukuman yang membangun harga dirinya, bukan yang menjatuhkannya.
Jika disiplin negatif berpusat pada hukuman dan ancaman, maka disiplin positif bersumbu pada komunikasi.
Inilah bedanya.
Seorang dramawan asal Irlandia, Oscar Wilde, pernah mengatakan,
“Pada akhirnya, ikatan dari semua bentuk kebersamaan adalah PERCAKAPAN.”
Ini berarti, komunikasi adalah hal yang maha penting untuk membangun sebuah hubungan. Semakin kuat sebuah komunikasi, akan semakin intens hubungan tersebut.
“Two things can destroy any relationship: Unrealistic expectations and poor communications”
(Anonymous)
Dua hal yang dapat merusak persahabatan: Harapan yang berlebihan dan kurangnya komunikasi.
Jadi jika komunikasi adalah cara untuk meningkatkan kedisiplinan pada diri anak, lalu bagaimana cara berkomunikasi yang benar?
Inti dari sebuah komunikasi itu sebenarnya cukup sederhana,
yaitu mengatakan apa yang kita inginkan untuk terjadi.
Nah, berikut ini ada 7 cara untuk berkomunikasi dengan buah hati kita dalam rangka meningkatkan kedisiplinan mereka..
1. Meminta langsung kepada anak
Ketika kita misalnya menginginkan mereka agar menggosok gigi mereka sebelum tidur, kita cukup mengatakan,
“Ayah mau minta sesuatu ya? Ayah minta setiap malam adik menggosok gigi. Nanti ditemani ayah. Bisa ya?”
Se-sederhana itu.
Jika ini dilakukan ketika mood anak sedang baik, mereka pasti akan mengiyakan.
Setelah hari itu, permintaan ini harus terus dilakukan. Dengan cara yang santun, tentunya.
Kita terus meminta kepadanya sampai hal yang dilakukan anak karena permintaan kita tersebut menjadi sebuah kebiasaan baginya.
2. Berikan penjelasan yang tepat
Memberikan penjelasan adalah suatu cara untuk menyampaikan keinginan kita kepada anak.
Penjelasan yang tepat akan membuat anak mengerti dengan jelas apa yang harus dilakukan dan mana yang tidak.
Satu contoh ketika anak menggelar mainannya di ruang tengah, daripada kita mengatakan,
“Kalau tidak segera dibereskan, nanti akan ibu sapu...”
Jauh lebih baik jika kita menjelaskan bahwa mainan mereka bisa menghalangi lalu lintas di dalam rumah.
Kemudian beri mereka alternatif untuk menggeser mainannya ke tempat lain yang lebih menyenangkan. Di depan rumah, misalnya.
3. Memberikan instruksi langsung
Untuk hal-hal yang bersifat membahayakan mereka, kita sebaiknya memberikan perintah secara langsung.
Saat anak kita berjalan terlalu ke tengah, sehingga kita khawatir jika ada kendaraan yang lewat, maka jangan memberikan perintah yang membuat anak masih harus mencerna lagi apa yang mesti dilakukannya.
Ketika kita mengatakan, “Awas, nanti ada sepeda motor...”
Anak masih akan berpikir, “Memangnya kenapa kalau ada sepeda motor?”
Karena itu lebih baik jika kita menginstruksikan secera langsung, “Adek, ayo jalannya agak ke pinggir...”.
4. Memberikan mereka sebuah “pengalaman”
Pada beberapa anak mungkin cukup susah untuk diberi pengertian secara lisan. Maka kalau harus terjadi sesuatu yang tidak diinginkan, biarkan terjadi. Tetap maknai itu sebagai sesuatu yang bisa memberi pelajaran bagi anak.
Ada anak yang harus jatuh dulu, baru ia berhati-hati ketika berjalan.
Ada yang harus tidak naik kelas dulu, baru ia terpacu untuk belajar.
Ada yang memang harus seperti itu.
Mendapat “pengalaman” dulu, baru mendapat pelajaran dari situ.
Tetapi harus dipastikan bahwa orangtua sudah melakukan langkah 1-3 dengan baik.
Kritik yang Membangun itu Tidak Ada! sepertinya juga harus anda baca...
5. Memberikan hadiah atas usaha
Barangkali yang sering kita lakukan adalah memberikan hadiah ketika mereka berprestasi.
Padahal sebenarnya bukan prestasinya yang harus kita apresiasi, akan tetapi usaha mereka untuk mendapatkan prestasi tersebut.
Bukan ranking 1 di kelas yang membuat kita memberikan hadiah untuk mereka,
akan tetapi kemauan mereka untuk serius belajar dan meninggalkan keinginan mereka untuk menonton televisi.
6. Negoisasi
Terkadang karena terlalu asik menonton tv atau bermain game, anak tidak mau kalau harus berhenti seketika.
Jika kita langsung memaksa - misalnya dengan cara mematikan tv seketika - bisa jadi hal itu akan merusak mood mereka. Akibatnya ketika kita meminta mereka untuk melakukan sesuatu yang lain, mereka menolak.
Ketika orangtua berada pada situasi seperti ini, hal yang bisa kita lakukan adalah melakukan negoisasi dengan mereka. Kita bisa mengatakan, misalnya,
“Main gamenya ibu beri waktu 10 menit lagi ya. Setelah itu, kakak mandi. Kalau tidak, ibu akan simpan game-nya sampai besok lusa.”
Pastikan agar mereka menjawab “iya,”.
Lalu konsekuenlah.
Setelah 10 menit dekati anak, atau beri kode agar ia tahu bahwa waktu bermain gamenya sudah habis. Jika anak masih menolak berhenti, laksanakan hukuman.
Penjelasan yang lebih khusus bisa anda baca di sini.
7. Hukuman
Seperti yang sudah saya singgung pada artikel sebelumnya, hukuman ini adalah salah satu cara di dalam proses menumbuhkan disiplin pada anak.
Hukuman adalah langkah terakhir yang “terpaksa” kita terapkan.
Namun dengan catatan, hukuman tersebut haruslah yang bersifat mendidik dan positif, bukan melecehkan.
Misalnya seorang guru yang memberi hukuman menulis kepada muridnya agar tidak malas mengerjakan PR,
Menulis kalimat, “Aku akan lebih rajin lagi”, jauh lebih baik daripada menulis “Aku tidak akan malas lagi”.
Contoh lain dari hukuman yang positif adalah mengurangi jam menonton televisi atau melarang mereka bermain game selama beberapa hari, dsb.
Prinsipnya adalah berikan hukuman yang membangun harga dirinya, bukan yang menjatuhkannya.
Karena Anda sudah membaca artikel ini sampai selesai,
apakah Anda juga berminat membaginya dengan teman-teman Anda?
oh jadi ada cara negosiasi yah
ReplyDelete