2018 - Archieve

Under the hood articles from the past.

Saturday, June 30, 2018

Bangun Emotional Bonding dengan Anak-anak Sebelum Terlambat!

emotional bonding, emotional bonding dengan anak, kedekatan emosi, kedekatan emosi dengan anak


Di dalam kisah Nabi Yusuf alaihissalam, diceritakan ketika Yusuf muda sudah semakin matang kedewasaannya, maka semakin bertambahlah ketampanan dan kharisma wajahnya.

Hal ini rupanya menyulut syahwat istri dari pembesar Mesir yang telah mengadopsinya.

Hingga ketika nafsu itu sudah memegang kontrol atas dirinya, maka tanpa berpikir panjang istri dari pembesar Mesir tersebut melakukan tipu daya dengan menjebak Yusuf berada di dalam satu kamar dengannya. Ia mencoba memancing naluri kelelakian Yusuf.

Al-Qur’an menyatakan bahwa sebenarnya Yusuf muda juga mulai terpancing godaan perempuan itu. Namun dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa pada saat itu tiba-tiba Yusuf teringat wajah sang ayah, Nabiyullah Ya’qub alaihissalam.Maka seketika itu juga luluhlah syahwatnya. Yusuf pun lolos dari perbuatan yang dilaknat oleh Allah subhanahu wa ta’ala.

***

Pada tulisan Anak Perempuan Seharusnya Dekat dengan Siapa? dijelaskan bahwa pada usia menginjak remaja, anak laki-laki harus lebih dekat dengan sosok ayahnya.

Bahkan jika dicermati, di dalam Al-Qur’an banyak sekali dialog-dialog yang terjadi antara ayah dan anak. Misalnya dialog antara Nabi Ibrahim dan Ismail, Nabi Ya’qub dan Yusuf, Luqman dan anaknya, termasuk juga Nabi Nuh dengan putranya. Dialog seorang ayah disebutkan tidak kurang dari 14 ayat, sementara dialog seorang ibu disebut hanya 2 kali saja.

Hal ini mengindikasikan bahwa sosok ayah adalah figur yang harus memiliki emotional bonding yang kuat dengan anak-anak mereka. Kedekatan secara emosi ini akan sangat berpengaruh terhadap perkembangan karakter dan mental mereka nantinya.

Dengan adanya emotional bonding yang kuat, maka anak-anak akan memiliki role model yang permanen, yaitu orangtua mereka sendiri.

Dan jika orangtua sudah mampu menjadi contoh kongkrit bagi anak-anaknya, maka pengaruh-pengaruh negatif dari luar keluarga bisa diminimalisir.

Maka pertanyaan selanjutnya, bagaimana cara kita membangun emotional bonding ini dengan anak-anak kita?

Jawabannya hanya satu, yaitu menyediakan waktu untuk mereka. Yang hal ini tentu tidak bisa ditawar-tawar lagi.

Ya, hanya dengan memberikan kebersamaan yang berkualitas-lah maka kedekatan antara orangtua dengan anak-anak akan terbangun.

Tentu saja – meminjam istilah Elly Risman - kedekatan yang dimaksud bukan saja kedekatan kulit dengan kulit, melainkan kedekatan hati dengan hati. Sebab seringkali yang terjadi orangtua dan anak-anak terlihat dekat secara fisik, bahkan berada di dalam satu sofa atau satu meja, namun sebenarnya mereka tidak saling berinteraksi karena ternyata sibuk dengan gadget masing-masing.

Berikut ini ada beberapa aktifitas dan kegiatan yang bisa diterapkan oleh para orangtua untuk membangun kedekatan emosional dengan anak-anak mereka.

Study tour


H-hee... jangan buru-buru menganggap ini adalah tugas guru atau pihak sekolah. Jangan pula beranggapan bahwa study tour ini pasti membutuhkan biaya yang besar.

Study tour yang bisa diartikan dengan belajar sambil jalan-jalan atau jalan-jalan sambil belajar adalah kegiatan yang bisa kita lakukan bersama anak-anak.

Kegiatan yang ini memang akan “menyita” banyak waktu kita. Namun jika kita bisa mensiasatinya, biaya yang keluar akan bisa ditekan. Kita tidak perlu harus pergi keluar kota atau ke tempat-tempat wisata. Jika dana mepet, kita bisa mengajak anak-anak untuk sekedar jalan-jalan ke alun-alun kota atau ke area CFD (Car Free Day). Cukup sediakan uang bensin dan parkir serta uang untuk jajanan ringan. It’s done!

Kenapa kegiatan study tour ini bisa membangun emotional bonding antara orangtua dan anak-anak? Ada rahasianya...

Sebenarnya kegiatan study tour alias mengajak bepergian ini cukup sering dilakukan oleh Rasulullah. Ibnu Abbas pernah menuturkan bahwa dirinya kerap diajak oleh Rasulullah untuk bepergian. Dan setiap kali bepergian, Rasulullah selalu menyelipkan nasehat-nasehat beliau.

Bagi Ibnu Abbas, bepergian bersama Rasulullah adalah suatu hal yang menyenangkan. Maka ketika Rasulullah memberikan nasehat atau pembelajaran, maka hal itu akan terus terekam di dalam memorinya.

Maka inilah rahasianya... Dalam keadaan senang, maka setiap nasehat kita akan selalu diingat oleh anak-anak kita.

Jadi, jika berkesempatan untuk mengajak anak-anak bepergian, jangan lupa untuk selalu menyelipkan nasehat-nasehat kebaikan.

Bermain bersama


Selain yang disebut di atas, kegiatan lainnya yang bisa membangun kedekatan orangtua dan anak-anak adalah bermain bersama.

Sayangnya, banyak orangtua yang memakai alasan pekerjaan sebagai alibi untuk lepas dari kewajiban memberikan quality time ini.

Sepulang dari bekerja, alih-alih menyediakan waktu untuk bermain bersama anak-anak, para orangtua ini lebih  memilih untuk beristirahat agar esok bisa kembali bekerja. Begitu seterusnya... hingga hari libur tiba. Padahal anak-anak itu membutuhkan perhatian setiap hari, bukan seminggu sekali.

Jika kita tidak memiliki waktu yang banyak untuk mereka, kita bisa mengadakan permainan-permainan sederhana di rumah. Percayalah, permainan seperti catur, halma atau monopoli bisa menjadi aktifitas yang menyenangkan bagi anak-anak. Bahkan aktifitas seperti bercerita bisa membangkitkan antusiasme anak-anak.

Dan jangan lupa, dalam keadaan senang nasehat kita akan lebih mudah masuk. Dan hal ini bisa mendekatkan mereka – secara emosional – dengan kita.

Mematikan ponsel


Hal yang sangat sepele ini jangan pernah dianggap remeh. Karena pada kenyataannya, benda kecil inilah yang menjadi penyebab renggangnya hubungan antar anggota keluarga.

Seorang guru di sebuah lembaga pendidikan dasar di USA pada salah satu sesi pengajarannya pernah meminta kepada para anak didiknya untuk menuliskan satu hal yang sangat tidak mereka inginkan.

Maka salah seorang murid menuliskan bahwa diciptakannya ponsel adalah hal yang sangat tidak ia inginkan. Ia bahkan menambahkan tulisan di atas lembar tugas itu bahwa hadirnya ponsel telah menjauhkan orangtua darinya.

Maka saat kita berada di rumah, sebisa mungkin gunakan waktu yang ada untuk bercengkerama bersama anak-anak. Matikan notifikasi ponsel dan tinggalkan sementara tugas-tugas kantor.

Jika memang kita bekerja demi keluarga dan anak-anak, maka kenapa mereka yang harus menjadi korban dari pekerjaan kita?


Catatan:
“Se-loyal apapun kita terhadap pekerjaan dan se-fanatik apapun kita terhadap perusahaan, saat kita mati, maka perusahaan tidak akan pernah bersedih. Mereka akan langsung mencari pengganti kita. Sementara keluarga, merekalah yang akan terus mengenang dan mengingat kebaikan-kebaikan kita.” (Anonymous)

Sunday, June 3, 2018

4 Aturan Penting Sebelum Melibatkan Keluarga dalam Proses Pendidikan Anak

orang lain dalam pendidikan anak, anggota keluarga lain


Dalam sebuah seminar parenting yang sempat saya ikuti sekitar 2 tahun yang lalu, ada satu kalimat dari Pemateri yang membuat saya cukup terkejut.

Saat itu beliau mengatakan begini,

“Jika ingin anak-anak anda tumbuh menjadi anak-anak yang bermasalah, titipkan saja ke Mbah-nya.”

