July 2016 - Archieve

Under the hood articles from the past.

Sunday, July 31, 2016

4 Cara Paling Efektif untuk Membentuk Pikiran Positif pada Anak-anak



Ada sebuah cerita singkat yang cukup inspiratif.

Ada seorang raja yang memiliki sebongkah batu permata yang sangat langka.

Namun karena kesalahan salah seorang pengawalnya, bongkahan permata itu tidak sengaja terjatuh dan pecah menjadi serpihan-serpihan yang lebih kecil.

Raja sangat bersedih karena tahu bahwa serpihan-serpihan itu tak mungkin bisa disatukan kembali.

Namun oleh seorang kakek pemahat batu, serpihan-serpihan permata itu berhasil diubah menjadi sebuah kalung dan cincin yang amat indah.

Selesai.

Tamat.

Singkat amat? (Kan sudah saya bilang kalau ini cerita singkat, h-hee...)

Satu lagi ya,

Saya ingat dulu waktu masih nyantri di Bangil, salah seorang guru saya, Ust. Iman Supriono, pernah berkata begini,

bagi banyak orang, gelombang di lautan dan angin yang kencang adalah masalah. Namun tidak begitu bagi seorang nelayan. Ia malahan bisa memanfaatkan hal itu untuk berbagai kepentingannya.

Nah, apa pelajaran yang bisa kita ambil dari 2 ilustrasi di atas?


Kekuatan berpikir positif

Salah satu presiden Amerika, Henry Ford pernah mengatakan,

“Entah kau berpikir ‘kau bisa’ atau kau berpikir ‘kau tidak bisa’, kau selalu benar!”

Ilustrasi di atas – kakek pemahat batu dan nelayan – adalah contoh tokoh yang memiliki cara berpikir yang positif.

Mereka tidak melihat ‘masalah’ sebagai masalah, namun justru melihatnya sebagai peluang dan jalan keluar.

Dari contoh tersebut kita bisa melihat betapa hebatnya kekuatan berpikir positif ini.

Pikiran positif akan menghasilkan tindakan yang hebat dan strategic. Para pebisnis menyebutnya sebagai tindakan yang kreatif atau out of the box.

Bagi anak-anak, kebiasaan berpikir positif akan sangat berpengaruh di dalam perkembangan mental dan karakter mereka.

Anak-anak yang terbiasa menggunakan cara berpikir positif akan lebih mudah untuk menyelesaikan setiap permasalahan yang dihadapinya.

Mereka tidak kenal pada sikap menyerah dan putus asa.

Sebaliknya, anak-anak yang cenderung berpikir negatif akan memiliki emosi yang labil, sulit berinteraksi dan selalu apatis terhadap hal-hal yang baru.

Ada banyak artikel yang menjelaskan tentang cara membentuk, membangun dan menumbuhkan pikiran-pikiran positif ini.

Beberapa menjelaskan dengan bahasa yang sulit saya cerna. Beberapa lainnya dengan jumlah poin yang benar-benar membuat alis saya berkerut, karena saking banyaknya.

Semua postingan itu tentu tidak salah, hanya saja membuat saya cukup bekerja keras untuk memahaminya.

Ada pula beberapa artikel yang saya anggap cukup bagus, namun jumlahnya cukup banyak.

Di sini saya akan mencoba untuk meringkasnya menjadi beberapa langkah saja.

Anda tetap disarankan untuk membaca artikel-artikel lain yang mungkin bisa digunakan untuk menambah atau bahkan memperbaiki penjelasan dalam tulisan ini.

Berikut ini adalah 4 langkah paling efektif untuk membangun pikiran positif pada anak-anak.


1. Gunakan ungkapan-ungkapan positif


Orang bilang bahwa kata-kata adalah pintu dari pikiran.

Ini berarti untuk mendapatkan pikiran yang positif kita harus melalui pintunya, yaitu kata-kata yang positif.

Kata-kata positif ini – disadari atau tidak – dapat menstimulus anak untuk berbuat positif.

Salah satu contoh misalnya daripada kita mengatakan,

“Ayo cepat mandi, nanti terlambat ke sekolah!”

lebih baik kita menggunakan kalimat,

“Yuk siap-siap sekarang, biar nanti bisa main-main dulu sebelum bel masuk.”

Bagi kita yang beragama, ungkapan-ungkapan positif ini bisa kita combine dengan doa-doa harian yang kita ajarkan kepada mereka.


2. Syukuri semua hal


Sama seperti poin no. 1, ungkapan syukur mampu membangun pikiran-pikiran positif.

Dengan membiasakan diri untuk mensyukuri apapun yang kita terima, akan membentuk perasaan bahwa semuanya menyenangkan.

Perasaan bahagia inilah yang kemudian akan mendorong pikiran-pikiran positif lainnya bermunculan.

Sebelum tidur malam, latih anak-anak untuk mensyukuri hal-hal menyenangkan yang dialaminya seharian tadi. Kita bisa membantunya dengan mengingatkan hal-hal menyenangkan tersebut.


3. Apresiasi keberhasilan, diskusikan kegagalan


Siapapun senang dipuji. Tidak terkecuali anak-anak kita.

Ketika anak-anak melakukan hal yang baik, lalu mendapat apresiasi dari orangtua mereka,

maka hal ini akan membuat mereka menjadi lebih percaya diri dan semakin ingin melakukan hal-hal baik lainnya.

Sebaliknya, ketika anak mengalami kegagalan atau kekecewaan, kita bisa mendiskusikannya dan bersama-sama mencari hal baik yang “tersembunyi” dari kejadian yang tidak mengenakkan tersebut.


4. Sikap positif orangtua


Ada yang bilang, anak-anak itu adalah peniru yang ulung.

Dan memang begitu adanya.

Untuk membentuk pikiran positif pada diri anak-anak, terlebih dahulu pemikiran positif ini harus dimiliki atau ditunjukkan oleh orangtua mereka.

Kita tahu bahwa pikiran positif akan membentuk reaksi positif.

Karena pikiran positif ini sulit ditiru anak-anak karena ia tidak terlihat,

maka kita bisa menunjukkan kepada mereka – pikiran positif ini - melalui reaksi positif kita ketika menghadapi suatu kejadian yang tidak mengenakkan.

Berikut ini ada sebuah cerita inspiratif tentang bagaimana bereaksi positif.

Seorang ibu yang baru pulang dari belanja terkejut ketika menyadari uang 50 ribu yang disimpannya di lemari, hilang.

Ibu ini memiliki 2 orang anak. Namun si ibu sangat yakin kalau yang mengambil uang tersebut adalah anak pertamanya.

Maka, ketika makan malam tiba dan kedua anaknya sudah berada di meja makan, ibu ini berkata,

“Ketika ibu belanja tadi, rupanya ada pencuri yang mengambil uang ibu di lemari. Mungkin ketika kalian sedang bermain di luar.

Tapi kalian jangan takut karena besok pagi-pagi sekali ibu akan melaporkan hal ini ke polisi agar pencurinya segera ditemukan.”

Anak pertama yang memang mengambil uang itu menjadi khawatir. Sehingga ketika ibunya tidak memperhatikannya, ia mengendap-endap mengembalikan uang tersebut ke dalam lemari.

Pagi harinya, ketika si ibu menyadari bahwa uangnya sudah “kembali”,

ibu ini lalu mengumpulkan kedua anaknya dan berkata kepada mereka,

“Ternyata ibu salah, tidak ada pencuri yang masuk ke rumah ini.

Uang ibu tidak hilang. Mungkin kemarin ibu yang kurang teliti mencarinya. Maafkan ibu ya sudah membuat kalian takut...”


Lihat,

saat kita bereaksi positif atas suatu peristiwa, maka hal ini akan menular kepada siapapun yang berada di dekat kita.

Anak pertama yang memutuskan untuk mengembalikan uang tersebut bukan karena takut akan ditangkap polisi,

akan tetapi karena ia tidak mau disebut pencuri.

Kedua alasan ini jelas berbeda.

Jika ia hanya takut ditangkap polisi, ia bisa saja menyembunyikan uang tersebut di tempat yang aman dan berpura-pura tidak tahu apa-apa,

toh ia yakin ibunya tidak tahu.

Namun karena ia tidak mau dicap sebagai pencuri, maka apapun yang ia lakukan - selama uang itu masih berada di tangannya - ia adalah pencuri.

Karena itulah ia memilih untuk mengembalikannya.

Inilah yang saya sebut tadi bahwa pikiran positif itu menular.

Jadi berpikirlah positif, dan tularkan itu kepada anak-anak dan orang-orang di sekitar kita.

Dan dalam sekejap, hidup kita akan dikelilingi banyak kebahagiaan.

Friday, July 29, 2016

Ingin Mengajari Anak Menghargai Orang Lain? Gunakan 6 Kata Positif Ini!


Pada masa-masa Golden Age, yaitu sekitar usia 0-7 tahun, anak-anak berada pada masa dimana mereka mudah untuk diajarkan sesuatu.

Maka pembentukan karakter anak harus dilakukan dengan tepat pada fase ini. Salah satu di antara sekian banyak tahapannya adalah mengajarkan anak-anak untuk berkata-kata yang baik.

Ungkapan yang cukup bisa menggambarkan hal ini adalah
“Kamu, adalah apa yang kamu ucapkan”.

Artinya, bagaimana orang lain menilai diri kita adalah tergantung dari bagaimana mereka menilai apa yang kita ucapkan.

Hal yang sama tentu juga berlaku untuk anak-anak kita.

Bagaimana orang lain menilai mereka, adalah dari ucapan-ucapan mereka.

Tetapi jika kita menghubungkannya dengan salah satu judul puisi yang cukup populer yaitu,

“Anakmu mengenalkan siapa dirimu”

maka ini berarti bagaimana orang lain menilai diri kita adalah melalui penilaian mereka terhadap anak-anak kita.

Jika orang lain menganggap anak-anak kita adalah anak-anak yang berperilaku buruk, maka mereka akan menghubung-hubungkan keburukan itu untuk menilai orangtuanya,

yaitu KITA.

Namun ini tidak berarti bahwa tujuan kita mengajari mereka berkata-kata atau berbuat yang baik adalah semata-mata demi “nama baik” kita di tengah-tengah masyarakat,

lebih dari itu adalah bagaimana agar mereka mampu menjadi sosok dengan kepribadian mulia yang bisa diterima di lingkungan yang lebih luas.

Dan pengajaran ini tentu tidak bisa lepas dari faktor kita – sebagai orangtua - yang berperan penting mejadi contoh bagi mereka.

