September 2016 - Archieve

Under the hood articles from the past.

Wednesday, September 28, 2016

Bagaimana Mindset Mengubah Kehidupan Anak-anak Kita?

parenting, pendidikan karakter, pendidikan anak


Saya masih ingat ketika 15 tahun yang lalu salah seorang ustadz kami mengutip sebuah quote yang berbunyi begini,

“Cara anda berpikir mempengaruhi cara anda berbuat. Dan cara anda berbuat mempengaruhi bagaimana orang lain menilai anda.”

Maksud dari kalimat di atas adalah bahwa cara berpikir yang kita bangun memiliki pengaruh besar terhadap hubungan kita dengan orang lain.

Dan jika cara berpikir ini mempengaruhi cara kita berperilaku,

maka tentu saja, hal ini juga akan berpengaruh pada kehidupan kita, secara pribadi.

Jadi inti dari kalimat di atas adalah,

membentuk cara berpikir alias mindset adalah hal pertama yang harus kita tempa pada diri anak-anak kita, sebelum kita menyiapkan hal-hal lainnya untuk kehidupan mereka nanti.

Bahkan di dalam sebuah bisnis, mindset ini ternyata memegang peranan yang sangat penting.

Ia bisa menjadi penyebab bisnis tersebut akan pesat berkembang atau tumbang terjengkang.

Mindset beda, hasil beda!


Ada sebuah cerita lama yang cukup inspiratif, yang mungkin anda sudah pernah membacanya.

Cerita ini menggambarkan bagaimana mindset yang berbeda bisa membuat perbedaan besar di dalam kehidupan seseorang.

Ada 2 orang bersaudara yang merupakan anak dari seorang pengusaha besar.

Karena usia yang sudah cukup matang, kedua bersaudara ini ingin membuka usaha mereka sendiri.

Keduanya lalu menemui sang ayah untuk meminta persetujuan atas keinginan mereka tersebut.

Sang ayah rupanya sangat setuju dengan keinginan kedua putranya. Bahkan sang ayah memberikan pesan kepada mereka. Sebuah pesan yang sama, namun akan memberikan dampak berbeda bagi keduanya.

Pesan dari sang ayah berisi 2 hal yang cukup singkat,

yaitu “jangan pernah menagih hutang” dan “jangan sampai terkena sinar matahari”.

Maka dengan berbekal dua hal ini, keduanya pun memulai perjalanan mereka sebagai seorang pengusaha.

Singkat cerita, beberapa tahun kemudian mulailah tampak perbedaan diantara bisnis keduanya.

Bisnis yang dirintis oleh saudara yang satu menjadi lebih maju, lebih besar dan berkembang dengan sangat bagus.

Sedangkan usaha yang dimiliki oleh saudara yang satunya lagi terus mengalami penurunan, bahkan sudah diambang kebangkrutan.

Karena penasaran, maka saudara yang bangkrut ini pun menemui saudaranya dengan maksud mempertanyakan kenapa usahanya gagal padahal ia telah mengikuti pesan sang ayah?

Akhirnya diketahui bahwa penyebab kegagalan bisnis yang satu dan keberhasilan usaha yang lain adalah karena perbedaan keduanya di dalam mengartikan pesan tersebut.

Pesan “jangan pernah menagih hutang”, diartikan oleh saudara yang satu agar sama sekali tidak menagih hutang kepada orang yang berhutang kepadanya.

Sehingga meski orang tersebut lupa atau memang sengaja tidak membayar hutangnya, saudara yang satu ini tidak pernah mempersoalkannya.

Sedangkan saudara yang satunya lagi mengartikan pesan tersebut dengan cara menerapkan penjualan hanya secara cash, sehingga tidak ada transakasi hutang-piutang.

Perputaran uang lancar. Modal pun aman.

Sedang pada bisnis yang satunya, jelas, karena piutangnya ada di mana-mana, cash flow tersendat. Modal pun sedkit demi sedikit terkikis.

Sedangkan pesan “jangan terkena sinar matahari”diartikan saudara yang satunya agar menjaga kulitnya dari terkena sinar matahari.

Maka sejak awal ia sudah membeli sebuah mobil baru agar saat berangkat dan pulang dari kantornya ia tidak terkena sinar matahari.

Ada pengeluaran besar saat belum ada profit. Aliran uang yang tidak lancar ditambah beban perawatan untuk kendaraan menyebabkan usahanya gulung tikar.

Tapi tidak bagi saudara yang satunya lagi.

Karena hanya berbekal motor yang ia punya, maka ia pun berangkat lebih pagi – sebelum matahari terbit - dan pulang lebih malam, setelah matahari terbenam.

Dengan jam kerja yang jauh lebih lama, maka produktifitas usahanya pun jauh lebih baik.

Nah, ini adalah salah satu ilustrasi betapa pentingnya “cara kerja” mindset ini.

Mindset tidak bisa dijiplak!


Masih contoh dari dunia bisnis,

ada sebuah metode sederhana yang bisa kita terapkan saat akan memulai sebuah usaha.

Metode tersebut oleh teman-teman entrepreneur biasa disingkat dengan ATM. Yaitu Amati, Tiru dan Modifikasi.