Hal ini tentu menimbulkan sebuah pertanyaan,

sebab biasanya, Mbah (baca: kakek-nenek) adalah anggota keluarga yang lebih kuat rasa sayangnya terhadap cucu-cucunya.

Namun - oleh si pemateri - hal ini justru disebut-sebut sebagai penyebab banyaknya masalah yang timbul di dalam proses perkembangan karakter anak-anak.

Seperti yang kita ketahui,

bahwa sudah menjadi hal yang umum bagi keluarga urban, dimana ayah dan ibu sama-sama bekerja, maka menitipkan anak-anak ke kakek atau neneknya adalah sebuah pilihan yang menurut mereka, adalah pilihan terbaik.

Untuk menjelaskan maksud dari pernyataan si pemateri di atas, ada sebuah ilustrasi yang menarik untuk disimak.

***

Di sebuah pagi yang sibuk, si ibu yang sudah terlambat untuk berangkat bekerja, dengan terburu-buru menyalakan mesin motornya.

Si ibu lantas berpesan singkat kepada sang anak, yang setiap hari dititipkan di rumah kakek dan neneknya,
bahwa ia tidak boleh nakal dan tidak boleh membeli es.

Namun tidak lama setelah itu, lewatlah seorang penjual es keliling di depan rumah sambil menjajakan dagangannya.

Sang anak kemudian merengek minta dibelikan es tersebut.

Si ibu yang teguh dengan pendiriannya menolak permintaan sang anak.

Sang anak pun menangis...

Mendengar tangisan sang cucu di pagi hari, keluarlah si nenek dari dalam rumah, mencoba menenangkan dan mencari tahu penyebab tangisan sang cucu.

Merasa mendapat “bantuan” dari si nenek, tangis sang anak pun menjadi-jadi.

Akhirnya, si kakek pun merasa harus ikut keluar untuk mengkondisikan keadaan.

Selanjutnya sambil mengeluarkan selembar uang lima ribuan, si kakek berkata dengan wibawanya,

“Sudah, sudah, gak usah nangis lagi. Ini ambil, buat beli es.”

Dan tangis sang cucu pun berhenti-lah.

Masalah di pagi hari itu pun selesai-lah.

***

Disadari atau tidak,

kita seringkali menemukan banyak sekali kejadian-kejadian serupa pada keluarga dimana anak-anak diasuh secara langsung oleh mbah-nya.

Tidak sulit menemukan contoh kasus ketika orangtua melarang sesuatu kepada anak, namun justru dengan serta-merta diijinkan oleh si mbah.

Atau sebaliknya, ketika orangtua menyuruh anak melakukan sesuatu, namun si mbah malah melarangnya dengan alasan kasihan, atau masih terlalu kecil, dan sebagainya.

Jelas, yang terjadi adalah penggembosan.

Hal ini terjadi karena tidak sejalannya metode pendidikan antara orangtua dan si mbah.

Atau dengan kata lain,

tidak adanya kesamaan visi dan misi diantara keduanya.

Proses pendidikan yang seperti inilah yang akan membuat perkembangan mental dan karakter anak-anak menjadi rusak.

Mereka akan menjadi tumbuh anak-anak dengan tipikal pemberontak, pengecut dan miskin tanggung jawab.

Saat mereka diminta atau dilarang melakukan sesuatu yang tidak mereka senangi, maka berlindung di bawah ketiak kakek-nenek adalah solusinya.

Atau saat itu mereka akan mengiyakan saja perintah atau larangan tersebut,

namun saat orangtua sudah tidak ada mereka akan melakukan hal yang sebaliknya karena mereka yakin bahwa kakek dan neneknya akan senatiasa melindunginya.

Lalu bagaimana bisa anak-anak dengan mental seperti ini menjadi seorang pemimpin?

Melihat yang seperti ini,

maka hal paling ideal di dalam proses pendidikan anak-anak adalah tetap memposisikan mereka di bawah asuhan (baca: pendidikan) orangtuanya sendiri,

tanpa campur tangan dari anggota keluarga lain.

Namun jika hal tersebut mustahil dilakukan, dan harus melibatkan anggota keluarga lain di dalam proses pendidikan anak-anak,

maka ada satu hal yang paling penting yang harus dilakukan oleh para orangtua, yaitu menyamakan visi dan misi keluarga.

Di dalam artikel tentang kunci memilih sekolah yang tepat untuk anak-anak,

di sana disimpulkan bahwa yang menjadi faktor penentu keberhasilan pendidikan adalah sejajarnya visi dan misi antara pihak pendidik di sekolah dan pihak orangtua di rumah.

Namun untuk menuju ke arah sana,

satu hal yang terlebih dahulu harus dilakukan adalah mensejajarkan visi dan misi di-intern anggota keluarga itu sendiri.

Sebab tidak mungkin kerjasama dengan pihak luar akan terbentuk, jika diantara anggota keluarga tersebut tidak satu suara.

Lalu bagaimana cara untuk membangun kesamaan visi dan misi diantara sesama anggota keluarga?

Kami mencatat setidaknya ada 4aturan yang harus diterapkan, yaitu:

Menentukan target yang jelas


Hampir mustahil menyatukan banyak ide dan metode jika kemauannya berbeda-beda.

Misalnya, si Ayah ingin sang anak menjadi seorang arsitek. Sementara si Ibu ingin agar si anak menjadi dokter saja. Si kakek dan nenek justru ingin cucunya menjadi seorang atlit.

Jika masing-masing menganggap bahwa ‘keinginan’nya adalah ‘target’,

jelas yang akan menjadi korban kebingungan adalah si anak.

Maka perlu adanya penyatuan target yang jelas. (Mau dibawa kemana anak ini? Mau didik dan dibentuk seperti apa nantinya?)

Dalam hal penentuan target ini tidak bisa dilakukan sepihak saja. Untuk itu, perlu dilakukan aturan yang kedua, yaitu:

Komunikasi yang baik


Komunikasi dua arah yang dibangun dengan baik akan menciptakan situasi yang kondusif di dalam keluarga.Setiap pihak boleh mengutarakan pendapatnya dengan tetap mempertimbangkan pendapat pihak lainnya.

Yang cukup penting di sini adalah untuk selalu menyampaikan apa maksud dari keinginan kita sebelum melakukan hal-hal teknisnya.

Jika tujuan kita menyuruh atau melarang si anak melakukan sesuatu dipahami dengan baik oleh anggota keluarga yang lain,

maka tidak akan terjadi penggembosan lagi.

Dan agar komunikasi ini berhasil, maka diperlukan aturan yang ketiga:

Mau untuk saling mengalah


Perlu disadari bahwa anak-anak bukanlah sebuah benda mati yang bisa dengan seenaknya sendiri diatur begini dan begitu.Pada saatnya nanti, ketika kedewasaannya telah matang, ia akan bisa menentukan jalan hidupnya sendiri.

Namun agar tidak salah jalan, kita sebagai keluarga terdekatnya wajib memberikan rambu-rambu dan arahan yang bisa dipahaminya dengan baik.

Karena itu memaksakan keinginan kita kepada anak-anak, hanya akan menjadikan hidup mereka semakin berat.

Jadi biarkan mereka memahami, keuntungan dan konsekuensinya. Lalu biarkan mereka memilih.

Okelah, mungkin si anak tidak perlu menjadi seorang atlit. Tapi dia tetap harus berolah raga dengan teratur agar bisa menjadi seorang arsitek atau dokter yang sehat.Ini hanya satu contoh saja.

Aturan selanjutnya yang tidak kalah penting adalah,

Berdoa


Kemampuan kita sebagai orangtua itu terbatas.

Maka kita memerlukan support langsung dari Dia yang maha berkuasa untuk membolak-balikkan hati.

Mungkin kita merasa bahwa (karena adanya perbedaan usia, kultur, dsb.) tidak mungkin menyatukan visi dan misi dengan anggota keluarga yang lain di dalam proses pendidikan anak-anak kita.

Namun jika Dia sudah berkehendak, maka tidak ada yang tidak mungkin.

Saya jadi teringat ucapan salah seorang guru saya bahwa Allah itu Maha Kuasa. Jika Dia menghendaki sesuatu, maka hanya dengan mengatakan Kun (jadi!), maka jadilah!

“Maka jika kita sedang berharap akan sesuatu, deketin Allah. Dapatkan Kun-nya!”


Ingin Membekali Anak dengan Gadget? Penuhi 3 Syarat Ini!

memberikan ponsel, sebuah hape untuk anak


Sebuah video yang sempat menjadi viral beberapa waktu yang lalu memperlihatkan seorang anak yang dengan santainya menonton video porno pada gawai yang dipegangnya,

padahal saat itu ia sedang berada di samping ibunya!