Nah, ketika kita sudah meluruskan niat dalam mendidik buah hati kita dan bersiap untuk menjadi contoh terbaik bagi mereka, maka sejatinya pendidikan karakter ini sudah kita mulai.

Tahapan selanjutnya adalah kita membiasakan diri kita sambil mengajarkan kepada buah hati kita kata-kata positif untuk membangun karakter mereka.

Berikut ini adalah 6 kata penting yang positif yang harus diajarkan dan dibiasakan kepada anak-anak kita.


Mengucap “Assalamu ‘alaikum”


Ucapan salam adalah sapaan yang paling mulia dari model sapaan-sapaan lainnya. Ucapan salam mengajarkan anak untuk mudah mendoakan kebaikan bagi orang lain.

Tidak seperti sapaan-sapaan lain yang mendoakan agar kita tetap hidup, ucapan salam lebih mendoakan kita agar hidup dengan keberkahan.

Di antara manfaat mengucap salam dan kebiasaan menyapa ini adalah menumbuhkan sikap menghargai terhadap sesamanya.

Ketika seorang anak menyapa temannya, lalu temannya membalas dengan senyuman dan sapaan yang hangat, maka anak ini akan merasa “everything is fine”.

Saya tidak ada masalah dengan orang itu. Begitu pun orang itu tidak punya masalah dengan saya. Hal ini berarti saya harus menghindarkan dia dari gangguan saya, begitu juga sebaliknya.

Inilah yang saya maksud dengan tumbuhnya sikap menghargai.

Mengucap “Permisi”


Kata penting berikutnya adalah mengajarkan pada anak untuk membiasakan meminta ijin setiap kali akan meminjam atau menggunakan sesuatu milik orang lain.

Kebiasaan meminta ijin juga harus diajarkan kepada anak setiap kali mereka hendak masuk ke kamar orangtuanya.

Dengan membiasakan anak dengan ucapan ini membuat anak tidak mudah berbuat sesuka hati, misalnya mengambil barang yang bukan miliknya, masuk ke kamar yang bersifat pribadi, dsb.

Kebiasaan ini juga akan bermuara pada tumbuhnya sikap menghargai hak-hak orang lain.

Menjawab “Iya”


Kata yang ketiga ini terlihat sangat sepele. Namun ada pengajaran penting dari kata ini.

Dengan menjawab “iya”, berarti anak telah menyiapkan dirinya – secara psikologis - untuk menerima setiap kali kita berbicara atau meminta sesuatu kepadanya.

Hal ini membuat informasi selanjutnya yang kita berikan kepada anak bisa ditangkap dengan baik.

Dengan penerimaan seperti ini anak akan menghargai setiap kata yang kita ucapkan atau instruksi yang kita berikan.

Meminta tolong, berterimakasih dan meminta maaf


Ketiganya sudah umum dijelaskan oleh banyak penulis dan psikolog anak. Ketiga kata ini cukup jelas untuk merepresentasikan sikap penghargaan terhadap orang lain.

Kebiasaan untuk mengucap “tolong” setiap kita menginginkan sesuatu yang tidak bisa kita lakukan sendiri dan berterima kasih sesudahnya,

mengajarkan anak untuk menghargai setiap bantuan yang telah diberikan.

Begitu pula kebiasaan meminta maaf setiap kali anak melakukan hal yang salah,

mengajari anak untuk bertanggung jawab yang pada akhirnya juga membentuk sikap menghargai terhadap orang lain.

Thursday, July 28, 2016

Bagaimana Cara Mengoreksi Kesalahan Anak Tanpa Ditolak?

Seperti yang sudah disebut di artikel sebelumnya bahwa penyebab seorang anak melakukan kesalahan ada 2 hal.

Pertama, mereka melakukan kesalahan karena ketidak-tahuan mereka.

Kedua, mereka tahu bahwa hal tersebut salah, namun tetap sengaja melakukannya.

Anda bisa membacanya di sini.



Dari kedua sebab ini, para orangtua harus memiliki sikap yang berbeda sehingga koreksi yang kita lakukan bisa tepat sasaran dan efisien.

Berikut ini adalah bagaimana cara kita mengoreksi kesalahan anak-anak karena mereka memang tidak tahu dan bagaimana kita bersikap ketika mereka sengaja melakukan kesalahan tersebut.


1. Mengoreksi kesalahan anak karena mereka memang tidak tahu


Kita tentu paham bahwa masa anak-anak adalah masa-masa berkembang. Mereka banyak belajar dari lingkungan sekitarnya. Apa, siapa dan bagaimana lingkungannya bersikap.

Karena itu wajar jika anak-anak itu melakukan kesalahan.

Yang tidak wajar adalah jika kita sebagai orangtuanya yang melakukan pembiaran.

Kesalahan anak-anak itu wajar. Tapi harus dikoreksi, bukan dipelihara.

Adapun cara mengoreksi kesalahan anak yang seperti ini bisa dilakukan dengan beberapa langkah berikut >>


Menjelaskan alasan kenapa hal tersebut tidak boleh dilakukan


Aturan pertama terhadap anak-anak yang melakukan kesalahan karena ketidak-tahuan mereka adalah memberikan penjelasan kepada mereka.

Ketika kita mengoreksi kesalahan mereka, akan ada pertanyaan di dalam benak mereka, kenapa hal tersebut tidak boleh dilakukan?

Kita bisa menjelaskan dengan dasar hukum negara atau dalil agama, namun tetap dengan menggunakan bahasa mereka.


Menjelaskan akibat dari perbuatannya itu


Ketika buah hati kita dengan seenaknya membuang sampah mainannya ke dalam selokan, mereka mungkin tidak tahu bahwa sampah yang menyumpat di selokan bisa menimbulkan bau yang tidak sedap, menyebabkan banjir, dsb.

Maka dengan memberikan penjelasan akan akibat perbuatan tersebut, anak-anak akan bisa menerima koreksi dari kita.


Menunjukkan contoh yang benar kepada anak


Jika kesalahan berkaitan dengan hal teknis, maka mempraktikkan cara yang benar adalah hal yang harus dilakukan oleh orangtua.

Tentu konyol bila kita hanya menyalahkan si anak tanpa bisa memberikan contoh yang benar.


Solusi alternatif


Salah satu cara agar nasehat dan larangan kita dipatuhi adalah dengan memberikan solusi alternatifnya.

Karena melarang tanpa memberikan solusinya sama seperti kita menutup selokan tanpa mengalirkannya ke tempat lain,

yang suatu saat pasti akan meluber kemana-mana.

Sama seperti ketika agama yang tidak hanya melarang, namun juga memberikan alternatif sebagai solusinya.

Islam melarang riba, namun membolehkan jual-beli. Islam melarang zina, namun memiliki solusi berupa nikah. Seorang muslim dilarang meninggalkan sholat, sehingga agama memberikan alternati-alternatifnya.

Dan banyak contoh lainnya.



2. Mengoreksi kesalahan anak yang sengaja melakukan kesalahan


Bisa jadi anak-anak yang melakukan kesalahan dengan sengaja ini hanya mencari perhatian dari orang-orang terdekatnya saja. Mereka mencari cara agar diperhatikan dan direspon.

Tapi bisa juga memang telah tumbuh jiwa pemberontak di dalam hati mereka karena pengaruh lingkungan.

Beberapa aturan di bawah ini bisa kita lakukan untuk menghadapi anak-anak yang melakukan kesalahan karena unsur kesengajaan.


Bersikap tenang


Beberapa anak memang sengaja membuat kesalahan demi memancing reaksi kita terhadap mereka. Mereka akan merasa puas ketika melihat kita menunjukkan respon panik atau marah.

Menghadapi anak-anak seperti ini, kita harus menunjukkan bahwa kita tidak bisa terpancing oleh ulah mereka.

Anda mungkin juga perlu membaca Cara Tepat Mengatasi Anak yang Marah di Tempat Umum.

Tetap tenang bisa diartikan dengan tidak langsung menghardik atau mencerca mereka.


Menampakkan rasa tidak suka dengan perbuatannya itu


Ketika Nabi yang biasanya murah senyum dan gemar menyapa melihat kesalahan yang dilakukan dengan kesengajaan, maka Nabi akan memalingkan muka dan menghilangkan raut senyum itu dari wajah beliau.

Dan dengan respon ini maka tahapan untuk mengoreksi kesalahan sebenarnya sudah dimulai.


Berdialog dan berdiskusi dengannya


Ketika seorang anak berusaha memancing perhatian kita dengan melakukan hal-hal yang tidak kita suka, maka kita tidak akan bisa mengoreksi kesalahan tersebut jika mereka belum merasa diperhatikan.

Maka duduk bersama mereka, berdialog atau berdiskusi adalah cara untuk memberikan perhatian kepada mereka.

Kita bisa mulai menanyakan kenapa mereka melakukan hal itu padahal mereka tahu kalau hal tersebut salah?

Atau kita bisa menanyakan apa yang menjadi keinginan mereka, sehingga memungkinkan untuk dilakukan negosiasi. Kita juga harus paham bahwa anak-anak itu juga memiliki hak terhadap diri kita.


Menakut-nakuti dengan dampak yang akan terjadi


Memberi nasehat dengan cara menakut-nakuti secara terus-menerus adalah salah satu cara untuk mengoreksi kesalahan yang dilakukan dengan sengaja.

Kesalahan yang dilakukan dengan sengaja membuktikan kurangnya ketakutan mereka atau ketidak-tahuan mereka terhadap dampak atau hukuman yang akan menjadi konsekuensi dari perbuatan tersebut.

Maka tugas kita adalah memberikan gambaran tentang akibat yang mungkin terjadi pada diri si anak atas perbuatan yang telah ia lakukan.

Dengan pengulangan secara intens, diharapkan gambaran tersebut akan tertanam kuat di dalam benak si anak yang menyebabkan mereka mulai mengontrol perilaku mereka.


Karena Anda sudah membaca artikel ini sampai selesai,
apakah Anda juga berminat membaginya dengan teman-teman Anda?

Wednesday, July 27, 2016

7 Aturan Dasar Mengoreksi Kesalahan Anak Dengan Tepat


Saat kita berbicara tentang memuji anak, kita belajar bahwa ada beberapa aturan penting yang harus diketahui setiap orangtua sebelum memuji buah hati mereka.

Anda bisa membacanya di sini.

Dan sama halnya dengan pujian, mengoreksi kesalahan anak juga memiliki aturan-aturan penting yang harus diketahui oleh para orangtua agar koreksi tersebut dapat diterima dengan senang hati oleh anak,

sehingga tujuan jangka panjang untuk membangun karakter mereka bisa tercapai.