Dengan mengamati usaha orang lain, kita akan punya gambaran besar tentang usaha yang akan kita jalankan.

Kita bisa punya gambaran detil tentang hal-hal apa saja yang dibutuhkan, kelebihan dan kelemahannya, termasuk juga kalkulasi modal yang dibutuhkan.

Selanjutnya kita tinggal menerapkan (baca: meniru) hal-hal tersebut pada usaha yang kita jalankan.

Dan dengan beberapa modifikasi yang kreatif, usaha kita bisa menjadi lebih baik daripada usaha orang lain tersebut.

Sepintas cara ini sangat efektif untuk mendongkrak omset bisnis kita.

Secara logika, usaha yang kita jalankan jelas lebih baik daripada usaha orang yang kita tiru.

Namun, tahukah kita bahwa hal ini tidak pernah menjamin bahwa bisnis kita akan lebih berhasil daripada usaha orang lain.

Masalahnya adalah, yang bisa kita contek hanyalah hal-hal yang bersifat fisik dan bisa dipelajari.

Misalnya teknik pembuatan produk, mencari tempat kulakan, strategi pemasaran, cara kerja tim, cara berkomunikasi dengan customer, dan hal-hal lainnya yang kita sebut “bersifat fisik”.

Namun ada satu hal lagi - yang sangat penting - yang tidak bisa dicontek secara langsung.

Yaitu MINDSET.

Bahkan ada yang mengatakan bahwa mindset tidak bisa dipelajari, karena ia terbentuk di alam bawah sadar kita.

Inilah yang menjadikan bagaimana dua orang yang melakukan hal yang sama bisa mendapatkan hasil yang berbeda.

Sejalan dengan kutipan di atas, maka “Beda mindset berarti beda pengelolaan. Beda pengelolaan berarti berbeda pula yang akan dihasilkan”.

Akan tetapi, meski tadi disebutkan bahwa mindset tidak bisa dipelajari (karena sudah kadung terbentuk pada alam bawah sadar kita),

namun ada cara-cara tertentu yang bisa dilakukan untuk mengubah mindset tersebut.

Mengubah dari cara berpikir lama ke sistem pola pikir yang baru.


Bangun mindset anak kita!


Mindset adalah bagaimana kita berpikir dan bagaimana kita bertindak.

Mindset adalah penggabungan dari sekumpulan harapan, pendapat, kebiasaan, keputusan dan keyakinan.

Mindset itu adalah Thomas Alva Edison ketika berusaha menciptakan sebuah lampu pijar.

Artinya, mindset bukanlah sesuatu yang tiba-tiba ada. Ia terbentuk pada diri seseorang semenjak kecil.

Bahkan, sejak sebelum orang tersebut lahir.

Lalu bagaimana cara membentuk mindset ini?

Ada tahapan-tahapan pembentukan pola pikir pada diri anak, berdasarkan usia mereka.

Secara garis besarnya, ada 3 tahap yang akan dilalui.

1. Pembentukan pada masa kehamilan


Dikatakan bahwa memori janin telah terbentuk utuh saat usia kandungan telah mencapai 3 bulan.

Maka tahapan pembentukan pola pikir yang bisa dilakukan pada masa ini adalah menjaga emosi sang ibu agar tetap stabil.

Banyak kasus-kasus yangtidak diinginkan terjadi disebabkan karena gangguan emosi sang ibu, yang hal tersebut akan berdampak langsung terhadap janin.

Selain itu, hal lainnya yang bisa dilakukan adalah memberikan rangsangan pendidikan.

Bisa dengan cara memperdengarkan lantunan ayat-ayat Al-Qur’an, hafalan surat-surat pendek, dasar-dasar bahasa, sentuhan fisik, dan sebagainya.

2. Pembentukan pada masa bayi


Pada masa ini pikiran sadar pada bayi belum terbentuk, sehingga rangsangan dari luar tidak terlalu berpengaruh.

Akan tetapi semua rangsangan-rangsangan tersebut akan disimpan di alam pikiran bawah sadar.

Dalam hal ini yang akan terbentuk pada pikiran sang bayi adalah KEPERCAYAAN.

Maka dengan menerima anak apa adanya dan tidak menuntut berlebihan kepadanya, serta tetap menjalin komunikasi yang hangat dan tetap mendoakannya adalah hal-hal yang bisa dilakukan untuk membentuk mindset positifnya.

3. Pembentukan pada masa kanak-kanak


Para psikolog menyebut masa ini adalah masa tanam.

Pada masa ini transfer pola pikir positif dari orangtua ke anak biasanya mulai mendapat penolakan. Hal ini terjadi karena pada masa anak-anak mulai terbentuk filter mental mereka.

Sebagaimana diketahui ada salah satu bagian otak yang kita sebut critical area.

Setiap informasi yang masuk akan disaring di bagian ini. Jika informasi dianggap tidak masuk akal, maka critical area akan menolaknya.

Meski tertolak, informasi ini akan tetap tersimpan di alam bawah sadar. Bukan sebagai mindset, akan tetapi hanya sekedar memori bawah sadar.