Si ibu yang tampak sedang duduk menunggu sesuatu itu tidak menyadari kalau anaknya tengah mengakses konten yang sangat membahayakan bagi perkembangan mentalnya kelak.

Sebuah video yang lainnya menayangkan sepasang siswa sekolah dasar yang “bergulat” layaknya suami-istri, dengan ditonton belasan teman-temannya.

Sungguh sebuah fakta yang memprihatinkan...

Sayangnya, contoh-contoh di atas hanyalah sebagian kecil saja dari dampak penyalahgunaan teknologi.  Masih banyak lagi perilaku-perilaku yang lebih parah dan jauh di luar ekspektasi kita sebagai orang dewasa.

Kemudahan mengakses internet menjadikan anak-anak begitu mudah terpengaruh dan meniru apa saja yang dilihatnya.

Namun bagaimanapun juga kita tidak bisa menafikan manfaat dan kemudahan yang bisa diberikan oleh sebuah teknologi internet.

Hal-hal yang tadinya harus dilakukan dalam waktu yang cukup lama, sekarang bisa dilakukan hanya dalam hitungan menit saja.

Pekerjaan yang sebelumnya harus dilakukan oleh beberapa orang, sekarang cukup satu atau dua orang saja untuk meng-handlenya.

Saya masih ingat waktu masih di sekolah dasar dulu. Kami mendapat tugas untuk membuat kliping tentang bunga-bunga yang tumbuh di Indonesia.

Saat itu kami harus rela hunting koran-koran dan majalah bekas untuk mencari gambar bunga yang dimaksud. Butuh berhari-hari untuk melakukan hal tersebut.

Setelah itu kami harus mengguntingnya dan menempelkannya satu demi satu pada sebuah lembaran kertas.

Tapi itu dulu...

Sekarang sudah berbeda keadaannya. Anak-anak cukup mengakses Mesin Pencari dan mengetikkan sejumlah kata kunci,

dan secara ajaib, tugas selesai dalam sekejab.


Perkembangan internet di Indonesia dan tugas orangtua di masa kini


Berdasarkan survey yang dilakukan oleh Asosiasi Penyelenggara Jaringan Internet Indonesia (APJII) di tahun 2016, tercatat sekitar 132,7 juta orang adalah pengguna internet aktif. Hal ini menunjukkan bahwa lebih dari setengah penduduk Indonesia sudah melek teknologi.

Dan jika dibandingkan dengan pengguna internet di tahun 2014 yang hanya 88 juta orang, berarti ada peningkatan yang sangat signifikan, yaitu sekitar 50,8 persen.

Dan ini menempatkan Indonesia sebagai negara pengguna internet keenam di dunia!

Dari data yang diambil di tahun 2016 tersebut, 18,4 persennya adalah pengguna anak-anak dengan rentang usia antara 10 – 24 tahun.Dan jumlah tersebut hampir bisa dipastikan meningkat hingga 10 persen per tahunnya.

Menyadari fenomena yang masih akan terus berkembang ini,

setuju atau tidak, kita - sebagai orangtua - harus mempersiapkan anak-anak kita,membekali mereka dengan kemampuan untuk menghadapi tantangan di masa mendatang.

Sebuah ungkapan bijak berbunyi,

“Didiklah anak-anakmu sesuai dengan jamannya, karena mereka tidak hidup di jamanmu.”

Maka memperkenalkan dan mengajarkan teknologi internet kepada mereka menjadi sebuah hal yang mendesak untuk dilakukan. Hal ini agar anak-anak itu mampu menggunakan sumber daya tersebut sebagai cara untuk bisa bertahan dari pesatnya perkembangan jaman.

Karena itulah sebagian orangtua kemudian berinisiatif membekali anak-anak mereka dengan ponsel atau smartphone.

Namun yang harus dicatat adalah, memberikan sebuah gawai (baca: kemudahan mengakses internet) tanpa diiringi dengan kesadaran berinternet yang sehat justru akan menjerumuskan anak-anak kita ke dalam pengaruh buruk yang timbul akibat penyalahgunaan internet.

Maka agar anak-anak bisa mendapatkan manfaat, sekaligus terhindar dari dampak buruk akibat penyalahgunaan internet,

orangtua perlu memenuhi beberapa aturan sebagai bekal untuk mengantisipasi hal-hal tersebut.

Ada  setidaknya 3 syarat utama yang harus dipenuhi oleh orangtua sebelum mempercayakan sebuah gawai di tangan anak-anak mereka.

1. Orangtua sebagai pengajar


Apa yang harus diajarkan?

Hal pertama yang harus dilakukan oleh setiap orangtua yang berencana membekali anak-anak mereka dengan sebuah gawai adalah,

mengajarkan bagaimana berakhlak dan bertanggung jawab terhadap konsekuensi dari apa yang bisa ia lakukan dengan alat tersebut.

Kita menyadari bahwa konten-konten yang tersebar di internet – baik itu positif atau negatif – ibarat sebuah siklus yang terus berulang.

Ketika sebuah konten menjadi viral, maka hal tersebut bisa menginspirasi orang lain untuk meniru, mempraktekkan atau membuat yang serupa.

Lalu setelah praktek yang serupa tersebut di rekam dan diunggah, maka hal ini sangat mungkin ditiru dan dipraktekkan oleh orang yang lainnya juga. Dan begitu seterusnya.

Maka dengan menanamkan akhlak dan rasa tanggung jawab kepada diri anak-anak kita, mereka akan menjadi lebih berhati-hati ketika mendapati sebuah konten di internet. Mereka bisa memilih mana yang bermanfaat dan mana yang merusak. Mana yang bagus untuk diunggah dan mana yang tidak pantas untuk disebarkan.

Selain itu, orangtua juga harus mengajarkan kepada anak-anak mereka bagaimana menjaga privasi dan etika bergaul di dunia maya.

Ajarkan anak-anak agar tidak sembarangan membagikan kontak, alamat rumah atau sekolah, foto-foto pribadi atau keluarga dan data-data lainnya yang hanya boleh diketahui oleh orang-orang tertentu saja.

Etika bergaul, terutama di sosmed juga harus diajarkan kepada mereka. Bagaimana seharusnya bersikap, berbicara dan merespon orang lain agar mereka terselamatkan dari bullying dan fitnah.

2. Orangtua sebagai pengawas


Meski pengguna gawai tersebut adalah anak-anak kita, namun kontrol haruslah tetap pada orangtua. Bukan sebaliknya.

Orangtua berkuasa memberikan aturan-aturan terhadap penggunaan gawai tersebut. Orangtuabisa membatasi kapan mereka boleh menggunakan gadget tersebut untuk berinternet dan berapa lama durasinya.

Kita harus memahami bahwa bersosialiasi dengan teman-teman sebayanya di dunia nyata juga penting untuk membentuk karakter dan mental mereka. Jadi jangan biarkan anak-anak kita “terkurung” dengan gadgetnya dalam waktu yang cukup lama.

Tentu saja, orangtua juga harus memberikan contoh kongkrit bagaimana menggunakan gadget dengan wajar saat berada di rumah.

3. Orangtua sebagai teman yang menyenangkan


Sebuah eksperimen sederhana yang dilakukan oleh seorang guru di Lousiana, USA menyatakan bahwa 19,1 persen siswanya berharap agar teknologi ponsel tidak pernah terciptakan.

Mereka mengaku tidak menyukai ponsel karena orangtua mereka menjadi terpaku kepada ponsel dan mengabaikan keberadaan anak-anak mereka.

Kita tentu sepakat bahwa keluarga adalah sekolah pertama bagi anak-anak, karena dari sinilah pembentukan karakter bermula.

Sejak awal orangtua dan keluarga sudah melibatkan diri di dalam pendidikan anak-anak mereka. Namun seiring perkembangan usia mereka menjadi jauh dari pendidikan keluarga.

Novita Tandry, seorang psikolog anak pernah mengatakan bahwa ketika anak-anak itu sudah menginjak usia remaja, maka sesungguhnya instrumen pembentuk karakter mereka seperti rasa sosial, empati dan juga reliji sudah 70 persen terbangun.

Hanya kemudian yang disayangkan,

pada saat itu yang menjadi role model mereka bukan lagi orangtua, melainkan teknologi. Dalam hal ini, Youtube dan Google.

Kenapa mereka menjauh dari orangtua, melupakan pendidikan keluarganya dan lebih suka berinteraksi dengan internet?