Baca juga Kritik yang Membangun itu Tidak Ada!

Sedikit catatan untuk artikel selanjutnya >>

Sebelum kita mengoreksi kesalahan anak, terlebih dahulu kita harus memahami apa sebab anak tersebut melakukan kesalahan.

Secara teori, ada 2 sebab dasar kenapa seorang anak melakukan kesalahan.

Pertama, anak-anak yang melakukan kesalahan karena ketidak-tahuan mereka.

Dan kedua, anak-anak yang melakukan kesalahan karena ada unsur kesengajaan.

Karena adanya kemungkinan sebab yang berbeda itulah, maka kita tidak bisa meng-“gebyah-uyah” atau menggeneralisir cara kita mengoreksi kesalahan anak yang satu dengan anak yang lainnya.

Namun jika kita bisa mengetahui penyebab dasar kenapa mereka melakukan kesalahan, maka kita bisa mengoreksi kesalahan tersebut dengan cara yang tepat.


Pada kesempatan ini akan dijelaskan terlebih dahulu 7 aturan dasar cara mengoreksi kesalahan anak secara umum tanpa membedakan sebab-sebabnya.


1. Segera mengoreksinya tanpa menunggu nanti

 

Respon yang cepat akan jauh lebih diingat daripada jika sudah berselang agak lama.

Dengan koreksi yang segera, anak akan merasa bahwa apa yang dilakukannya adalah sesuatu yang sangat penting (atau sangat salah) sehingga orangtuanya langsung menegurnya seketika itu juga.


2. Mengoreksi dengan dasar kasih sayang dan sikap yang santun


Mengoreksi atau meluruskan kesalahan pada anak haruslah dilakukan dengan sikap yang santun dan atas dasar kasih sayang. Bukan karena kita benci dan ingin memarahi mereka, akan tetapi karena kita ingin mereka menjadi seorang anak dengan kepribadian yang baik.

Ketika kita meluruskan kesalahan seorang anak dengan bahasa yang kasar, maka akan timbul sakit hati dan kebenciannya terhadap kita. kalau sudah begitu, nasehat sebaik apapun yang keluar dari mulut kita tidak akan pernah sampai ke dalam hati mereka.


3. Tidak mengoreksi kesalahan mereka di depan umum


Sama halnya dengan memuji, mengoreksi kesalahan juga pantang untuk dilakukan di depan umum.

Hanya bedanya,

jika memuji di depan umum yang kita khawatirkan adalah munculnya perasaan sombong di hati mereka, maka mengoreksi kesalahan yang kita lakukan di depan khalayak berpotensi untuk membuat anak malu dan merasa tidak dihargai.

Sama seperti aturan dasar sebelumnya, perasaan ini juga bisa membuat kata-kata kita menjadi tidak bermakna bagi mereka.


4. Menggunakan sapaan langsung


Penyebutan nama secara langsung bisa membuat mereka merasa bahwa apa yang akan diucapkan oleh orangtua mereka adalah sesuatu yang penting sehingga mereka berusaha fokus untuk mendengarkannya.


5. Dilakukan oleh seluruh anggota keluarga


Para anggota keluarga yang lebih senior harus memiliki tujuan yang sama di dalam mendidik anggota keluarga mereka.


Misalnya, ayah mengoreksi kesalahan si anak dan berusaha menjelaskan alasannya. Namun si ibu justru membela si anak dengan mengatakan, “Sudahlah tidak apa-apa, namanya juga masih kecil.”

Dengan cara seperti ini, anak akan merasa melakukan kesalahan tidak apa-apa karena masih kecil. Tapi selanjutnya pemikiran ini akan terus terbawa hingga mereka dewasa.


6. Doakan anak


Sebagai seorang yang beragama, kita yakin bahwa tuhan memiliki kuasa penuh atas makhluk-makhlukNya.

Maka libatkanlah Dia di dalam semua urusan. Termasuk juga ketika mendidik buah hati kita.


7. Tidak langsung memvonis


Saat si kecil melakukan sesuatu yang menurut kita keliru, maka sebelum mengambil tindakan lebih lanjut sangat penting untuk mengetahui kenapa mereka melakukan hal tersebut.


Karena bisa saja mereka bermaksud melakukan hal yang benar namun kita menggunakan sudut pandang yang keliru.

Misalnya kita melihat si kecil menyimpan bungkus makanan yang sudah kotor ke dalam saku celananya. Mungkin kita akan langsung memarahinya.

Tapi bagaimana jika mereka melakukan hal itu karena bermaksud membuangnya di tempat sampah yang kebetulan agak jauh dari tempat itu?

Jika di awal tadi saya menyebut agar kita merespon dengan cepat kesalahan si kecil, maka yang kita maksud dengan hal itu adalah respon cepat yang tidak gegabah.


***

Nah, pada artikel selanjutnya kita akan mengoreksi kesalahan anak berdasarkan sebabnya.

Apakah mereka melakukan hal itu karena memang benar-benar tidak tahu?

Ataukah sebenarnya mereka tahu namun tetap sengaja melakukannya?

Perbedaan sebab dasar ini tentunya harus disikapi dengan cara yang berbeda pula.


Karena Anda sudah membaca artikel ini sampai selesai,
apakah Anda juga berminat membaginya dengan teman-teman Anda?

Tuesday, July 26, 2016

Pelajari 7 Aturan Penting Ini Sebelum Memuji Anak


Di antara dasar-dasar cara mendidik anak adalah,

mengingatkan ketika mereka melakukan kesalahan, dan

mengapresiasi ketika mereka melakukan sesuatu yang baik.

Namun mengingatkan si kecil akan kesalahan mereka dan memuji akan karena kebaikan mereka haruslah dilakukan cara dengan tepat.

Karena tujuan sebenarnya dari ‘mengingatkan’ dan ‘memuji’ bukan hanya untuk saat itu saja. Akan tetapi ada tujuan jangka panjang yaitu untuk membentuk karakter mereka.

Misalnya kita mengingatkan si kecil yang membuang sampah sembarangan...

Jika tujuan jangka pendek yang kita inginkan, maka ketika si kecil sudah meralat kesalahannya dengan mengambil sampah tadi dan membuangnya ke tempat sampah,

maka tugas kita sudah selesai.

Tapi yang kita inginkan tidak hanya itu.


Kita berharap agar sikap “tidak membuang sampah sembarangan” itu melekat menjadi karakter pribadinya. Sehingga meskipun kita tidak sedang bersama mereka, atau meskipun tidak ada tempat sampah saat itu,

mereka pantang untuk membuang sampah sembarangan.

Nah, jika memang yang terakhir ini yang menjadi harapan kita, maka di dalam proses ‘mengingatkan’ dan ‘memuji’ anak ada aturan-aturan penting yang harus dilakukan.


Berikut ini ada 7 aturan penting yang harus dilakukan oleh orangtua ketika memuji buah hati mereka.


1. Memuji secara langsung, tanpa menunda


Ketika anak-anak melakukan suatu kebaikan, seringkali hal tersebut adalah karena dorongan naluri saja. Mereka tidak benar-benar tahu bahwa hal tersebut adalah hal yang baik.

Karena itu ketika kita menunda untuk mengapresiasinya, jangan-jangan pada saat itu anak sudah lupa dengan apa yang tadi dilakukannya. Saat kita kemudian memujinya, si anak mungkin akan bertanya-tanya,

“(Perbuatan) yang mana ya?”

Berbeda dengan pujian yang dilakukan secara spontan.

Anak akan langsung tahu bahwa apa yang barusan dilakukannya adalah sesuatu yang baik sehingga kita berharap mereka akan melakukannya lagi di kesempatan yang lain.

Namun ada sedikit catatan di sini.

Meski kita harus memuji anak secara spontan, penting untuk tidak melakukannya di depan umum.

Beberapa pengamat parenting mengkhawatirkan dengan seringnya anak dipuji di depan umum akan melahirkan perasaan sombong pada diri si anak.

Ini tentunya hal yang tidak kita inginkan.


2. Pujian yang spesifik jauh lebih berkesan


Spesifik bisa berarti kita menyebut langsung nama anak yang berbuat baik. Aturan ini berlaku jika di tempat tersebut ada banyak anak.

Penyebutan nama secara pribadi menimbulkan kesan yang lebih dalam pada diri si anak.

Spesifik juga bisa dalam arti penjelasan detil dari apa yang telah dilakukan oleh si anak. Misalnya,

“Wah, terima kasih ya kakak sudah mau melipat bajunya sendiri...”

Kalimat pujian yang spesifik menyebabkan akan lebih paham apa yang harus dilakukannya.


3. Lengkapi dengan saran-koreksi


Aturan penting ketiga adalah menyisipkan koreksi pada pujian tersebut. Sama seperti aturan no. 1 di atas, koreksi ini bertujuan agar anak tidak terbawa suasana bangga yang berlebihan.

“Gambarnya ini baguss banget... Tapi bagian yang ini kayaknya kekecilan deh...”

“Hm, atau... coba kalau ini begini kayaknya lebih keren ya?”


4. Memuji itu tanpa pamrih


Beberapa perilaku salah dari orangtua ketika memuji anak-anak mereka adalah, mereka memuji karena ada “tujuan lain” setelah itu. Misalnya, minta diambilkan sesuatu.

“Aduhh, adek rajin banget deh. Tolong ambilin kunci motor di kamar dong,”

Ketika hal ini terjadi, anak akan menyadari bahwa dirinya sedang dimanfaatkan. Agar tak lagi dimanfaatkan, si anak akan berpikir tidak usah jadi rajin lagi.


5. Memuji tanpa menimbulkan benci


Prinsip dasar dari pujian adalah ketulusan.

Ketika kita memuji si kakak, misalnya, adalah karena memang kita mengapresiasi perbuatan si kakak. Bukan karena menyindir adiknya karena tidak mau melakukan hal tersebut.

“Kakak pinter deh, mau membantu Ibu. Tidak seperti adik...”

Kalimat pujian yang seperti ini akan membawa 2 dampak:

Kakak yang akan meremehkan adiknya, atau

adik yang akan menjadi benci terhadap kakaknya.

Dan keduanya adalah dampak yang buruk.


6. Menjelaskan manfaat yang diterima


Saat si kecil melakukan sesuatu yang patut mendapat apresiasi kita, kita bisa membuat pujian tersebut menjadi lebih berkesan dengan cara menjelaskan manfaat yang didapatkan oleh si kecil.

