Tuesday, May 1, 2018

Kunci Memilih Sekolah yang Tepat untuk Anak-anak

tips memilih sekolah, ciri sekolah yang tepat


Setiap mendekati pertengahan tahun seperti ini, para orangtua yang memiliki anak-anak yang telah lulus SD atau SMP akan terlihat sibuk mempersiapkan dan memilihkan sekolah untuk anak-anak mereka.

Dari pihak sekolah pun tak kalah bombastisnya promosi mereka. Semuanya mengklaim sebagai lembaga yang paling tepat untuk putra-putri kita dengan se-abrek fasilitas dan trofi-trofi yang dipamerkan. Seolah-olah mereka mengatakan, “Kamilah yang terbaik!”

Yah, kita harus menyadari, memang tidak ada kecap no. 2. H-haa...

***

Sebagai orangtua, kita tentu memiliki harapan bahwa anak-anak kita akan menjadi manusia-manusia yang sukses nantinya. Bisa sukses di bidang dunianya, pun sukses di bagian akhiratnya.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengisyaratkan bahwa jika kita ingin beruntung di dunia atau di akhirat, atau bahkan sukses di keduanya...

... haruslah dengan ilmu.

Karena itulah, pendidikan adalah satu-satunya pintu yang mesti dilalui.

Prof. Thomas Lickona - yang disebut-sebut sebagai Bapak Pendidikan Dunia - mengatakan bahwa pendidikan yang benar seharusnya memiliki 2 tujuan.

Yaitu membuat orang menjadi pintar,

dan membuat orang menjadi baik.

Karena itu beliau menyebut ada 5 pilar pendidikan yang utama, yaitu

Membaca – Menulis – Berhitung – Rasa Hormat – Tanggung Jawab

Senada dengan hal itu, Imam al-Ghazali rahimahullah pernah mengatakan,

“Pendidikan adalah (proses) menghilangkan sifat-sifat yang buruk dan menanamkan sifat-sifat yang baik.”

Maka jika boleh kita simpulkan,

bahwa sifat-sifat yang baik – yang biasa disebut akhlak - bisa dijadikan tolok ukur apakah pendidikan tersebut berhasil atau tidak.

Bahkan pendidikan akhlak ini haruslah menjadi prioritas utama sebelum berproses pada pendidikan akademis.

Karena itu jika berbicara mengenai pendidikan (dan akhlak) anak-anak kita,

maka pikiran kita tidak boleh terfokus pada sekolah-sekolah formal saja. Ada banyak sekolah-sekolah dan lembaga non-formal yang bisa dijadikan referensi.


Fenomena Absurd di Sekitar Kita


Sebelum berbicara lebih banyak tentang pendidikan akhlak vs pendidikan akademis,

kita bisa sejenak berkeliling di jalan raya yang ada di kota-kota besar.

Jika kita mau memasang mata untuk mengamati, maka akan banyak kita temukan fenomena-fenomena memalukan yang nyata-nyata dilakukan oleh orang-orang yang “berpendidikan”.

Kita masih sering melihat orang yang menyeberang jalan tidak pada zebra cross atau tempat penyeberangan yang ditentukan.

Apakah mereka tidak tahu bahwa hal tersebut salah?

Tahu.

Kita juga masih kerap melihat orang yang dengan mudahnya membuang sampah di sembarang tempat. Bahkan membuang tisu bekas dari dalam mobil ke jalan raya, begitu saja.

Apakah mereka tidak tahu kalau perbuatan tersebut tidak semestinya dilakukan?

Tahu.

Menerobos lampu merah atau palang kereta api juga tidak akan habis untuk dibicarakan.

Pelakunya tahu kalau itu melanggar peraturan dan berbahaya.

Tapi kenapa perilaku seperti ini masih saja subur di negeri ini?

Jawabannya tidak lain dan tidak bukan adalah karena kesalahan sistem pengajaran yang dianut di lembaga-lembaga pendidikan di sekitar kita.

Sistem pengajaran yang banyak diaplikasikan oleh sekolah-sekolah dan lembaga pendidikan kita adalah sistem pengajaran KNOWING.

Sistem pengajaran berbasis “Knowing” adalah sistem pengajaran yang hanya terfokus pada pemberian informasi dan data.

Anak-anak didik dengan sistem pengajaran “Knowing” ini hanya diajari untuk “tahu”. Atau lebih tepatnya, “sekedar tahu”.

Bagaimana seharusnya menyeberang di jalan raya, mereka tahu.

Bahwa membuang sampah seharusnya di tempat sampah, mereka juga paham.