Jawabannya,

karena orangtua mereka tidak lagi “keren” untuk dijadikan teman. Para orangtua lebih fokus dengan smartphone dan tidak pernah lagi meluangkan waktu untuk menjadi lebih dekat dengan anak-anaknya.

Di dalam artikel sebelumnya, saya pernah menuliskan bahwa diantara penyebab kenapa anak-anak tidak mau meneladani orangtua mereka,

adalah kurangnya kedekatan orangtua dengan anak-anaknya.Tidak tumbuhnya emotional bonding antara orangtua dengan anak menyebabkan anak mencari figur-figur lain untuk diikuti.

Buya Hamka di dalam Tasawwuf Modern-nya pernah menuliskan bahwa,

“Berteman dengan orang yang bodoh tapi tidak pernah bermaksiat lebih baik daripada berteman dengan orang yang pintar tapi suka bermaksiat.”

Artinya bahwa, figur-figur lain yang diikuti oleh anak-anak kita itu bisa jadi adalah figur-figur yang berpotensi menularkan pengaruh-pengaruh yang merusak.

Karena itu penting untuk dicamkan,

bahwa sesibuk apapun dan secapek bagaimanapun kita, ada satu kewajiban yang tidak boleh luput kita tunaikan. Yaitu memberikan waktu yang berkualitas untuk keluarga.

Tidak harus lama, namun bisa cukup berkesan untuk anak-anak kita.

Pelukan yang tulus, dongeng menjelang tidur, komunikasi yang menyenangkan adalah hal-hal sederhana dan tidak butuh waktu lama yang bisa kita lakukan untuk membangun quality time tersebut.

Dengan kedekatan yang kuat serta komunikasi yang terbuka antara anak-anak dengan orangtuanya, maka pengaruh-pengaruh buruk dari luar akan bisa ditepis.

#sahabatkeluarga



Tuesday, May 1, 2018

Kunci Memilih Sekolah yang Tepat untuk Anak-anak

tips memilih sekolah, ciri sekolah yang tepat


Setiap mendekati pertengahan tahun seperti ini, para orangtua yang memiliki anak-anak yang telah lulus SD atau SMP akan terlihat sibuk mempersiapkan dan memilihkan sekolah untuk anak-anak mereka.

Dari pihak sekolah pun tak kalah bombastisnya promosi mereka. Semuanya mengklaim sebagai lembaga yang paling tepat untuk putra-putri kita dengan se-abrek fasilitas dan trofi-trofi yang dipamerkan. Seolah-olah mereka mengatakan, “Kamilah yang terbaik!”

Yah, kita harus menyadari, memang tidak ada kecap no. 2. H-haa...

***

Sebagai orangtua, kita tentu memiliki harapan bahwa anak-anak kita akan menjadi manusia-manusia yang sukses nantinya. Bisa sukses di bidang dunianya, pun sukses di bagian akhiratnya.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengisyaratkan bahwa jika kita ingin beruntung di dunia atau di akhirat, atau bahkan sukses di keduanya...

... haruslah dengan ilmu.

Karena itulah, pendidikan adalah satu-satunya pintu yang mesti dilalui.

Prof. Thomas Lickona - yang disebut-sebut sebagai Bapak Pendidikan Dunia - mengatakan bahwa pendidikan yang benar seharusnya memiliki 2 tujuan.

Yaitu membuat orang menjadi pintar,

dan membuat orang menjadi baik.

Karena itu beliau menyebut ada 5 pilar pendidikan yang utama, yaitu

Membaca – Menulis – Berhitung – Rasa Hormat – Tanggung Jawab

Senada dengan hal itu, Imam al-Ghazali rahimahullah pernah mengatakan,

“Pendidikan adalah (proses) menghilangkan sifat-sifat yang buruk dan menanamkan sifat-sifat yang baik.”

Maka jika boleh kita simpulkan,

bahwa sifat-sifat yang baik – yang biasa disebut akhlak - bisa dijadikan tolok ukur apakah pendidikan tersebut berhasil atau tidak.

Bahkan pendidikan akhlak ini haruslah menjadi prioritas utama sebelum berproses pada pendidikan akademis.

Karena itu jika berbicara mengenai pendidikan (dan akhlak) anak-anak kita,

maka pikiran kita tidak boleh terfokus pada sekolah-sekolah formal saja. Ada banyak sekolah-sekolah dan lembaga non-formal yang bisa dijadikan referensi.


Fenomena Absurd di Sekitar Kita


Sebelum berbicara lebih banyak tentang pendidikan akhlak vs pendidikan akademis,

kita bisa sejenak berkeliling di jalan raya yang ada di kota-kota besar.

Jika kita mau memasang mata untuk mengamati, maka akan banyak kita temukan fenomena-fenomena memalukan yang nyata-nyata dilakukan oleh orang-orang yang “berpendidikan”.

Kita masih sering melihat orang yang menyeberang jalan tidak pada zebra cross atau tempat penyeberangan yang ditentukan.

Apakah mereka tidak tahu bahwa hal tersebut salah?

Tahu.

Kita juga masih kerap melihat orang yang dengan mudahnya membuang sampah di sembarang tempat. Bahkan membuang tisu bekas dari dalam mobil ke jalan raya, begitu saja.

Apakah mereka tidak tahu kalau perbuatan tersebut tidak semestinya dilakukan?

Tahu.

Menerobos lampu merah atau palang kereta api juga tidak akan habis untuk dibicarakan.

Pelakunya tahu kalau itu melanggar peraturan dan berbahaya.

Tapi kenapa perilaku seperti ini masih saja subur di negeri ini?

Jawabannya tidak lain dan tidak bukan adalah karena kesalahan sistem pengajaran yang dianut di lembaga-lembaga pendidikan di sekitar kita.

Sistem pengajaran yang banyak diaplikasikan oleh sekolah-sekolah dan lembaga pendidikan kita adalah sistem pengajaran KNOWING.

Sistem pengajaran berbasis “Knowing” adalah sistem pengajaran yang hanya terfokus pada pemberian informasi dan data.

Anak-anak didik dengan sistem pengajaran “Knowing” ini hanya diajari untuk “tahu”. Atau lebih tepatnya, “sekedar tahu”.

Bagaimana seharusnya menyeberang di jalan raya, mereka tahu.

Bahwa membuang sampah seharusnya di tempat sampah, mereka juga paham.

Akan tetapi semua itu tidak pernah ada penerapannya secara nyata dalam keseharian mereka.

Informasi-informasi itu mengajarkan anak-anak didik untuk menjadi “tahu”, tapi tak pernah merangsang mereka untuk menjadi “mau”.

Sedangkan sistem pengajaran berikutnya adalah sistem pengajaran BEING.

Yaitu sistem pengajaran yang tidak hanya mengajarkan pengetahuan, namun juga menjadikannya kebiasaan.

Sistem pengajaran yang terakhir inilah yang mampu membentuk karakter positif pada diri anak-anak itu.

Mereka tidak hanya tahu bahwa hal itu benar,

namun mereka juga membawa pengetahuan itu ke dalam kehidupan mereka sehari-hari.

***

Maka memilihkan anak-anak kita dengan sekolah yang menerapkan sistem pengajaran berbasis “Being” seperti ini memang bukan perkara yang mudah.

Kita tentu butuh referensi dari banyak jalur.

Namun biasanya ada satu pola yang bisa diamati di dalam memilih lembaga pendidikan ini.


Kesamaan Visi dan Misi


Diantara hal-hal yang bisa menjadi faktor penentu keberhasilan sebuah pendidikan adalah samanya visi antara pihak pendidik dan pihak orangtua.

Dalam satu hari, anak-anak berada di sekolah dan mendapat pengajaran di sana paling banyak sekitar 6 atau 8 jam.

Ini berarti sisa waktu terbanyak yang dimiliki anak-anak adalah di lingkungan rumahnya (baca: lingkungan keluarga).

Maka akan menjadi suatu hal yang tidak sinkron ketika pihak pendidik mengajarkan kebaikan, sementara di rumah orangtua melakukan pembiaran terhadap perilaku buruk anak-anak.

Karena itulah penting untuk mensejajarkan visi dan misi antara pihak pendidik dan orangtua.

Jika di sekolah anak-anak diajarkan A, maka di rumah pun mereka diajarkan A.

Sehingga akan tercipta kesinambungan pada proses pendidikan mereka, yang hal itu akan membentuk karakter yang mengakar pada diri anak-anak.