Misalnya ketika si kecil sudah bisa menjawab soal pelajarannya sendiri, kita bisa menggunakan kalimat seperti ini,

“Gimana, enak ya kalau bisa menjawab soal sendiri? Sudah tidak perlu mencontek teman lagi, kan?”


7. Kita tidak memuji hasilnya, tapi mengapresiasi usahanya.


Bahwa jika kita memuji anak hanya karena prestasi atau hasil yang telah dicapainya, anak bisa jadi termotivasi untuk melakukan cara-cara yang tidak benar,

hanya demi hasil atau prestasi yang membanggakan orangtuanya itu.

Atau,

ketika si anak tidak berhasil meraih hasil itu, ia akan merasa bersalah, merasa menjadi anak yang bdoh atau tidak berguna. Padahal ia mungkin telah berusaha cukup keras demi hal tersebut.

Tapi kita tidak menginginkan hal itu. Kita berharap agar anak-anak kita tidak mudah menyerah dan putus asa untuk mencapai sesuatu.

Ketika seorang anak dipuji karena usahanya, maka ia akan merasa lebih dihargai. Dan ia akan merasa semakin kuat untuk berusaha lagi.

“Ayah bangga nih sama kakak karena lebih memilih belajar daripada main game...”

Meski kemudian si anak gagal dalam menjadi juara kelas, ia akan tetap bersemangat di dalam belajarnya.

Karena ia tahu bahwa orangtuanya tidak mempermasalahkan ia berhasil menjadi juara kelas atau tidak.


Karena Anda sudah membaca artikel ini sampai selesai,
apakah Anda juga berminat membaginya dengan teman-teman Anda?

Monday, July 25, 2016

Lakukan 2 Hal Penting Ini untuk Membangun Karakter Buah Hati Anda

Di dalam proses pendidikan anak, yang terjadi sebenarnya adalah kita sedang mempersiapkan mereka untuk menghadapi situasi-situasi di masa yang akan datang.

Dengan kata lain,

pendidikan adalah warisan yang sangat penting dari kita yang akan kita bangun semenjak mereka masih kecil.


Prof. Thomas Lickona - yang disebut-sebut sebagai Bapak Pendidikan Dunia - mengatakan bahwa pendidikan yang benar seharusnya memiliki 2 tujuan.

Yaitu membuat orang menjadi pintar,

dan membuat orang menjadi baik.

Karena itulah beliau menambahkan 2 lagi pilar pendidikan (dari yang sebelumnya hanya 3 pilar)sehingga menjadi 5 pilar, yaitu:

Reading (membaca)

Writing (menulis)

Arithmatic (berhitung)

Respect (hormat)

Responsibility (tanggung jawab)

Tiga pilar yang pertama bertujuan untuk membentuk seseorang menjadi pintar, atau yang kemudian kita menamakannya dengan pendidikan akademis,

sedangkan 2 yang terakhir membentuk seseorang menjadi baik, atau yang umum disebut sebagai pendidikan karakter.

Namun apa arti sesungguhnya dari pendidikan karakter itu sendiri?

“Pendidikan karakter adalah usaha untuk menjadikan seseorang mengerti dan peduli serta berbuat sesuai dengan nilai-nilai etika.”
(David Elkind dan Freddy Sweet Ph.D, 2004)

Jadi ‘pendidikan karakter’sebenarnya memiliki makna yang sama dengan apa yang dulu kita sebut dengan pendidikan moral atau pendidikan akhlak.

Dan menurut saya, pendidikan karakter ini harus lebih diutamakan daripada pendidikan akademis karena tujuan pendidikan karakter yang – sebut saja – lebih mulia daripada pendidikan akademis.

Saya tidak mengatakan kalau pendidikan akademis itu buruk atau tidak penting. Idealnya justru keduanya harus seiring.

Namun kalau harus memilih salah satunya, maka sebagai orangtua seharusnya kita mulai fokus untuk membangun karakter anak-anak kita daripada membesarkan nilai-nilai akademis mereka.


Kenapa pendidikan karakter itu penting?

Seorang pemuda yang bernama Muhammad bin Abdullah bin Abdul Mutthalib yang sama sekali tidak memiliki ketiga pilar pendidikan yang pertama,

tidak bisa membaca, menulis dan berhitung,

namun justru memiliki tempat yang mulia di kalangan suku Arab pada waktu itu.

Hal ini karena beliau memiliki sikap amanah (baca: responsible) sebagai dasar pendidikan karakter.

Aliyah binti Syarik Al-Azdiyah, ibunda (Imam) Malik bin Anas rahimakumullah, ketika mengantarkan putranya untuk belajar ilmu agama selalu berpesan begini,

“Anakku, datanglah ke majelisnya Rabi’ah. Pelajari akhlaknya sebelum engkau mempelajari fiqih darinya.”

Artinya, belajarlah tentang pendidikan karakter terlebih dahulu sebelum mempelajari pendidikan akademis.

Kita punya statistik sebagai berikut:

korupsi, kpk, pendidikan karakter

Meski tidak signifikan, jumlah kasus yang sampai pada tahap penuntutan - pelan tapi pasti - cenderung mengalami kenaikan.

Banyaknya kasus-kasus korupsi,yang jelas-jelas dilakukan oleh mereka yang memiliki nilai akademis tinggi,

diakui atau tidak, disebabkan oleh krisis moral yang itu adalah buah dari gagalnya pendidikan karakter kita.

Inilah yang tadi saya maksudkan bahwa pendidikan karakter memiliki urgensi yang tinggi daripada pendidikan akademis.


Lalu bagaimana cara kita membangun karakter anak-anak?

Karena demikian pentingnya pendidikan karakter tersebut, maka adalah hal yang wajib dilakukan adalah mulai starting membangun karakter buah hati,

sedini mungkin.

Setidaknya ada 2 hal penting yang bisa dilakukan oleh para orangtua untuk memulai pembentukan karakter anak-anak mereka.


Satu: dengan DOA

Tahukah Anda bahwa perawi hadits paling terkenal, Imam Al-Bukhori rahimakumullah, mengalami kebutaan semenjak kecil?

Namun karena kekuatan doa dari sang ibunda, maka Allah memberikan karuniaNya berupa penglihatan fisik dan penglihatan batin (yaitu ketelitian) di dalam meriwayatkan hadits-hadits Nabi.

Bukankah selain musafir dan orang yang terdhalimi, doa orangtua untuk anaknya adalah doa yang didengar oleh Allah?

Maka meski kelihatannya sepele, tapi doa adalah kekuatan utama seorang Muslim.


Dua: kedekatan dengan Ayah

Penelitian Dr. Kyle Pruett, seorang profesor dan penulis buku tentang parenting menyatakan bahwa seorang anak yang memiliki kedekatan dengan sang ayah lebih berdampak positif daripada yang tidak.

Anak-anak yang memiliki interaksi yang kuat dengan pihak ayah cenderung memiliki emosi yang stabil, sosialisasi yang bagus, percaya diri dan semangat untuk mengembangkan potensi dirinya.

Namun karena ayah adalah sosok yang “jarang” berada di rumah, tentunya kedekatan ini agak susah untuk direalisasikan.

Nah, agar buah hati bisa memiliki interaksi yang kuat dengan sang ayah,

beberapa hal di bawah ini bisa dicoba untuk dilakukan.

1. Pelukan hangat


Kita tahu bahwa sebuah pelukan bisa menghangatkan perasaan. Begitu juga pelukan seorang ayah kepada anaknya.

Sebagai seorang ayah, sering-seringlah memeluk buah hati kita dengan pelukan sayang. Kegiatan ini seperti mentransfer perasaan kuat sang ayah ke anak.

2. Mengajaknya bermain


Bermain bersama di hari libur adalah salah satu cara yang dipercaya bisa mendekatkan emosi sang ayah dengan anak.

Permainan yang berhubungan dengan kerjasama dan strategi biasanya lebih menstimulus kedekatan ini.

3. Bicara, beri saran atau dukungan


Seperti yang sudah pernah dijelaskan pada artikel 7 Cara Berkomunikasi dengan Anak,

komunikasi adalah hal yang sangat penting di dalam proses membangun karakter anak.

Selain bertanya tentang keadaan anak atau cerita di sekolahnya, memberi anak masukan dan dukungan atas apa yang dilakukannya menjadikan anak merasa dihargai dan disayangi.

4. Teladan yang baik


Ketika kita siap menerima anugerah berupa kelahiran buah hati kita, maka itu berarti kita telah siap menjadi contoh dan panutan untuk mereka.

Setidaknya ada upaya ke arah sana.

Sebab bagaimana mereka bisa menerima saran kita jika kita bukanlah orang yang mereka hormati?

Kita memang tidak perlu harus menjadi sempurna dalam segala hal. Cukuplah bahwa nilai-nilai etika yang kita ajarkan kepada mereka, kita juga melakukannya.

Selain cara-cara di atas, ada hal-hal yang memang perlu untuk ditanamkan sejak dini pada diri anak-anak kita. Silahkan baca 3 yang harus ditanamkan sejak anak masih kecil




Karena Anda sudah membaca artikel ini sampai selesai,
apakah Anda juga berminat membaginya dengan teman-teman Anda?

Saturday, July 23, 2016

3 Macam Cara Orangtua Mendoakan Keburukan untuk Anaknya

Jika saya bertanya,

“Adakah orangtua yang suka mendoakan keburukan untuk buah hati mereka?”

Jika anda menjawab tidak ada,

maka berarti kita punya jawaban yang berbeda.

Karena berdasarkan kebiasaan yang terjadi di lapangan, masih banyak orangtua yang suka mendoakan hal-hal buruk untuk putra-putri mereka, baik secara sadar ataupun tidak.

Mendoakan keburukan tidak selalu dengan menengadahkan tangan setiap selesai sholat.

Mendoakan keburukan juga tidak selalu harus dengan kalimat-kalimat yang menghujat dan penuh penekanan.

Tapi mendoakan keburukan bisa berupa atau “kekhawatiran” akan terjadinya sesuatu hal yang buruk.

Saya telah mencoba mengklasifikasi kebiasaan salah dari para orangtua ini – yaitu mendoakan keburukan untuk anak-anak mereka - ke dalam 3 macam cara.


1. Peringatan bahaya


Tanpa disadari, biasanya orangtua justru mendoakan keburukan ketika buah hati mereka – katakanlah – di ambang bahaya.

Biasanya hal ini terjadi ketika orangtua hendak melarang sesuatu yang mungkin membahayakan diri si anak, namun orangtua lebih memilih metode instan dengan cara melarang langsung plus dibumbui dengan ancaman bahaya.

