Sunday, June 3, 2018

Ingin Membekali Anak dengan Gadget? Penuhi 3 Syarat Ini!

memberikan ponsel, sebuah hape untuk anak


Sebuah video yang sempat menjadi viral beberapa waktu yang lalu memperlihatkan seorang anak yang dengan santainya menonton video porno pada gawai yang dipegangnya,

padahal saat itu ia sedang berada di samping ibunya!

Si ibu yang tampak sedang duduk menunggu sesuatu itu tidak menyadari kalau anaknya tengah mengakses konten yang sangat membahayakan bagi perkembangan mentalnya kelak.

Sebuah video yang lainnya menayangkan sepasang siswa sekolah dasar yang “bergulat” layaknya suami-istri, dengan ditonton belasan teman-temannya.

Sungguh sebuah fakta yang memprihatinkan...

Sayangnya, contoh-contoh di atas hanyalah sebagian kecil saja dari dampak penyalahgunaan teknologi.  Masih banyak lagi perilaku-perilaku yang lebih parah dan jauh di luar ekspektasi kita sebagai orang dewasa.

Kemudahan mengakses internet menjadikan anak-anak begitu mudah terpengaruh dan meniru apa saja yang dilihatnya.

Namun bagaimanapun juga kita tidak bisa menafikan manfaat dan kemudahan yang bisa diberikan oleh sebuah teknologi internet.

Hal-hal yang tadinya harus dilakukan dalam waktu yang cukup lama, sekarang bisa dilakukan hanya dalam hitungan menit saja.

Pekerjaan yang sebelumnya harus dilakukan oleh beberapa orang, sekarang cukup satu atau dua orang saja untuk meng-handlenya.

Saya masih ingat waktu masih di sekolah dasar dulu. Kami mendapat tugas untuk membuat kliping tentang bunga-bunga yang tumbuh di Indonesia.

Saat itu kami harus rela hunting koran-koran dan majalah bekas untuk mencari gambar bunga yang dimaksud. Butuh berhari-hari untuk melakukan hal tersebut.

Setelah itu kami harus mengguntingnya dan menempelkannya satu demi satu pada sebuah lembaran kertas.

Tapi itu dulu...

Sekarang sudah berbeda keadaannya. Anak-anak cukup mengakses Mesin Pencari dan mengetikkan sejumlah kata kunci,

dan secara ajaib, tugas selesai dalam sekejab.


Perkembangan internet di Indonesia dan tugas orangtua di masa kini


Berdasarkan survey yang dilakukan oleh Asosiasi Penyelenggara Jaringan Internet Indonesia (APJII) di tahun 2016, tercatat sekitar 132,7 juta orang adalah pengguna internet aktif. Hal ini menunjukkan bahwa lebih dari setengah penduduk Indonesia sudah melek teknologi.

Dan jika dibandingkan dengan pengguna internet di tahun 2014 yang hanya 88 juta orang, berarti ada peningkatan yang sangat signifikan, yaitu sekitar 50,8 persen.

Dan ini menempatkan Indonesia sebagai negara pengguna internet keenam di dunia!

Dari data yang diambil di tahun 2016 tersebut, 18,4 persennya adalah pengguna anak-anak dengan rentang usia antara 10 – 24 tahun.Dan jumlah tersebut hampir bisa dipastikan meningkat hingga 10 persen per tahunnya.

Menyadari fenomena yang masih akan terus berkembang ini,

setuju atau tidak, kita - sebagai orangtua - harus mempersiapkan anak-anak kita,membekali mereka dengan kemampuan untuk menghadapi tantangan di masa mendatang.

Sebuah ungkapan bijak berbunyi,

“Didiklah anak-anakmu sesuai dengan jamannya, karena mereka tidak hidup di jamanmu.”

Maka memperkenalkan dan mengajarkan teknologi internet kepada mereka menjadi sebuah hal yang mendesak untuk dilakukan. Hal ini agar anak-anak itu mampu menggunakan sumber daya tersebut sebagai cara untuk bisa bertahan dari pesatnya perkembangan jaman.

Karena itulah sebagian orangtua kemudian berinisiatif membekali anak-anak mereka dengan ponsel atau smartphone.

Namun yang harus dicatat adalah, memberikan sebuah gawai (baca: kemudahan mengakses internet) tanpa diiringi dengan kesadaran berinternet yang sehat justru akan menjerumuskan anak-anak kita ke dalam pengaruh buruk yang timbul akibat penyalahgunaan internet.

Maka agar anak-anak bisa mendapatkan manfaat, sekaligus terhindar dari dampak buruk akibat penyalahgunaan internet,

orangtua perlu memenuhi beberapa aturan sebagai bekal untuk mengantisipasi hal-hal tersebut.

Ada  setidaknya 3 syarat utama yang harus dipenuhi oleh orangtua sebelum mempercayakan sebuah gawai di tangan anak-anak mereka.

1. Orangtua sebagai pengajar


Apa yang harus diajarkan?

Hal pertama yang harus dilakukan oleh setiap orangtua yang berencana membekali anak-anak mereka dengan sebuah gawai adalah,

mengajarkan bagaimana berakhlak dan bertanggung jawab terhadap konsekuensi dari apa yang bisa ia lakukan dengan alat tersebut.

Kita menyadari bahwa konten-konten yang tersebar di internet – baik itu positif atau negatif – ibarat sebuah siklus yang terus berulang.