Maka jika mencermati teori di atas,

sekolah atau lembaga pendidikan yang menganut sistem pengajaran BEING biasanya akan aktif untuk mengkomunikasikan agenda kegiatan, perkembangan dan permasalahan yang dihadapi anak-anak,

entah melalui buku penghubung, grup WA,

maupun melalui kegiatan-kegiatan yang melibatkan orangtua dan pihak pendidik secara interaktif, seperti pengajian atau seminar parenting, ruang konsultasi, family gathering, dan sebagainya.

Semua aktifitas itu dimaksudkan untuk membangun kepercayaan dan samanya pemikiran antara lembaga dan orangtua.

Sebaliknya, orangtua juga bisa mendiskusikan kelemahan yang ada pada diri anak-anaknya,
sehingga para pendidik di sekolah tahu “apa” yang sedang mereka hadapi.

Dengan analogi sederhana mungkin bisa dikatakan bahwa orangtua harus menjadi “mata” bagi para pendidik saat anak-anak di rumah,

dan para pendidik harus menjadi “mata” orangtua saat mereka berada di sekolah.


Akhlak adalah Tolok Ukurnya


Seperti yang sudah sempat disinggung di atas, bahwa karakter yang positif

hendaklah menjadi tolok ukur utama atas berhasilnya sebuah proses pendidikan.

Karena itu, sekolah-sekolah yang menerapkan sistem pengajaran “Being” tidak pernah menilai anak-anak berdasarkan ranking.

Tapi bukan berarti sekolah semacam ini memiliki standar nilai yang rendah. Bukan seperti itu.

Justru pada akhirnya nanti karakter baik anak-anak itulah yang akan menjadikan mereka mudah menjadi pribadi-pribadi yang cerdas.

Sebuah kata bijak berbunyi begini,

“Mengarahkan orang yang benar menjadi pintar, itu mudah. Tapi mengarahkan orang yang pintar menjadi benar, itu yang susah.”

Karena ketika seseorang itu sudah merasa dirinya pintar, maka ia akan cenderung meremehkan apa yang ada disekitarnya.

Maka sekolah dengan sistem pengajaran BEING akan lebih memprioritaskan akhlak daripada prestasi akademis.


Tuesday, April 17, 2018

Hati-hati, Orangtua Melakukan 6 Kesalahan Ini Sekaligus!

kesalahan orangtua, melakukan kesalahan


Kita – para orangtua - memang bukanlah makhluk yang sempurna. Bahkan sebenarnya kita telah melakukan kesalahan lebih banyak dari yang kita sadari.

Tidak pernah ada sekolah, perkuliahan, kursus atau kurikulum yang mengajarkan bagaimana cara menjadi orangtua yang baik.

Yang ada barangkali hanyalah pengajian, seminar atau sejenisnya yang cuma sekali tatap muka. Itupun hanya teori tanpa contoh praktek.

Karena itu amatlah wajar jika setiap orangtua berbuat salah di dalam proses pendidikan anak-anak mereka.

Bahkan dalam satu kasus kejadian, orangtua bisa melakukan lebih dari satu kesalahan sekaligus!

Namun, hal ini tidak lantas menjadi pembenaran bahwa tidak apa-apa memberikan pengajaran yang salah terhadap mereka,

justru hal ini haruslah menjadi pengingat kita bahwa masih ada banyak hal-hal yang perlu dipelajari dan diperbaiki dalam mendidik putra-putri kita.

Pada postingan kali ini, AyahNulis akan memberikan 6 kesalahan yang mungkin dilakukan oleh para orangtua dalam satu waktu.

Ilustrasinya begini,

Suatu saat, kita mengajak anak kita berbelanja di sebuah supermarket. Namun, tidak sesuai harapan, anak-anak itu berulah dengan berteriak-teriak meminta dibelikan barang yang bukan menjadi kebutuhan keluarga.

Kita mencoba untuk mengingatkan mereka, namun tidak berhasil. 

Tentu saja hal ini memancing kemarahan orangtua yang kemudian membentak mereka.

***

Jika kita cermati,

dari ilustrasi kasus di atas, setidaknya kita akan menemukan enam kesalahan yang mungkin dilakukan oleh para orangtua.

Apa saja 6 kesalahan tersebut? 

1. Marah


Marah, tidak sabar, membentak (atau bahkan memukul), adalah kesalahan pertama yang dilakukan oleh orangtua.

Tapi kenapa marah ini disebut sebagai suatu kesalahan?

Kita tahu, bahwa kemarahan ini ibarat candu. Sekali kita lepas kendali, maka kita akan terus melakukannya.

Selain itu, memarahi anak-anak (apalagi dengan suara yang keras),

sama saja dengan kita mengajarkan kepada mereka bahwa marah atau membentak itu sah-sah saja untuk dilakukan.

Maka penting untuk menjaga emosi di dalam situasi seperti di atas. Tetaplah untuk mengingatkan mereka dengan bahasa yang tenang dan lembut. Jangan terpancing emosi.

Reaksi yang baik, seringkali akan ditanggapi dengan baik pula oleh anak-anak.

2. Melanggar peraturan


Orangtua pasti pernah memberikan pengajaran kepada anak-anak mereka, misalnya bahwa marah itu perbuatan yang buruk, dosa, tidak boleh dilakukan, dsb.

Bahkan kita juga memberikan larangan agar tidak mudah marah dan gampang tersulut emosi.

Maka saat kita marah,

pesan yang akan ditangkap oleh anak-anak kita adalah bahwa aturan itu boleh dilanggar.

Karena itu sama seperti solusi pada poin di atas, tetaplah tenang.

Dan jika kita merasa telah melanggar peraturan, wajib bagi kita untuk mengakui hal tersebut serta meminta maaf kepada mereka.

3. Memberi imbalan


Memberi imbalan atas sikap buruk anak adalah kesalahan ketiga yang mungkin dilakukan oleh orangtua dalam situasi di atas.

Misalnya karena lelah dengan ulah si anak, akhirnya orangtua lebih memilih cara yang dianggap paling mudah,

yaitu dengan iming-iming hadiah.

Kita mungkin akan mengatakan, “Jika adik berhenti berteriak, ibu akan belikan permen.”

Sebenarnya hal ini sudah pernah kita bahas di dalam tulisan yang ini.

Tidak ada karakter baik yang terbentuk dengan metode seperti ini. Mereka akan mulai bertingkah buruk setiap kali mereka menginginkan sesuatu.

Karena itu, daripada memberikan imbalan untuk sikap buruk yang dilakukan anak-anak,

jauh lebih baik jika kita memberikan apresiasi atas sikap baik yang ditunjukkan anak.

Kita bisa mengatakan, misalnya, “Ibu sangat senang sekali adik mau menemani ibu berbelanja. Apalagi adik sangat tenang hari ini.”

4. Tidak konsisten


Saat kita melarang anak-anak agar tidak mudah emosi, lalu kita sendiri dengan gampangnya marah,
ini adalah sikap tidak konsisten.

Saat kita memberikan peraturan, namun kita sendiri melanggarnya,

maka ini juga adalah salah satu contoh sikap yang tidak konsisten.

Akan tetapi dalam ilustrasi di atas, ketidak-konsistenan orangtua bisa terjadi jika misalnya kita memberikan ancaman karena ulah si anak,

namun meski si anak tidak mau menghentikan ulahnya,

kita tidak juga melaksanakan ancaman tersebut. Mungkin karena kita merasa iba terhadap mereka.

Ketika kita sudah mengatakan akan memberikan suatu hukuman jika mereka tidak menghentikan sikap buruknya,

maka hukuman tersebut harus benar-benar kita berikan jika anak-anak masih melanggarnya.

Saat kita sudah menetapkan jenis hukuman dan batas waktunya, maka jangan ada lagi tawar-menawar atau rasa kasihan. Jalankan saja hukuman tersebut. Ajarkan kepada mereka apa itu konsekuensi.

Karena itu penting untuk tidak menjanjikan hukuman (atau hadiah) yang di luar kesanggupan kita sebagai orangtua.

Maka perlu untuk penulis kutipkan di sini ucapan sahabat sekaligus menantu Rasulullah, Ali bin Abi Thalib,

“Jangan berjanji saat sedang gembira dan jangan membuat keputusan saat sedang marah.”

5. Terlalu banyak berharap


Para orangtua seharusnya adalah sosok yang paling mengerti tentang anak-anak mereka. Apa keinginan mereka, ketidak-sukaan mereka, tempat yang mereka senangi, dsb.

Jika melihat dari ilustrasi di atas, membawa anak-anak ke tempat berbelanja (yang di sana juga tersedia berbagai macam camilan dan mainan yang menarik),

lalu kita berharap agar mereka tenang dan tidak meminta apa-apa,

sepertinya adalah hal yang berlebihan (baca: mustahil).