Satu contoh misalnya ketika anak sedang bermain dan berlari-lari ke sana kemari. Si ibu yang mengkhawatirkan si anak terjatuh lantas mengingatkan,

"Sudah, adek jangan lari. Nanti jatuh!”

Nahhh, sebagaimana yang difatwakan oleh Wali Band bahwa “setiap kata adalah doa”, maka peringatan “nanti jatuh” bisa menjadi doa buat si anak.

Dan yang lebih parahnya lagi si ibu juga membenarkan bahwa itu doanya.

Terbukti ketika si anak benar-benar jatuh, si ibu langsung berkata,

“Tuh, benar kan kata Ibu... kejadian akhirnya...”

Maka siapapun kita berhati-hatilah saat kita berbicara, terutama kepada buah hati kita.

Jika harus melarang, laranglah dengan menunjukkan akibat yang mungkin timbul jika si anak tetap melakukan hal tersebut.

Atau, si ibu bisa berjongkok sambil memegang tangan si kecil dan menatap mata polosnya. Lalu dengan bahasa yang lembut ia mengatakan,

“Ibu suka kalau adek main dengan senang. Tapi kalau adek terus berlari seperti tadi kan bisa capek. Kalau capek gak bisa ikut ibu ke pasar dong?”

anak sedih, julukan yang buruk

2. Julukan yang tidak disukai


Setiap orangtua biasanya punya nama julukan yang lucu dan unik untuk memanggil putra-putri mereka.

Tapi pernahkah kita menanyakan kepada mereka apakah mereka senang dengan julukan yang diberikan?

Jika mereka tidak menyukainya,

maka segeralah minta maaf dan hentikan memanggil mereka dengan julukan tersebut.

Julukan yang tidak mereka sukai mungkin saja akan menyakiti perasaan mereka, apalagi jika kita memanggil mereka di depan teman-temannya.

Lalu teman-temannya juga akan ikut memanggil dengan sebutan tersebut.

Anak yang tumbuh dengan perasaan sakit dan malu akan sangat mempengaruhi perkembangan mereka.

Dulu kami punya panggilan kesayangan untuk putra kedua kami. Kami selalu memanggilnya “Gembul” karena gemas melihat pipinya yang chubby, yang kalau ia berlari tampak bergoyang-goyang.

Namun sejak ia bisa mengutarakan pendapatnya, yaitu saat usianya menginjak 4 tahun,

kami sepakat untuk menghentikan panggilan itu karena ia mengatakan kalau ia tak suka dipanggil dengan sebutan itu.


3. Label yang merusak


Label adalah sebuah media yang menempel pada suatu produk yang biasanya berisi keterangan atau penjelasan tentang produk tersebut.

Maka jika kita ingin mengetahui informasi tentang suatu produk, tanpa perlu membuka kemasannya, kita bisa mengetahuinya dari label yang tertera.

Dengan kata lain, apa yang disebut di label sama dengan apa yang ada di dalam kemasan.

Ketika kita menyebut buah hati kita dengan misalnya,

“Dasar anak bodoh! Soal begini saja tidak bisa...”

“Aduh, kamu kok nakal sih!”

Adalah label-label yang kita sematkan pada diri si anak.

Anak akan merasa dirinya memang bodoh. Belajar sebanyak apapun juga percuma. Belajar menjadi tidak ada gunanya.

Atau ia merasa percuma untuk berlaku baik. Toh, berbuat sebaik apapun orangtuanya sudah menyebut dirinya nakal. Jadi ya berbuat nakal saja sekalian.

Maka yang terjadi kemudian adalah si anak mulai “menyesuaikan” diri dengan label yang didapatnya.

marah, anak marah, berteriak

Kesimpulan dari poin ini,

Sebagai orangtua kita harus pandai menjaga mood kita dalam mendidik buah hati kita. Jangan sampai terjebak pada emosi berlebihan,

yang biasanya hal inilah yang memicu kita mengucapkan kata-kata buruk kepada anak.

Jadi ungkapan mulia, “Berkatalah yang baik, atau diam” memang begitulah seharusnya.


Karena Anda sudah membaca artikel ini sampai selesai,
apakah Anda juga berminat membaginya dengan teman-teman Anda?

Thursday, July 21, 2016

9 Alasan Kenapa Nasehat Orangtua Tidak Didengar Anak

Seringkali para orangtua yang saya jumpai mengeluhkan anak-anak mereka yang susah sekali diberi nasehat.

“Aduhh, kok susah bener ya menasehati si adek...”

Ucapan-ucapan mereka menandakan seolah-olah mereka telah menyerah dan putus asa karena aturan-aturan yang telah mereka buat dengan mudahnya dilanggar oleh si anak.


Apanya yang salah?

Nasehatnya kah,

orangtuanya kah,

atau memang anak-anak mereka yang tipikal pemberontak?

Pertama,

yang harus diyakini sejak awal adalah bahwa sebenarnya tidak ada anak yang terlahir dengan tabiat buruk. Mereka hanya harus diajari tentang mana baik-mana buruk.

Kedua,

nasehat atau larangan orangtua kemungkinan besar adalah untuk sesuatu yang baik.

Maka dari itu,

karena tidak mungkin kedua poin pertama yang salah, maka tinggal perilaku atau cara orangtua di dalam melarang-lah yang perlu dipertanyakan.

Jika anak-anak kita termasuk anak-anak yang susah diberi nasehat, dilarang atau sulit mengikuti peraturan yang telah kita buat,

segeralah meng-evaluasi diri, jangan-jangan kita telah melakukan ke-9 hal ini:

1. Penggunaan istilah yang absurd


Kita berencana mengajak buah hati kita berkunjung ke rumah saudara. Untuk mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan, sebelum berangkat kita berpesan kepadanya,

“Nak, nanti di sana tidak boleh nakal, ya!”

atau, “Ingat ya, di rumah saudara jangan bikin malu ayah dan ibu...”

Atau ketika kita akan pergi berbelanja dengan si kecil, kita pun tak lupa menasehati mereka,

“Nanti tidak boleh macam-macam lho ya...”


Nah, penggunaan istilah “tidak boleh nakal”, “jangan bikin malu” atau “tidak boleh macam-macam” adalah istilah-istilah yang tidak akan dimengerti oleh anak-anak.

Sesampainya di tempat tujuan, anak-anak akan tetap melakukan kebiasaan atau aktifitas yang biasa dilakukannya di rumah. Berlarian kah, naik ke atas meja kah, loncat-loncat di sofa kah, dsb.

Orangtua menganggap si anak telah melanggar peraturan dan tidak menuruti perintahnya.

Padahal yang sedang terjadi adalah anak-anak tidak memahami apa yang tadinya dipesankan kepadanya.

Anda mungkin perlu membaca terlebih dahulu 6 Aturan Penting yang Diabaikan saat Membuat Kesepakatan dengan Anak.

Lalu apa yang seharusnya kita lakukan?

Pakailah bahasa anak-anak.

Gunakan kalimat yang jelas dan spesifik, misalnya,
Nanti kalau sudah di rumahnya Tante, adek tidak boleh loncat-loncat di sofa dan teriak-teriak ya,”

Dengan penggunaan kalimat yang spesifik, anak menjadi paham mana yang dilarang oleh orangtuanya dan mana yang diperbolehkan.


2. Orangtua melanggar nasehatnya sendiri


Sebagai manusia biasa, para orangtua juga tidak luput dari kondisi emosi yang naik-turun.

Dalam kondisi goodmood, kita bisa menerapkan nasehat-nasehat kita sebagai kebiasaan sehari-hari. Namun ada saat dimana kita lepas kontrol yang menyebabkan kita dengan mudah melanggar apa yang sudah kita pesankan kepada anak kita.

Sebagai contoh, kita menasehati anak agar selalu menghormati orang lain. Namun suatu ketika, karena marah, kita membentak atau menghardik anggota keluarga yang lain.

Di sini anak akan belajar bahwa nasehat itu boleh dilanggar.

Jadi jangan buru-buru menyalahkan anak yang tidak mau mendengar nasehat kita. Evalusi ke dalam diri sendiri barangkali kita pernah mencontohkan hal-hal yang sebaliknya.

Apa yang harus kita lakukan ketika hal tersebut terjadi?

Segeralah meminta maaf. Akuilah bahwa kita telah melanggar nasehat kita sendiri dan tunjukkanlah bahwa kita menyesal karena hal tersebut.


3. Tidak konsisten


Salah satu alasan kenapa nasehat kita tidak didengar oleh anak adalah ketidak-konsistenan kita di dalam memberikan teladan.

Kita meminta anak untuk selalu membuang sampah pada tempatnya. Namun saat kita berada di suatu tempat yang tidak menyediakan tempat sampah, kita dengan seenaknya membuang sampah dengan sembarangan,

dengan dalih tidak ada tempat sampah.


Di sini anak akan mengingat bahwa boleh membuang sampah sembarangan ketika kita tidak melihat adanya tempat sampah.

Pada konteks yang lebih umum, artinya boleh-boleh saja melakukan hal yang salah ketika keadaan mengijinkan.

Hal ini tentu saja berbahaya.

Jadi harus bagaimana kita bertindak?

Agar sebuah nasehat tertancap kuat pada benak si anak, konsisten adalah kata kuncinya.

Pada contoh di atas, di saat kita tidak menemukan tempat sampah maka minta anak untuk menyimpannya di saku atau kantong tas mereka.

Nanti ketika sudah menemukan tempat sampah barulah minta mereka untuk membuangnya.


4. Larangan setengah hati


Larangan yang setengah hati biasanya lahir dari orangtua yang masih bimbang

apakah mereka harus melarang atau tidak. Ungkapan yang sering muncul misalnya,

“Adik ndak usah ikut aja ya?”

Pada larangan ini seolah-olah kita membolehkan anak-anak untuk menawar.

Jadi jika harus melarang, laranglah dengan tegas namun dengan bahasa yang lembut. Bila harus, beri penjelasan yang melegakan si anak. Misalnya,

“Adik kali ini tidak boleh ikut karena (bla bla bla). Tapi kalau besok ayah ke sana lagi, kakak boleh ikut.”


5. Ada respon hanya ketika anak melakukan kesalahan


Bagaimanapun seorang anak juga membutuhkan kasih sayang dari orangtuanya.


Melarang mereka ketika akan melakukan kesalahan adalah hal yang harus dilakukan.

Namun mengapresiasi mereka,

ketika mereka melakukan hal yang baik juga harus diterapkan.