Ketika sebuah konten menjadi viral, maka hal tersebut bisa menginspirasi orang lain untuk meniru, mempraktekkan atau membuat yang serupa.

Lalu setelah praktek yang serupa tersebut di rekam dan diunggah, maka hal ini sangat mungkin ditiru dan dipraktekkan oleh orang yang lainnya juga. Dan begitu seterusnya.

Maka dengan menanamkan akhlak dan rasa tanggung jawab kepada diri anak-anak kita, mereka akan menjadi lebih berhati-hati ketika mendapati sebuah konten di internet. Mereka bisa memilih mana yang bermanfaat dan mana yang merusak. Mana yang bagus untuk diunggah dan mana yang tidak pantas untuk disebarkan.

Selain itu, orangtua juga harus mengajarkan kepada anak-anak mereka bagaimana menjaga privasi dan etika bergaul di dunia maya.

Ajarkan anak-anak agar tidak sembarangan membagikan kontak, alamat rumah atau sekolah, foto-foto pribadi atau keluarga dan data-data lainnya yang hanya boleh diketahui oleh orang-orang tertentu saja.

Etika bergaul, terutama di sosmed juga harus diajarkan kepada mereka. Bagaimana seharusnya bersikap, berbicara dan merespon orang lain agar mereka terselamatkan dari bullying dan fitnah.

2. Orangtua sebagai pengawas


Meski pengguna gawai tersebut adalah anak-anak kita, namun kontrol haruslah tetap pada orangtua. Bukan sebaliknya.

Orangtua berkuasa memberikan aturan-aturan terhadap penggunaan gawai tersebut. Orangtuabisa membatasi kapan mereka boleh menggunakan gadget tersebut untuk berinternet dan berapa lama durasinya.

Kita harus memahami bahwa bersosialiasi dengan teman-teman sebayanya di dunia nyata juga penting untuk membentuk karakter dan mental mereka. Jadi jangan biarkan anak-anak kita “terkurung” dengan gadgetnya dalam waktu yang cukup lama.

Tentu saja, orangtua juga harus memberikan contoh kongkrit bagaimana menggunakan gadget dengan wajar saat berada di rumah.

3. Orangtua sebagai teman yang menyenangkan


Sebuah eksperimen sederhana yang dilakukan oleh seorang guru di Lousiana, USA menyatakan bahwa 19,1 persen siswanya berharap agar teknologi ponsel tidak pernah terciptakan.

Mereka mengaku tidak menyukai ponsel karena orangtua mereka menjadi terpaku kepada ponsel dan mengabaikan keberadaan anak-anak mereka.

Kita tentu sepakat bahwa keluarga adalah sekolah pertama bagi anak-anak, karena dari sinilah pembentukan karakter bermula.

Sejak awal orangtua dan keluarga sudah melibatkan diri di dalam pendidikan anak-anak mereka. Namun seiring perkembangan usia mereka menjadi jauh dari pendidikan keluarga.

Novita Tandry, seorang psikolog anak pernah mengatakan bahwa ketika anak-anak itu sudah menginjak usia remaja, maka sesungguhnya instrumen pembentuk karakter mereka seperti rasa sosial, empati dan juga reliji sudah 70 persen terbangun.

Hanya kemudian yang disayangkan,

pada saat itu yang menjadi role model mereka bukan lagi orangtua, melainkan teknologi. Dalam hal ini, Youtube dan Google.

Kenapa mereka menjauh dari orangtua, melupakan pendidikan keluarganya dan lebih suka berinteraksi dengan internet?

Jawabannya,

karena orangtua mereka tidak lagi “keren” untuk dijadikan teman. Para orangtua lebih fokus dengan smartphone dan tidak pernah lagi meluangkan waktu untuk menjadi lebih dekat dengan anak-anaknya.

Di dalam artikel sebelumnya, saya pernah menuliskan bahwa diantara penyebab kenapa anak-anak tidak mau meneladani orangtua mereka,

adalah kurangnya kedekatan orangtua dengan anak-anaknya.Tidak tumbuhnya emotional bonding antara orangtua dengan anak menyebabkan anak mencari figur-figur lain untuk diikuti.

Buya Hamka di dalam Tasawwuf Modern-nya pernah menuliskan bahwa,

“Berteman dengan orang yang bodoh tapi tidak pernah bermaksiat lebih baik daripada berteman dengan orang yang pintar tapi suka bermaksiat.”

Artinya bahwa, figur-figur lain yang diikuti oleh anak-anak kita itu bisa jadi adalah figur-figur yang berpotensi menularkan pengaruh-pengaruh yang merusak.

Karena itu penting untuk dicamkan,

bahwa sesibuk apapun dan secapek bagaimanapun kita, ada satu kewajiban yang tidak boleh luput kita tunaikan. Yaitu memberikan waktu yang berkualitas untuk keluarga.

Tidak harus lama, namun bisa cukup berkesan untuk anak-anak kita.

Pelukan yang tulus, dongeng menjelang tidur, komunikasi yang menyenangkan adalah hal-hal sederhana dan tidak butuh waktu lama yang bisa kita lakukan untuk membangun quality time tersebut.

Dengan kedekatan yang kuat serta komunikasi yang terbuka antara anak-anak dengan orangtuanya, maka pengaruh-pengaruh buruk dari luar akan bisa ditepis.

#sahabatkeluarga



Pri617

Author & Editor

Bukan seorang ayah yang sempurna. Hanya berusaha mewariskan sifat baik dan sikap positif untuk anak-anak kami.

0 komentar:

Post a Comment