Sadarilah, mereka itu masih anak-anak. Jangan dianggap sudah dewasa yang bisa mengerti apa keinginan kita. Beberapa hal yang dipajang di sana pastilah akan menarik perhatian mereka.

Mereka pasti akan meminta dibelikan, entah dengan cara yang sopan atau dengan cara yang arogan.

Maka di sinilah perlu adanya “antisipasi” dari orangtua. Orangtua mungkin bisa membuat kesepakatan dulu dengan anak-anak tentang apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dibeli.

6. Cara yang tidak sesuai


Kesalahan lainnya yang mungkin dilakukan oleh para orangtua berikutnya adalah kekeliruan metode pengajaran.


dijelaskan bahwa ada perbedaan antara mendidik anak laki-laki dengan mengajari anak perempuan.

Ada pula nantinya perbedaan antara mengatasi anak-anak yang pemarah dan mereka yang penurut.  Anak-anak yang suka jajan dan yang tidak terlalu suka.

Perbedaan-perbedaan ini tentunya tidak bisa dianggap sama dan dipukul rata dalam proses pendidikannya.

Perlu ada “treatment” khusus untuk setiap karakter anak.

Orangtua harus mempelajari itu lalu menerapkannya dalam setiap detik pertumbuhan anak-anak mereka.


Wednesday, April 11, 2018

6B Kebiasaan Orangtua untuk Melahirkan Anak-anak Hebat

kebiasaan baik dari orangtua


Banyak orang mengatakan bahwa tidak ada resep atau rumus untuk melahirkan anak-anak yang hebat.

Hal ini mungkin benar, mengingat anak-anak yang hebat itu tidak muncul dengan seketika. Mereka tidak dilahirkan dengan cara-cara instan.

Tapi kita bisa melihat,

banyak orangtua yang berhasil mencetak generasi-generasi hebat sebagai calon penerus mereka.

Tentu hal ini bukan merupakan suatu kebetulan. Pasti ada langkah-langkah yang telah dilakukan. Dan jika ini bukan sebuah kebetulan, maka berarti ini sudah dipersiapkan.

Apa rahasia para orangtua ini?

Jika boleh kita mengintip keseharian mereka,

ada pola dan perilaku yang sama yang diterapkan para orangtua ini untuk memunculkan anak-anak dengan talenta yang membanggakan.

Para orangtua (yang sebenarnya juga hebat ini) ternyata memiliki kebiasaan-kebiasaan yang oleh orang awam dianggap sebagai hal yang biasa saja dan tidak memiliki pengaruh apa-apa.

Kebiasaan-kebiasaan itu bisa kita rumuskan dengan 6B, yaitu Bicara, Bacakan cerita, Bermain, Batasi tontonan, Bangun bakatnya dan Berpelukan.

Agar lebih jelas, kita bisa membahasnya satu per satu.

Berikut ini adalah kebiasaan-kebiasaan orangtua yang terbukti sukses mengembangkan kecerdasan anak-anak mereka.


1. Bicara dengan mereka


Berbicara dengan anak-anak adalah salah satu kebiasaan yang wajib dilakukan untuk membentuk anak-anak yang cakap.

Hasil penelitian menyatakan bahwa kuantitas percakapan berbanding lurus dengan peningkatan IQ dan perkembangan kemampuan membaca mereka.

Artinya, semakin banyak anak diajak berbicara, maka akan semakin tinggi kemampuan membaca dan intelektual mereka.

Bahkan disebutkan bahwa lebih dari 95% kosa kata yang dimiliki anak-anak yang masih berusia 3 tahun,
didapatkan dari orangtuanya.

Maka mengajak bicara anak-anak semenjak masih bayi harus menjadi kebiasaan para orangtua.

Ajak bicara saat memandikan mereka, saat memakaikan pakaian, saat mereka bermain,

bahkan saat kita sedang sibuk mengerjakan pekerjaan di rumah.

2. Bacakan cerita untuk mereka


Selain mengajak mereka berbicara,

cara lain yang juga efektif untuk meningkatkan kecerdasan anak-anak adalah dengan membacakan mereka cerita atau dongeng.

Selain dapat meningkatkan kemampuan mendengar dan berbicara,

kebiasaan membacakan cerita ini dapat melatih imajinasi, kreatifitas dan nalar anak-anak.

Bahkan anak-anak yang terbiasa dibacakan dongeng atau cerita selama 20 menit perhari menjadi lebih unggul dari anak-anak lainnya di usia remaja,

dalam hal daya ingat dan penyelesaian masalah.

Mereka-mereka ini hampir bisa dipastikan mencapai kesuksesan saat di Sekolah Menengah Atas.

3. Biarkan mereka bermain


Banyak orangtua yang masih salah paham tentang bagaimana membantuk anak-anak yang cerdas.

Menurut mereka,

bermain, adalah sebuah kegiatan yang tidak ada faedahnya. Sia-sia dan tanpa manfaat yang berarti.

Padahal seorang fisikawan terkemuka, pernah mengatakan begini,

“Jika sukses sama dengan A, maka rumusnya adalah A = x + y + z. “x” adalah bekerja, “y” itu bermain, dan “z” tidak banyak bicara.” (Albert Einstein, 1879-1959)

Artinya bahwa bermain memiliki porsi yang sama pentingnya untuk melahirkan kesuksesan.

Bermain bukanlah suatu kegiatan yang tidak bermanfaat.

Bahkan ia adalah kegiatan yang membantu perkembangan kemampuan fungsi eksekutif,

yang mana fungsi ini sangat penting untuk membantu bekerjanya fungsi memori, memberi jawaban, penyelesaian masalah termasuk nanti bagaimana anak mengatur dirinya sendiri.

Findlandia, yang disebut-sebut sebagai salah satu negara dengan sistem pendidikan terbaik di dunia, menerapkan metode bermain ini sebagai kurikulum pengajaran mereka.

Hasilnya, anak-anak di sana mampu menyelesaikan soal-soal 15 menit lebih cepat dari waktu normal yang disediakan.

4. Batasi menonton TV


Diakui atau tidak, televisi adalah salah satu sarana yang menunjang kegagalan anak-anak di dalam belajar.

Belum pernah dikabarkan bahwa ada anak-anak yang menjadi cerdas dan berprestasi di sekolah karena rajin menonton TV.

Yang terjadi malah sebaliknya,

“serangan” visual dari televisi justru sangat membebani kinerja otak anak-anak dan menghilangkan kreatifitas.

Menonton televisi lebih dari satu jam bisa menyebabkan masalah pada daya konsentrasi anak. Ini belum termasuk konten tayangan iklan yang jauh dari kesan mendidik.

Inilah sebabnya kenapa anak-anak dengan usia di bawah 2 tahun tidak boleh menonton TV sama sekali.

5. Bangun bakatnya


Membangun bakat anak bisa juga disebut mendukung fitrahnya.

Banyak orangtua yang seringkali secara tak sadar menghancurkan fitrah anak-anak mereka.

Misalnya, orangtua kerap memarahi anak-anak mereka yang dianggap terlalu banyak omongnya. Orangtua juga akan menunjukkan sikap tidak suka jika anak-anak mereka terlalu banyak bertanya dan curiga.

Padahal bisa jadi anak-anak yang banyak omongnya itu nanti akan menjadi seorang orator atau penceramah yang handal.

Bisa jadi anak-anak yang suka curigaan itu akan menjadi seorang detektif yang kuat nalurinya.

Kita tidak pernah tahu akan menjadi apa mereka nantinya. Maka daripada kita berusaha keras untuk membungkam bakat mereka, jauh lebih baik kita beri mereka dukungan sikap dan dukungan doa.

Dengan merasakan banyaknya dukungan dari orangtuanya, anak-anak itu akan tumbuh dengan kepercayaan diri yang kuat.

Semoga dengan kepercayaan dirinya itu mereka saat dewasa nanti bisa menemukan apa yang menjadi passion mereka sebenarnya.

6. Berpelukan sesering mungkin


Yang terakhir ini mungkin semua orangtua sudah mengetahuinya.

Bahwa berpelukan, berpegangan tangan, bermanja-manja, tertawa dan bernyanyi bersama merupakan asupan yang bergizi bagi perkembangan otak anak-anak kita.

Pada dasarnya aktifitas ini adalah merupakan sarana mentransfer emosi dari orangtua kepada anak-anak mereka sehingga perasaan-perasaan yang positif akan menular.

Karakter dan mental mereka pun akan terbangun dengan baik.