Berilah pujian atau pelukan sayang untuk menunjukkan bahwa kita menyukai apa yang telah mereka lakukan.

Dengan begitu mereka akan menerima nasehat ketika berbuat salah, karena mereka merasa dihargai ketika berbuat baik.


6. Sanksi tidak seketika


Sanksi atau hukuman adalah komponen yang harus ada pada setiap peraturan. Tanpa adanya sanksi, sebuah peraturan tidak akan mempunyai kekuatan.

Ketika sebuah larangan tidak mengandung hukuman yang seketika, larangan tersebut juga rawan untuk dilanggar.

Ketika mereka melanggar aturan yang sudah disepakati, lalu tidak ada sanksi yang berlaku (mungkin karena kita merasa kasihan atau hal yang lain),

maka anak akan menganggap bahwa peraturan orangtuanya hanya “omong doang”. Dan ini memicu anak untuk melanggar lagi, dan lagi.

Jadi, jika kita sudah menjanjikan hukuman atas suatu pelanggaran, maka tanpa perlu menunda lagi segeralah laksanakan sanksi atau hukuman tersebut.


7. Menghukum secara fisik


Poin ini jelas memiliki keterkaitan dengan poin sebelumnya.

Menghukum anak dengan hukuman fisik sangat tidak disarankan. Selain karena bisa melukai fisik mereka, juga akan melukai harga diri mereka.

Jika mereka sudah merasa tersakiti secara mental, maka nasehat sebaik apapun akan “masuk dari telinga kanan dan keluar dari telinga kanan juga” (ini istilah yang saya gunakan untuk menunjukkan bahwa pesan kita sama sekali tidak akan mau mereka terima).

Silahkan baca Ternyata Disiplin Juga Bisa Merusak Anak.

Jadi gunakanlah hukuman yang tidak berhubungan dengan fisik mereka. Selalu terapkan hukuman yang bersifat mendidik dan membangun.


8. Salah satu selalu disalahkan


Ini adalah kebiasaan orangtua yang memiliki 2 orang anak atau lebih, dimana ketika terjadi perselisihan di antara mereka,

selalu yang lebih tua yang disalahkan.

“Kamu ini kan kakaknya! Mestinya ngalah dong...”

Akibat selalu menjadi pihak yang disalahkan, benih-benih pemberontakan dari sang kakak mulai tumbuh.

Kebencian terhadap adiknya mulai terpupuk.

Di lain pihak, si adik yang selalu dibela pada akhinya menjadi tokoh yang selalu merasa benar sendiri.

Sehingga semakin keduanya dilarang bertengkar, justru semakin sering pertengkaran terjadi.

Maka ajarilah anak-anak untuk memahami mana perbuatan benar dan mana perilaku salah. Ingat bahwa benar dan salah tidak mengenal usia tua atau muda.

Bagi orangtua berlakulah adil. Pelajari kejadian sebenarnya sebelum kita mengetuk palu keputusan.


9. Terlalu banyak larangan


Faktor yang terakhir ini umumnya lahir dari para orangtua yang mempunyai karakter perfeksionis.

Mereka ingin anak-anak mereka menjadi anak-anak yang sempurna. Padahal tidak ada seorangpun yang sempurna. Bahkan si orangtua sendiri.


Jangan membebankan semua larangan pada anak-anak dalam satu waktu. Akan tetapi lakukanlah secara bertahap.

Anak-anak itu butuh waktu untuk memahami, mencerna dan untuk mengaplikasikannya.

Bukankah Al-Qur’an yang sempurna juga diturunkan secara bertahap?


Karena Anda sudah membaca artikel ini sampai selesai,
apakah Anda juga berminat membaginya dengan teman-teman Anda?

Tuesday, July 19, 2016

Punya Perasaan Bersalah Kepada Anak? Hati-hati!

Hidup di dunia yang serba sulit memaksa para orangtua harus berjibaku demi memenuhi kebutuhan keluarga, dalam bahasan ini adalah anak-anak mereka.

Tak sedikit dari para orangtua ini yang berangkat ketika anak mereka masih terlelap dan pulang ketika anak mereka sudah tertidur.

Ini yang sering diistilahkan orang dengan sebutan 11-P atau Pergi Pagi Pulang Petang Pinggang Pegal-Pegal Penghasilan Pas-Pasan Pula. H-hee...

Waktu untuk bekerja dan di jalan raya bahkan bisa lebih banyak daripada waktu di rumah.

Anak menjadi jarang berinteraksi dengan orangtuanya.

Kalaupun ada kesempatan bersama, belum tentu juga menjadi “waktu yang berkualitas”. Karena meski ada di rumah, seringkali kita masih disibukkan dengan pekerjaan-pekerjaan kantor atau masih sibuk membalas chat dari teman-teman.

Akibatnya keberadaan orangtua tidak dirasakan oleh si anak.



Keadaan seperti ini bukan tidak disadari oleh kita. Justru kondisi inilah yang memicu timbulnya perasaan bersalah terhadap anak-anak.

Kita merasa telah menjadi orangtua yang egois, yang lebih mementingkan pekerjaan daripada keluarga.

Namun, bukannya berdampak baik, perasaan bersalah ini justru membuat orangtua melakukan hal-hal yang salah.

Kurangnya komunikasi dan sedikitnya waktu untuk bersama mereka menyebabkan orangtua berpikir untuk harus menggantinya dengan “sesuatu yang lain”.

“Sesuatu” yang kita pikir bisa menebus perasaan bersalah tersebut.

Namun - sekali lagi - bukannya hal yang positif, hal-hal yang dilakukan oleh para orangtua yang terjangkiti perasaan bersalah ini justru tindakan yang akan berakibat buruk.

Dampak dari perasaan bersalah ini adalah biasanya akan melahirkan 2 bentuk sikap dari para orangtua.

Pertama, ia akan melahirkan sikap permisif atas perilaku anak yang buruk.

Tidak mengekang kreatifitas anak adalah salah satu upaya kita untuk membangun karakter mereka. Namun jika apa yang mereka lakukan sudah cenderung ke yang negati, maka bagaimanapun juga kita harus melarangnya.

Tidak boleh lagi membiarkan mereka dengan dalih “kreatifitas”.

Apalagi dengan alasan kasihan karena kita jarang bermain bersama mereka.

“Biarlah dia begitu... Mungkin karena saya jarang berada di rumah.”

Ungkapan ini adalah salah satu contoh ungkapan pembenaran untuk perilaku buruk tersebut.

Perasaan bersalah tadi membuat kita kasihan dengan si anak karena kesendiriannya, sehingga menyebabkan kita dengan mudah memaklumi perbuatan mereka, meski untuk perbuatan yang tidak benar.

Kita membiarkan dan menyetujui tindakan-tindakan tersebut.


Kedua, sikap yang akan timbul akibat perasaan bersalah ini adalah munculnya keinginan untuk menuruti apapun permintaan si anak.


Ini yang perlu dipertegas.

Pemikiran bahwa kita bisa mengganti ketidak-hadiran kita dengan sejumlah materi adalah suatu pemikiran yang fatal!

Seorang anak yang mendapatkan materi (padahal seharusnya ia mendapat banyak perhatian), akan menganggap materi adalah satu-satunya bentuk perhatian dari orangtuanya.

Sehingga semakin ia haus karena kurangnya perhatian orangtua, akan semakin aneh dan macam-macam permintannya.

Semakin kita menuruti apa keinginannya, akan semakin besar rasa ketidak-sukaannya ketika permintaannya ditolak.

Untuk selanjutnya kebiasaan ini akan sulit dibendung dan dia akan menjadi anak yang super egois...

Lalu apa yang harus kita lakukan untuk menghindari problem semacam ini?

Saya mencatat ada 2 poin penting yang harus dilakukan oleh orangtua dengan kondisi seperti ini.


1. TERIMA ITU


Ketika perasaan bersalah ini mulai menghinggapi kita,

sebagai orangtua kita harus cepat menyadari bahwa diri kita hanyalah manusia biasa yang punya kekurangan.

Saya, anda dan siapapun kita bukanlah sosok sempurna tanpa celah. Setiap orang punya kekurangannya masing-masing.

Dan kekurangan kita dalam hal ini adalah minimnya waktu untuk keluarga.

Dengan menerima kenyataan bahwa keadaan ini memang harus dijalani,

hal itu akan membuat kita berpikir lebih rasional dan tidak terjebak pada sikap-sikap yang merugikan buah hati kita sendiri.


2. MANFAATKAN YANG SEDIKIT



Setelah kita menyadari bahwa waktu bersama mereka memang cuma sedikit,

maka, manfaatkanlah dengan sebaik-baiknya.

Penting untuk tidak membawa pekerjaan kantor ke rumah.

Penting untuk mematikan semua notif mesengger dan simpan smartphone atau gadget yang bisa mengalihkan kita dari memperhatikan mereka.

Kita harus percaya bahwa kebersamaan yang sebentar namun berkualitas, akan jauh lebih membekas di dalam kehidupan mereka nantinya.

Anda juga bisa baca artikel Bagaimana Cara Mengoreksi Kesalahan Anak Tanpa Ditolak.

Tentang 'memanfaatkan waktu' ini, saya ada satu cerita untuk untuk dishare...

Tahun lalu, TK tempat Zaki sekolah mengadakan rekreasi ke Jatim Park II, Malang.

Saya ikut serta dalam rombongan tersebut. Saya pikir ini kesempatan bagus untuk bisa bersama-sama dengan anak dan mengajarkan mereka tentang berbagai macam perilaku binatang.

Singkat cerita, saat sedang berjalan santai menikmati suasana tempat wisata tersebut, hujan tiba-tiba turun dengan derasnya.

Saya langsung menggendong Zaki untuk mencari tempat berteduh di sebuah bangunan kecil semacam gazebo yang difungsikan sebagai cafetaria.

Namun karena bagunan tersebut adalah satu-satunya tempat yang bisa dipakai berteduh di area tersebut, jadilah semua pengunjung berebut untuk masuk ke dalam bangunan tersebut.

Saya adalah salah seorang pengunjung yang “selamat” bisa masuk.

Hujan turun cukup lama saat itu. Dan saya harus menggendong Zaki terus karena tentu berbahaya membiarkan seorang balita di bawah kerumunan orang dewasa yang berdesak-desakan.

Nah, ketika hujan sudah mulai berkurang, saya berinisiatif untuk keluar dari tempat itu dan bermaksud mencari tempat berteduh lain yang lebih “layak”.