Akan tetapi semua itu tidak pernah ada penerapannya secara nyata dalam keseharian mereka.

Informasi-informasi itu mengajarkan anak-anak didik untuk menjadi “tahu”, tapi tak pernah merangsang mereka untuk menjadi “mau”.

Sedangkan sistem pengajaran berikutnya adalah sistem pengajaran BEING.

Yaitu sistem pengajaran yang tidak hanya mengajarkan pengetahuan, namun juga menjadikannya kebiasaan.

Sistem pengajaran yang terakhir inilah yang mampu membentuk karakter positif pada diri anak-anak itu.

Mereka tidak hanya tahu bahwa hal itu benar,

namun mereka juga membawa pengetahuan itu ke dalam kehidupan mereka sehari-hari.

***

Maka memilihkan anak-anak kita dengan sekolah yang menerapkan sistem pengajaran berbasis “Being” seperti ini memang bukan perkara yang mudah.

Kita tentu butuh referensi dari banyak jalur.

Namun biasanya ada satu pola yang bisa diamati di dalam memilih lembaga pendidikan ini.


Kesamaan Visi dan Misi


Diantara hal-hal yang bisa menjadi faktor penentu keberhasilan sebuah pendidikan adalah samanya visi antara pihak pendidik dan pihak orangtua.

Dalam satu hari, anak-anak berada di sekolah dan mendapat pengajaran di sana paling banyak sekitar 6 atau 8 jam.

Ini berarti sisa waktu terbanyak yang dimiliki anak-anak adalah di lingkungan rumahnya (baca: lingkungan keluarga).

Maka akan menjadi suatu hal yang tidak sinkron ketika pihak pendidik mengajarkan kebaikan, sementara di rumah orangtua melakukan pembiaran terhadap perilaku buruk anak-anak.

Karena itulah penting untuk mensejajarkan visi dan misi antara pihak pendidik dan orangtua.

Jika di sekolah anak-anak diajarkan A, maka di rumah pun mereka diajarkan A.

Sehingga akan tercipta kesinambungan pada proses pendidikan mereka, yang hal itu akan membentuk karakter yang mengakar pada diri anak-anak.

Maka jika mencermati teori di atas,

sekolah atau lembaga pendidikan yang menganut sistem pengajaran BEING biasanya akan aktif untuk mengkomunikasikan agenda kegiatan, perkembangan dan permasalahan yang dihadapi anak-anak,

entah melalui buku penghubung, grup WA,

maupun melalui kegiatan-kegiatan yang melibatkan orangtua dan pihak pendidik secara interaktif, seperti pengajian atau seminar parenting, ruang konsultasi, family gathering, dan sebagainya.

Semua aktifitas itu dimaksudkan untuk membangun kepercayaan dan samanya pemikiran antara lembaga dan orangtua.

Sebaliknya, orangtua juga bisa mendiskusikan kelemahan yang ada pada diri anak-anaknya,
sehingga para pendidik di sekolah tahu “apa” yang sedang mereka hadapi.

Dengan analogi sederhana mungkin bisa dikatakan bahwa orangtua harus menjadi “mata” bagi para pendidik saat anak-anak di rumah,

dan para pendidik harus menjadi “mata” orangtua saat mereka berada di sekolah.


Akhlak adalah Tolok Ukurnya


Seperti yang sudah sempat disinggung di atas, bahwa karakter yang positif

hendaklah menjadi tolok ukur utama atas berhasilnya sebuah proses pendidikan.

Karena itu, sekolah-sekolah yang menerapkan sistem pengajaran “Being” tidak pernah menilai anak-anak berdasarkan ranking.

Tapi bukan berarti sekolah semacam ini memiliki standar nilai yang rendah. Bukan seperti itu.

Justru pada akhirnya nanti karakter baik anak-anak itulah yang akan menjadikan mereka mudah menjadi pribadi-pribadi yang cerdas.

Sebuah kata bijak berbunyi begini,

“Mengarahkan orang yang benar menjadi pintar, itu mudah. Tapi mengarahkan orang yang pintar menjadi benar, itu yang susah.”

Karena ketika seseorang itu sudah merasa dirinya pintar, maka ia akan cenderung meremehkan apa yang ada disekitarnya.

Maka sekolah dengan sistem pengajaran BEING akan lebih memprioritaskan akhlak daripada prestasi akademis.


Pri617

Author & Editor

Bukan seorang ayah yang sempurna. Hanya berusaha mewariskan sifat baik dan sikap positif untuk anak-anak kami.

0 komentar:

Post a Comment