Thursday, April 5, 2018

10 Keahlian yang Wajib Dikuasai oleh Setiap Orangtua

cara menjadi orangtua yang baik

Menjadi orangtua tentu merupakan dambaan setiap pasangan. Bahkan segala upaya akan dilakukan ketika pasangan tersebut belum juga dikaruniai momongan.

Namun, jika mau jujur, menjadi orangtua bukanlah sebuah title yang menyenangkan.

Akan ada tanggung jawab yang harus kita emban ketika sebutan tersebut telah melekat pada diri kita.

Tanggung jawab tersebut adalah bagaimana mendidik dan mengajari anak-anak kita sikap-sikap positif untuk pembentukan mental dan karakter mereka.

Maka kemudian bukan menjadi “orangtua” yang perlu kita agung-agungkan,

namun bagaimana menjadi “orangtua yang terbaik” bagi anak-anak kita, atau bagaimana menjadi orangtua yang mengerti kebutuhan mereka,

itu yang harus kita upayakan.

Sehingga tentu diperlukan banyak keahlian yang harus dimiliki untuk tujuan tersebut.

Ada setidaknya 10 keahlian yang harus kita kuasai agar bisa menjadi orangtua yang terbaik dan yang mengerti tentang anak-anak kita.

1. Menjadi Pendengar yang Baik


Menjadi pendengar yang baik merupakan keahlian yang teramat penting yang wajib dikuasai oleh setiap orangtua.

Pada postingan tentang bagaimana cara menjadi pendengar yang baik untuk anak,

dituliskan bahwa kegagalan di dalam menjadi pendengar yang baik akan berujung pada kesalah-pahaman.

Kesalah-pahaman ini akan berimbas pada perbedaan visi dan misi antara orangtua dan anak. Sehingga tujuan yang kita harapkan,

akan sulit tercapai.

Maka solusinya adalah,

berikan kepada anak-anak kita kesempatan untuk menceritakan apa yang menjadi permasalahan mereka.

Dan tunjukkan kepada mereka perhatian khusus kita terhadap permasalahan tersebut.

2. Menjadi Pecinta Tanpa Syarat


Keahlian berikutnya yang harus dikuasai oleh setiap orangtua adalah menunjukkan rasa cinta dan sayang kita kepada mereka,

dalam kondisi dan keadaan apapun.

Selain dengan cara memberikan mereka hadiah-hadiah sederhana,

pelukan yang bersahabat dan ungkapan-ungkapan cinta akan menjadikan mereka merasa dihargai dan disayangi.


3. Menjadi Teman Terbaik


Bagi para orangtua yang bekerja, maka poin yang ketiga ini harus diupayakan dengan sungguh-sungguh.

Karena seharian penuh kita fokus kepada pekerjaan kita, maka ketika pulang ciptakan waktu yang berkualitas bersama anak-anak.

Hindari membawa pekerjaan ke rumah. Hindari gadget atau apapun yang bisa memisahkan kita dengan mereka.

Yang sangat dibutuhkan oleh anak-anak itu adalah interaksi dengan orangtua mereka.

Maka kita bisa membuat permainan-permainan yang interaktif,

menceritakan dongeng atau kisah-kisah yang menarik,

atau sekedar berbincang-bincang tentang apapun yang itu bisa memperkuat emotional bonding kita dengan anak-anak.

4. Menjadi Tegas, namun Menyenangkan


Hal yang sangat penting untuk pembentukan karakter anak-anak kita adalah,

penerapan kedisiplinan di rumah.

Orangtua bisa menerapkan aturan-aturan khusus yang bisa membantu membentuk kepribadian baik pada anak-anak.

Namun penting untuk diingat,

bahwa aturan-aturan tersebut haruslah dibuat dengan bahasa yang menyenangkan.

Tanpa ancaman, apalagi kekerasan.


5. Menjadi Adil dan Konsisten


Keahlian yang ke-5 ini sangat erat kaitannya dengan apa yang disebut pada poin sebelumnya.

Jika aturan-aturan yang dibuat tadi bersifat umum,

maka aturan-aturan tersebut harus berlaku untuk semua anggota keluarga,

termasuk untuk orangtua.

Namun orangtua juga bisa membuat aturan yang berbeda-beda untuk setiap anggota keluarga.  Dengan cara ini kita akan mengajari anak-anak untuk bisa menghormati aturan-aturan yang diperuntukkan untuk anggota keluarga yang lain.

Selain itu, penting untuk tidak terlalu sering menggonta-ganti aturan yang sudah disepakati. Karena hal tersebut akan membuat anak-anak berpikir bahwa kita kurang tegas.

6. Menjadi Contoh yang Baik


Dalam setiap pembelajaran tentang parenting atau pembentukan karakter anak-anak,

hal yang selalu pasti disebutkan adalah keteladanan.

Bagaimana orangtua bisa menjadi role model bagi anak-anak mereka.

Tidak berlebihan jika orangtua diibaratkan sebagai lokomotif yang menyeret gerbong-gerbong di belakangnya. Mau sampai dimana gerbong-gerbong itu tergantung sampai dimana lokomotif berhenti.

Orangtua memang bisa mengajar anak-anaknya melalui kata-kata,

namun pemahaman mereka akan jauh lebih kuat dengan melihat apa yang kita lakukan.

7. Menjadi Ahli Mengapresiasi, Bukan Ahli Menghukum


Di dalam tulisan tentang 4 Kesalahan Seorang Pemimpin,

kesalahan yang paling utama dilakukan adalah tidak bisa menempatkan reward (penghargaan) dan punishment (hukuman) pada saat yang tepat.

Kesalahan penerapan ini biasanya terjadi berupa pemberian hadiah untuk sikap buruk yang dilakukan anak dan pemberian hukuman atas niat baik sang anak.

Misalnya saat berada di tempat umum, si anak merengek-rengek minta dibelikan mainan. Namun karena keinginan tersebut tidak dituruti oleh orangtua, maka si anak kemudian menangis dan berteriak-teriak dengan keras.

Orangtua yang tidak tahan dengan situasi tersebut akhirnya memilih mengalah dengan membelikan mainan yang diinginkan.

Ini adalah contoh pemberian hadiah untuk sikap buruk anak-anak.

Contoh lain, misalnya si anak bermaksud memotong rumput yang sudah mulai meninggi di halaman rumah.

Namun karena masih belum terlalu paham, tanaman yang dipelihara oleh orangtuanya ikut terpotong bersama rumput-rumput itu.

Orangtua yang marah segera menghukum si anak.

Ini adalah contoh bagaimana orangtua memberikan hukuman untuk niat baik si anak.

8. Menjadi Diri Anak 


Kelanjutan dari poin 7 tentang apresiasi dan bukan hukuman,

maka agar orangtua bisa memahami maksud dan niat si anak, orangtua perlu untuk menjadi diri si anak.

Maksudnya adalah melihat dari sudut pandang mereka.

Bagaimana caranya?

Cara yang paling mudah adalah dengan cara bertanya dari hati ke hati kepada mereka. Dengan lemah lembut dan tanpa bentakan atau ancaman.

9. Menjadi Pembelajar


Tidak ada manusia (baca: orangtua) yang sempurna.

Bahkan jika anda tahu, penulis artikel inipun sebenarnya jauh dari kata itu di dalam mendidik anak-anaknya.

Namun satu hal yang tetap harus kita upayakan adalah kemauan untuk belajar menjadi orangtua yang tepat bagi mereka.

Selain membaca artikel atau buku-buku tentang parenting,

mengikuti seminar atau pengajian dengan tema pendidikan anak-anak,

membuat catatan-catatan tentang hal tersebut juga bisa kita lakukan (sebagaimana tujuan awal dibuatnya blog ini).

Mempelajari hal-hal yang seperti ini tidak akan membuat wibawa kita sebagai orangtua jatuh. Namun justru akan membuat anak-anak kita respek terhadap apa yang telah kita lakukan.

10. Menjadi Penyabar


Meski ditulis pada urutan yang paling akhir,

bukan berarti keahlian ini paling tidak penting.

Justru menjadi orangtua dengan sikap yang positif seperti ini akan “menular” kepada anak-anak kita.

Sebaliknya, orangtua yang mendidik anak-anaknya dengan sikap yang arogan dan kasar hanya akan menghasilkan preman-preman di masa mendatang.

Anak-anak itu akan tumbuh menjadi anak-anak yang tidak pandai memahami lingkungannya dan berempati terhadap sesamanya.

Pendidikan yang ditempuh melalui jalur kesabaran diibaratkan seperti pohon bambu yang butuh waktu sangat lama untuk tumbuh,

namun kemudian ia akan tumbuh dengan sangat tinggi dan sangat kuat.