Saya meminta sepotong karton box kepada mbak-mbak penjaga cafetaria yang karton tersebut saya gunakan sebagai pelindung kepala Zaki dari rintik-rintik hujan.

Dengan berlari-lari kecil saya meninggalkan tempat itu.

Oke, ceritanya saya potong sampai di sini saja. Setelah itu kami pulang dan sampai di rumah dengan selamat.

Keesokan harinya iseng-iseng saya tanya ke Zaki, binatang mana yang paling menarik perhatiannya kemarin?

Zaki menjawab dengan nada biasa-biasa saja. Rupanya dia tidak terlalu tertarik dengan binatang-binatang itu.

Tapi Zaki kemudian bilang bahwa hal yang paling menyenang baginya saat di tempat wisata kemarin adalah momen saat saya menggendongnya di tengah hujan rintik dengan berpayung sepotong karton.

H-haa..

Anda boleh tidak percaya. Tapi itulah anak-anak.

Hal-hal yang mungkin menurut kita kecil, biasa dan remeh, justru bisa menjadi hal yang amazing bagi mereka asal kita mau mengemasnya dengan cukup baik.

Dengan cara-cara inilah kita bisa membangun kebersamaan yang berkualitas dengan mereka meski dengan durasi yang lebih pendek.

Anda juga bisa baca 2 Hal Penting untuk Membangun Karakter Buah Hati Kita.

Hanya dengan perhatian dan kasih sayanglah mereka bisa tumbuh menjadi pribadi yang mudah berbagi dan berempati dengan sesamanya.

Saya, anda dan kita tahu hal tersebut tidak akan mudah.

Tapi demi keluarga dan buah hati kita,

kita akan tetap berusaha, bukan?


Karena Anda sudah membaca artikel ini sampai selesai,
apakah Anda juga berminat membaginya dengan teman-teman Anda?

Saturday, July 16, 2016

7 Cara Berkomunikasi dengan Anak untuk Menumbuhkan Sikap Disiplin Mereka

Ketika kita berbicara tentang cara mendisiplinkan buah hati kita, sudah tentu yang kita maksud di sini adalah disiplin positif. Bukan disiplin negatif yang sudah kita ulas pada postingan sebelumnya.



Jika disiplin negatif berpusat pada hukuman dan ancaman, maka disiplin positif bersumbu pada komunikasi.

Inilah bedanya.

Seorang dramawan asal Irlandia, Oscar Wilde, pernah mengatakan,

“Pada akhirnya, ikatan dari semua bentuk kebersamaan adalah PERCAKAPAN.”

Ini berarti, komunikasi adalah hal yang maha penting untuk membangun sebuah hubungan. Semakin kuat sebuah komunikasi, akan semakin intens hubungan tersebut.

“Two things can destroy any relationship: Unrealistic expectations and poor communications”
(Anonymous)

Dua hal yang dapat merusak persahabatan: Harapan yang berlebihan dan kurangnya komunikasi.

Jadi jika komunikasi adalah cara untuk meningkatkan kedisiplinan pada diri anak, lalu bagaimana cara berkomunikasi yang benar?


Inti dari sebuah komunikasi itu sebenarnya cukup sederhana,

yaitu mengatakan apa yang kita inginkan untuk terjadi.

Nah, berikut ini ada 7 cara untuk berkomunikasi dengan buah hati kita dalam rangka meningkatkan kedisiplinan mereka..


1. Meminta langsung kepada anak


Ketika kita misalnya menginginkan mereka agar menggosok gigi mereka sebelum tidur, kita cukup mengatakan,

“Ayah mau minta sesuatu ya? Ayah minta setiap malam adik menggosok gigi. Nanti ditemani ayah. Bisa ya?”

Se-sederhana itu.

Jika ini dilakukan ketika mood anak sedang baik, mereka pasti akan mengiyakan.

Setelah hari itu, permintaan ini harus terus dilakukan. Dengan cara yang santun, tentunya.

Kita terus meminta kepadanya sampai hal yang dilakukan anak karena permintaan kita tersebut menjadi sebuah kebiasaan baginya.


2. Berikan penjelasan yang tepat


Memberikan penjelasan adalah suatu cara untuk menyampaikan keinginan kita kepada anak.

Penjelasan yang tepat akan membuat anak mengerti dengan jelas apa yang harus dilakukan dan mana yang tidak.

Satu contoh ketika anak menggelar mainannya di ruang tengah, daripada kita mengatakan,

“Kalau tidak segera dibereskan, nanti akan ibu sapu...”

Jauh lebih baik jika kita menjelaskan bahwa mainan mereka bisa menghalangi lalu lintas di dalam rumah.

Kemudian beri mereka alternatif untuk menggeser mainannya ke tempat lain yang lebih menyenangkan. Di depan rumah, misalnya.


3. Memberikan instruksi langsung


Untuk hal-hal yang bersifat membahayakan mereka, kita sebaiknya memberikan perintah secara langsung.

Saat anak kita berjalan terlalu ke tengah, sehingga kita khawatir jika ada kendaraan yang lewat, maka jangan memberikan perintah yang membuat anak masih harus mencerna lagi apa yang mesti dilakukannya.

Ketika kita mengatakan, “Awas, nanti ada sepeda motor...”

Anak masih akan berpikir, “Memangnya kenapa kalau ada sepeda motor?”

Karena itu lebih baik jika kita menginstruksikan secera langsung, “Adek, ayo jalannya agak ke pinggir...”.


4. Memberikan mereka sebuah “pengalaman”


Pada beberapa anak mungkin cukup susah untuk diberi pengertian secara lisan. Maka kalau harus terjadi sesuatu yang tidak diinginkan, biarkan terjadi. Tetap maknai itu sebagai sesuatu yang bisa memberi pelajaran bagi anak.

Ada anak yang harus jatuh dulu, baru ia berhati-hati ketika berjalan.

Ada yang harus tidak naik kelas dulu, baru ia terpacu untuk belajar.

Ada yang memang harus seperti itu.

Mendapat “pengalaman” dulu, baru mendapat pelajaran dari situ.

Tetapi harus dipastikan bahwa orangtua sudah melakukan langkah 1-3 dengan baik.

Kritik yang Membangun itu Tidak Ada! sepertinya juga harus anda baca...


5. Memberikan hadiah atas usaha


Barangkali yang sering kita lakukan adalah memberikan hadiah ketika mereka berprestasi.

Padahal sebenarnya bukan prestasinya yang harus kita apresiasi, akan tetapi usaha mereka untuk mendapatkan prestasi tersebut.

Bukan ranking 1 di kelas yang membuat kita memberikan hadiah untuk mereka,

akan tetapi kemauan mereka untuk serius belajar dan meninggalkan keinginan mereka untuk menonton televisi.


6. Negoisasi


Terkadang karena terlalu asik menonton tv atau bermain game, anak tidak mau kalau harus berhenti seketika.

Jika kita langsung memaksa - misalnya dengan cara mematikan tv seketika - bisa jadi hal itu akan merusak mood mereka. Akibatnya ketika kita meminta mereka untuk melakukan sesuatu yang lain, mereka menolak.

Ketika orangtua berada pada situasi seperti ini, hal yang bisa kita lakukan adalah melakukan negoisasi dengan mereka. Kita bisa mengatakan, misalnya,

“Main gamenya ibu beri waktu 10 menit lagi ya. Setelah itu, kakak mandi. Kalau tidak, ibu akan simpan game-nya sampai besok lusa.”

Pastikan agar mereka menjawab “iya,”.

Lalu konsekuenlah.

Setelah 10 menit dekati anak, atau beri kode agar ia tahu bahwa waktu bermain gamenya sudah habis. Jika anak masih menolak berhenti, laksanakan hukuman.

Penjelasan yang lebih khusus bisa anda baca di sini.


7. Hukuman


Seperti yang sudah saya singgung pada artikel sebelumnya, hukuman ini adalah salah satu cara di dalam proses menumbuhkan disiplin pada anak.

Hukuman adalah langkah terakhir yang “terpaksa” kita terapkan.

Namun dengan catatan, hukuman tersebut haruslah yang bersifat mendidik dan positif, bukan melecehkan.

Misalnya seorang guru yang memberi hukuman menulis kepada muridnya agar tidak malas mengerjakan PR,

Menulis kalimat, “Aku akan lebih rajin lagi”, jauh lebih baik daripada menulis “Aku tidak akan malas lagi”.

Contoh lain dari hukuman yang positif adalah mengurangi jam menonton televisi atau melarang mereka bermain game selama beberapa hari, dsb.

Prinsipnya adalah berikan hukuman yang membangun harga dirinya, bukan yang menjatuhkannya.



Karena Anda sudah membaca artikel ini sampai selesai,
apakah Anda juga berminat membaginya dengan teman-teman Anda?

Ternyata Disiplin Juga Bisa Merusak Anak!

Saat anda membaca judul postingan ini, tentunya pertanyaan yang muncul pada benak anda adalah, “Memangnya disiplin bisa merusak anak?” atau mungkin “Apa ada sikap disiplin yang merusak?”

Pertanyaan-pertanyaan seperti itu memang tidak salah.

Tapi sebenarnya, pertanyaan yang paling tepat adalah,

“Bagaimana cara displin merusak anak?”


disiplin negatif, merusak
Disiplin yang merusak

Disiplin merupakan sebuah kata serapan dari bahasa Latin, discipulus, yang berarti ‘sebuah upaya yang dilakukan untuk menghasilkan sifat-sifat yang baik’.

Dalam upaya tersebut, kita – para orangtua – seringkali terjebak keliru di dalam memaknainya.

Kita acapkali mengasosiasikan disiplin dengan HUKUMAN.

Sama seperti saat kita memergoki anak kita melakukan sebuah kesalahan yang cukup fatal, kemudian kita mengatakan,

“Kamu memang harus diajari disiplin!”

Tapi maksud yang sebenarnya adalah, “Kamu harus dihukum!”

Bahkan tak jarang kita menggandeng kedua kata ini: “hukuman” dan “disiplin”.

Sehingga seolah-olah disiplin itu ya, hukuman. Dan hukuman adalah proses untuk penegakan disiplin tersebut..


hukuman, disiplin
Disiplin dan Hukuman

Maka yang harus kita lakukan saat ini adalah menyamakan persepsi kita tentang hal ini.

Bahwa hukuman memang diperlukan di dalam metode pendisiplinan, itu benar.

Tapi ia hanyalah SALAH SATU cara,

dan ia harus menjadi cara YANG TERAKHIR di dalam proses tersebut..

Kembali ke pertanyaan awal, “Bagaimana cara disiplin merusak anak?”


Disiplin bisa merusak, ketika bentuk yang kita gunakan adalah bentuk DISIPLIN NEGATIF.

Secara mudahnya, disiplin negatif adalah disiplin yang diciptakan dari ancaman dan hukuman.

Alih-alih membentuk pribadinya menjadi pribadi yang tangguh, disiplin negatif justru akan merusak mental anak,

sejak awal.

Tentu, ketika kita ingin membahas contoh-contoh disiplin yang diciptakan dengan ancaman dan hukuman, maka akan kita dapati banyak sekali hasilnya.

Bahkan beberapa di antaranya sudah dibahas pada artikel lain di blog ini.

Dan sebelum kita membahas bagian terpenting dari ulasan kali ini, ijinkan saya menyampaikan sebuah ilustrasi pendek yang saya ambil dari blognya pendidikankarakter.com.


KATAK DALAM PANCI

Kita telah menyiapkan sebuah panci yang berisi air yang tengah mendidih. Kemudian kita masukkan seekor katak ke dalamnya.

Apa yang terjadi?

Katak tersebut akan langsung melompat keluar. Ia akan langsung menyadari keberadaan air panas tersebut, sehingga pikirannya mengatakan, “Ini tidak nyaman, aku harus keluar!”.

Tetapi bagaimana jika situasinya diubah?

Air yang kita siapkan di dalam panci adalah air yang masih dingin. Kita masukkan seekor katak ke dalamnya. Lalu secara bertahap kita panaskan airnya.

Katak yang mendapati air biasa tersebut akan mengatakan, “Hm, disini cukup nyaman,”

Setelah beberapa lama, ia akan berpikir, “Oke, sekarang mulai hangat...”

Dan sekejap kemudian kita akan punya seekor katak rebus...

Apa yang kita dapatkan dari ilustrasi di atas?


Proses pembentukan anak itu tidak bisa instan...

Ketika kita memaksanya melakukan perubahan - meski dalam hal yang positif - namun jika dilakukan secara spontan, ia akan lari!

Seperti katak di dalam air panas.

Sebaliknya pun begitu pula, ketika kita menerapkan disiplin negatif yang tanpa kita sadari merusaknya secara perlahan-lahan, tahu-tahu kita sudah mendapati anak yang kacau kepribadiannya.

Seperti katak di dalam air dingin.

Maka penting untuk mendeteksi secara awal kesalahan-kesalahan yang mungkin saja kita lakukan – tanpa kita sadari - agar tidak terjadi ‘kerusakan permanen’ yang bisa dialami anak-anak kita.

Jadi pertanyaan paling pentingnya kemudian adalah,

“Bagaimana kita tahu bahwa displin yang kita terapkan adalah disiplin negatif?


Sebagaimana yang dipaparkan oleh Bpk. Timothy Wibowo dalam pendidikankarakter.com, setidaknya ada 4 tanda-tanda yang dihasilkan dari tindakan disiplin negatif.


1. Perasaan bersalah


Perasaan bersalah muncul pada diri anak ketika kita menerapkan pendisiplinan dengan cara yang negatif.

Ketika seorang anak memiliki perasaan bersalah yang kuat, dia akan terpicu melakukan hal-hal untuk menghukum dirinya sendiri.

Saat dia melakukan sesuatu, dan ketika hampir berhasil, dia kemudian merusaknya sendiri.

“Ah, sudah, tidak jadi saja, batal-batal, bubar...”

Lalu dia ingin melakukan sesuatu yang lain lagi, dan membatalkannya di saat hampir selesai.

Ini adalah bukti bahwa anak sedang menghukum dirinya sendiri.


2. Anak merasa tidak disayangi


Ketika dihukum (dengan cara yang tidak mendidik), anak akan merasa dirinya tidak disayangi, tidak disukai dan tidak diperhatikan.

Maka kemudian dia mencari perhatian itu dengan cara yang berlebihan. Gampang marah hanya karena sesuatu yang sepele, adalah cara yang paling banyak diterapkan oleh anak.


3. Memiliki kemampuan sosialisasi yang buruk


Biasanya ditandai dengan sikap minder dan menutup diri dari orangtuanya.

Anak lebih terbuka dengan teman dan lingkungan sosialnya daripada kepada orangtuanya sendiri.


4. Merasa tidak berharga


Merasa dirinya tidak berharga akan menyebabkan anak susah berkembang. Cita-citanya tidak pernah ingin ia wujudkan karena ia merasa ia tidak layak untuk mendapatkan semua itu..

Lalu artikel berikutnya, bagaimana cara kita menerapkan disiplin positif?


Karena Anda sudah membaca artikel ini sampai selesai,
apakah Anda juga berminat membaginya dengan teman-teman Anda?

Friday, July 15, 2016

Pelajaran dari Nancy Matthew Elliott dan Sang Putra

Apakah Anda mengenal nama Nancy Matthews Elliott?

Jika tidak, saya yakin Anda pasti mengenal putranya.

Perempuan ini adalah ibu dari seorang penemu besar dalam sejarah perkembangan dunia, Thomas Alva Edison!

Nama Nancy “hanyalah” sebuah nama di balik kesuksesan putranya. Jadi wajar jika kita tidak pernah mendengar namanya.

Namun yang ingin saya ceritakan kali ini bukanlah tentang biografi penemu yang djuluki “Penyihir Menlo Park” ini, akan tetapi semangat dan motivasi sang ibu dalam mendidik sang putra..

ibu, pendidikan ibu
Thomas Alva Edison

Suatu siang di pertengahan tahun, sepucuk surat datang dari lembaga dimana Thomas kecil sekolah. 

Isi surat itu adalah keputusan pihak sekolah untuk mengeluarkan putranya dari sekolah karena mereka menganggap Thomas memiliki otak yang bodoh sehingga tidak mungkin bisa mengikuti pelajaran di sekolah.

Namun hal yang cukup menarik adalah, ketika Thomas kecil bertanya kepada ibunya isi surat dari sekolahan tersebut, sang ibu pun membacakannya untuk Thomas dengan suara keras.

Ibunya membacakan isi surat itu seperti ini, 

“Putra Anda, Thomas, adalah seorang anak yang memiliki kejeniusan luar biasa. Pihak sekolah tidak memiliki guru yang cakap dan berkompeten untuk mendidiknya. Jadi kami menyerahkan putra Anda untuk Anda didik sendiri.”

Ada semangat yang kuat di dalam hati sang ibu kala itu, “Anakku bukan anak yang bodoh! Aku sendiri yang akan mengajari dan mendidiknya.”

Dalam salah satu buku yang memuat biografi Thomas Alva Edison, si penulis mencatat seperti ini,

“Ibunya adalah seorang guru yang terbaik dan melakukan apa yang terbaik bagi muridnya.

Ibunya telah membawa sang putra ke sebuah panggung belajar untuk dirinya sendiri, panggung belajar yang membuat hatinya tertarik dan terhibur dan memberi dukungan agar terus bersemangat pada bidang itu.

Sebuah hal terbaik yang dapat dilakukan seorang ibu terhadap anak yang luar biasa.”


Doa dan semangat sang ibu pun terjawab...

Kurang lebih 3 dekade setelah itu, atau tepatnya tahun 1879, seorang Thomas Alva Edison berhasil menciptakan lampu yang mampu menyala selama 40 jam dengan tenaga listrik.

Penemuan inilah yang membuatnya masuk dalam urutan ke 38 - mengungguli Alexander Graham Bell - dalam buku “The 100: A Ranking of Most Influential Person in History” (Michael H. Heart, 1978)

Keberhasilan ini tentu tidak lepas dari peran dari sang ibu.

Thomas sendiri mengakuinya dengan mengatakan, “Ibuku telah membentuk diriku. Memahamiku, dan membiarkan aku mengikuti bakatku.”

Artikel saya yang lain Ternyata Disiplin Juga Bisa Merusak Anak.

Maka belajar dari kisah ini, setidaknya ada 2 hal yang bisa kita pelajari dari seorang Nancy Matthews Elliott:


1. Tidak merendahkan harga diri si anak


Sebuah quote yang sangat bagus berbunyi begini,

“Setiap orang itu jenius. Namun jika Anda menilai ikan dari kemampuannya memanjat pohon, selama hidupnya dia akan meyakini bahwa dirinya bodoh.”
(Albert Einstein)

Ibu Thomas tidak pernah menganggap putranya bodoh. Namun tidak hanya hanya itu, ia mampu mentransfer keyakinannya itu ke dalam mindset putranya.

Akibatnya, Thomas kecil menjadi semakin termotivasi untuk belajar dan tidak mengenal kata gagal.

Terbukti saat ia berhasil menemukan lampu listrik, koran setempat mempublikasikannya dengan headline “Setelah 9.900 kali gagal menemukan lampu listrik, Thomas Alva Edison akhirnya berhasil menemukan lampu yang dapat menyala”.

Judul tersebut ditolaknya, dan pihak surat kabar kemudian mengganti judul beritanya dengan “Setelah 9.900 kali berhasil menemukan lampu yang gagal menyala, Thomas Alva Edison akhinya berhasil menemukan lampu yang dapat menyala”.


2. Tidak membatasi bakat


Kita tidak pernah tahu sampai dimana bakat putra-putri kita. Begitu pula dengan ibu Thomas.

Karena itulah ia membiarkan Thomas kecil melahap buku-buku ilmiah, melakukan eksperimen-eksperimen dan juga, bekerja.

Pada usia 12 tahun, Thomas kecil sudah memiliki laboratorium kecil untuk penelitiannya.

Usia 13 tahun ia telah membuat sebuah telegraf sederhana. Thomas juga bekerja sebagai operator telegraf saat itu.

Usia 15 tahun ia dapat menyempurnakan prinsip kerja telegraf. Di usia ini bakat bisnisnya muncul sehingga ia memutuskan untuk membuat mesin pencetak koran sendiri.

Dan di usia 16 tahun, Thomas pun mencatat penemuan pertamanya, yaitu sebuah alat penerjemah kode morse.

Dan beberapa waktu setelah itu Thomas pun dikenal sebagai penemu, pengusaha dan pencipta yang sangat produktif sekaligus sebagai pemegang 1,000-an hak paten pada masa itu.

Meski untuk yang disebut terakhir ini masih diperdebatkan kebenarannya. 

putra, penemu, karakter
Yang ini pastinya bukan Thomas, but who's knows?


Karena Anda sudah membaca artikel ini sampai selesai, 
apakah Anda juga berminat membaginya dengan teman-teman Anda?