Sunday, March 25, 2018

Daffa, dan Sedikit Cerita Tentang GBS

Apa itu GBS?


Bersamaan dengan merebaknya kasus difteri, ada satu jenis penyakit lagi yang penting untuk mendapat perhatian khusus...

Anak kami adalah salah satu penderitanya yang - dengan takdir Allah - mengalami kesembuhan jauh lebih cepat dari perkiraan.

Mudah-mudahan apa yang kami tulis ini bermanfaat bagi pembaca sekalian.

***

Tahun 2018 ini agaknya akan menjadi tahun yang istimewa bagi saya dan keluarga. Karena memasuki awal tahun ini Allah berkehendak memberi kami sebuah “kado spesial”.

Daffa, anak kedua kami yang sudah berusia 6 tahun, secara mendadak tiba-tiba tidak bisa berjalan...

Kedua kakinya sangat lemah sehingga tidak bisa menahan berat tubuhnya sendiri. Begitu pula dengan kedua tangannya yang - bahkan - tidak sanggup mengangkat cangkir minumannya.


KRONOLOGISNYA


Sebenarnya, sejak awal Januari ini saya sudah merasa ada yang tidak beres dengan anak kami.

Pandangan matanya sayu dan di bagian bawah matanya agak sedikit menghitam. Tingkahnya juga lesu seperti orang yang malas atau kecapekan. Saat ditanya, Daffa mengaku tidak sakit,

tidak pusing,

dan tidak habis jatuh.

Setelah itu, setiap kali saya ajak ke masjid ia terus-terusan berpegangan pada tangan saya, bahkan saat sholat.

Saya yang merasa anak kami hanya kecapekan, tidak terlalu memperdulikan hal tersebut. Namun mungkin di situlah kesalahan saya.

Puncaknya, tanggal 4 Januari 2018, Daffa yang terbiasa berangkat dan pulang sekolah dengan berjalan kaki (karena jarak sekolah yang hanya terpisah beberapa blok), terjatuh.

Saat itu salah seorang wali murid yang melihatnya lantas membantunya berdiri. Namun setelah berdiri, Daffa kembali jatuh. Karena khawatir dengan keadaannya, wali murid tersebut akhirnya mengantar Daffa pulang dengan motornya.

Ketika kami menanyainya, ia menjawab bahwa pada bagian belakang lutut kanannya sakit.

Keesokan harinya kedua bagian belakang lututnya sakit. Dan selanjutnya kedua lengan hingga ketiaknya yang terasa sakit.

Sejak itu Daffa tidak bisa bangun maupun berdiri...


TANDA TANYA?


Namun ada satu hal yang menjadi tanda tanya bagi kami, termasuk oleh dokter sendiri pada awal-awal sakitnya. Tanda tanya tersebut adalah bahwa sakitnya Daffa ini tanpa diiringi dengan gejala-gejala lain seperti pada penyakit umumnya.

Daffa tidak panas atau demam, tidak mual dan muntah serta tidak diare. Pusing hanya sesekali saja, karena mungkin sehari-harinya dihabiskan lebih banyak dengan tidur-tiduran.

Untuk makan dan bersenda gurau dengan kakak atau adiknya juga seperti biasanya. Tidak ada yang berbeda.

Satu-satunya hal yang menunjukkan bahwa dia sakit hanyalah tubuhnya yang lemas. Dan ada beberapa persendian yang sakit bila ditekan atau ditarik.

Sehari-harinya Daffa hanya bisa berbaring saja. Bahkan untuk duduk harus dibantu dan untuk ke kamar kecil harus digendong.


UPAYA PENGOBATAN


Selama hari-hari itu kami sudah mengupayakan pengobatan ke banyak tempat. Mulai bidan, dokter praktek, dokter spesialis, bahkan rukyah. Akan tetapi sampai sejauh ini Allah masih belum membuka penyebab sakitnya Daffa.

Hasil cek lab dari RS juga tidak menunjukkan adanya indikasi yang perlu diwaspadai. Memang ada sedikit gejala tipes, namun kemudian hilang pada pemeriksaan berikutnya.

Sedikit hal yang bisa kami lakukan adalah mengupayakan perbaikan imun Daffa dengan memberinya asupan buah pisang dan air kelapa muda. Alhamdulillah, meski kecil, upaya ini ada hasilnya.

Tanggal 22 Januari, atas saran dan bantuan dari para tetangga dan jamaah di masjid, kami membawa Daffa ke RSUD Sidoarjo.

Dari dokter yang bertugas di Poli Anak, kami diarahkan untuk cek lab (lagi) dan melakukan pemeriksaan sistem syaraf.

Hasil lab yang kami terima juga menunjukkan tanda-tanda normal. Hanya saja ketika harus melakukan pemeriksaan syaraf, dokter yang bertugas menyatakan bahwa alat mereka mengalami gangguan. Sehingga kami disarankan untuk melakukan pemeriksaan tersebut di RSUD Dr. Soetomo, Surabaya.


GBS SYNDROME


GBS atau Guillain-Barre Syndrome adalah keadaan ketika sistem kekebalan tubuh menyerang system syaraf.

Tanda yang paling terlihat adalah pelemasan otot dimulai dari tubuh bagian bawah (mirip kelumpuhan) lalu bergerak ke atas, dan biasanya diiringi gatal tubuh bagian atas dan pelemasan otot pernafasan alias sesak nafas.

Hasil pemeriksaan EMG dinyatakan Daffa terkena sindrom GBS ini.

Namun karena saat dibawa ke RSUD Dr. Soetomo keadaan Daffa sudah jauh lebih baik dari hari-hari sebelumnya (sudah bisa duduk sendiri dan merangkak), maka dokter mempertimbangkan untuk tidak dilakukan rawat inap.

Sehingga keesokan harinya kami sudah diperbolehkan pulang dengan catatan tetap dilatih fisioterapinya di rumah seperti latihan menapak, menendang, memukul, jongkok-berdiri, naik-turun tangga, dan sebagainya.

FYI, menurut penjelasan Dr. Immanuel dari Poli Syaraf Anak mengatakan bahwa jaringan otot dibagi menjadi dua bagian. Jaringan otot dari leher ke atas atau yang disebut UMN (Up Muscle Neuron) dan; jaringan otot dari leher ke bawah yang disebut LMN (Low Muscle Neuron).

Qadarullah, pada kasus Daffa yang diserang “hanyalah” jaringan otot bawah sehingga in sya Allah tidak ada hubungannya dengan otak.

Inilah yang mungkin membedakan Daffa dengan pasien-pasien lainnya.

Pasien lainnya harus diinfus (karena tidak bisa makan dengan baik) dan harus dipasang selang oksigen (karena sesak nafas berkelanjutan).

Bahkan jika kondisinya semakin parah, maka dokter akan memberikan cairan (saya lupa namanya) yang harga perbotolnya persis gaji saya sebulan!

Dan itu harus diberikan setiap hari...

Allahumma rabban-naasi, adzhibil ba'sa wasfihi, wa anta syafii. Laa syifa'a illa syifa'uka. Syifa'an laa yughadiru saqama.

“Ya Allah, Rabb-nya manusia, hilangkanlah kesusahan dan berilah dia kesembuhan, Engkau Dzat Yang Maha Menyembuhkan. Tidak ada kesembuhan kecuali kesembuhan dari-Mu, kesembuhan yang tidak meninggalkan penyakit lain.”

Saya mendoakan ini untuk pasien-pasien lain yang bernasib jauh lebih parah dari anak kami.

***

Alhamdulillah, kondisi anak kami saat ini sudah jauh lebih baik.

Daffa sudah bisa berjalan dan beraktifitas seperti biasanya. Meski kami masih harus membatasi durasinya,

karena jika ia kelelahan, malam harinya suhu tubuhnya akan naik.

Dan saya harus mengakui jika gerakan-gerakan sholat merupakan terapi yang sangat baik untuk kesembuhan Daffa.

Saat ini Daffa masih belum bisa rukuk dengan sempurna, karena masih terasa ada otot yang tertarik (katanya).

Memang belum bisa dikatakan sembuh total, namun keadaan ini sudah sangat kami syukuri mengingat pada kasus GBS jangka waktu kesembuhan diperkirakan antara 6-12 bulan, bahkan pada beberapa kasus yang parah bisa sampai 4 tahun!

Catatan: Saat saya memposting tulisan ini, saya baru saja mendapat informasi bahwa di RSUD Sidoarjo mulai berdatangan pasien suspect GBS.

Semoga ini adalah akhir catatan Daffa dengan GBS-nya.

Dan semoga anda dan keluarga juga dikaruniai kesehatan yang berkah. Aamiin.