Namun pada beberapa perlakuan, informasi yang seharusnya difilter oleh critical area bisa saja “lolos” dan menetap pada alam bawah sadar menjadi mindset.

Hal ini bisa terjadi pada kasus hipnotis, trauma, atau pada suatu hal yang diulang terus menerus.

Untuk meminimalisir penolakan-penolakan tersebut, maka penanaman cara berpikir yang positif ini harus dilakukan dalam keadaan yang menyenangkan.

Bisa melalui hobi dan kesukaan mereka, cerita-cerita imajinatif yang menginspirasi serta diskusi-diskusi ringan di dalam keluarga.

Rewarding and punisment (hadiah dan hukuman) juga mulai bisa diterapkan dalam kadar ringan untuk membentuk kebiasaan baik dalam keluarga.


Friday, September 23, 2016

Inilah 4 Kesalahan Kita Sebagai Seorang Pemimpin!


parenting, pendidikan anak, pendidikan karakter, pemmpin


Setiap kita adalah pemimpin.

Dan setiap pemimpin akan diminta pertanggung-jawabannya atas apa yang dipimpinnya.

Mengutip perkataan Mas Jaya Setiabudi – mentor bisnis sekaligus founder dari yukbisnis.com -

memimpin adalah seni “mengelus” dan “menampar”.

Artinya bahwa seorang pemimpin harus tahu betul kapan saatnya menyayang, mengapresiasi dan memuji,

serta tahu kapan saatnya menegur, menghukum dan bertindak tegas.

Tugas seorang pemimpin itu bukan cuma memerintah dan menyuruh.

Seorang pemimpin yang baik adalah mereka yang tidak hanya meletakkan wewenang di pundak anak buahnya,

namun juga mengajarkan kepada mereka bagaimana bertanggung jawab terhadap wewenang tersebut.

Orangtua,

adalah pemimpin di dalam keluarganya.

Sosok ayah dan ibu secara otomatis menjadi leader bagi anak-anak mereka.

Hal inilah yang mewajibkan mereka untuk memiliki kemampuan memimpin ini.

Seperti kita tahu bahwa di dalam ilmu kepemimpinan, kita mengenal dua hal penting yang menjadi bahan dasarnya,

yaitu PENGHARGAAN dan HUKUMAN.

Kedua hal ini tidak boleh dipisahkan, karena keduanya merupakan satu-kesatuan.

Salah satunya tidak bisa diterapkan tanpa melibatkan yang lainnya.

Sedangkan kedua-duanya juga tidak bisa dihadirkan tanpa ada proses panjang sebelumnya.

Yaitu proses pengajaran tentang nilai-nilai kebaikan dan keburukan.

Jika diibaratkan sebuah pohon, maka kita tidak bisa memetik buahnya sebelum menanamnya.

Kita tidak bisa langsung memuji atau menghukum sebelum anak-anak paham kenapa hal tersebut mereka terima.

Lebih jauh, ada 3 catatan penting terkait dengan kedua hal ini.

Pertama.

Memberikan penghargaan (reward) tidak harus diwujudkan dalam bentuk hadiah materi, sebagaimana hukuman-pun tidak selalu harus ditunjukkan dengan perlakuan yang kasar.

Perhargaan terhadap seorang anak bisa dilakukan dengan pujian yang tulus, perhatian yang penuh dengan kasih sayang, dsb.

Mereka yang diapresiasi dengan cara ini biasanya akan menjadi lebih termotivasi untuk bersikap loyal.

Sedangkan mereka yang selalu mendapat materi atas keberhasilannya, hanya akan menjadi manusia-manusia pengejar materi yang mengabaikan nilai moral dan etika.

Kedua.

Penerapan kedua hal ini tidak bisa di-generalisir pada semua anak.

Artinya bahwa penghargaan atau hukuman yang berhasil diterapkan pada seorang anak,

belum tentu sukses saat diaplikasikan untuk anak yang lain.

Karakteristik yang berbeda pada tiap-tiap anak mengharuskan orangtua untuk memberikan pujian dan teguran dengan cara dan porsi yang tepat.

Ketiga.

Perlu timing yang tepat.

Dalam buku 30 Strategi Mendidik Anak karya Dr. Musthafa Abu Sa’ad, disebutkan bahwa kesalahan umum yang dilakukan oleh para orangtua di dalam penerapan ‘Perhargaan dan Hukuman’ ini adalah ketidak-tepatan dalam penempatan waktunya.

Kenapa timing ini penting?

Karena kita tahu bahwa hal-hal yang sebenarnya baik, namun jika penyampaiannya tidak pada waktu yang tepat,

justru akan menjadi tampak buruk.

Di dalam buku tersebut disebutkan ada 4 kesalahan orangtua di dalam penyampaian ‘penghargaan’ dan ‘hukuman’ yang tidak pada waktu yang tepat.


1. Tidak memberikan penghargaan pada sikap baik anak


Si Ahmad yang berhasil lulus dengan nilai yang cukup baik, segera berlari pulang dan ingin menunjukkan ijazahnya kepada sang ayah.

“Ayah, aku lulus! Lihatlah nilaiku!”

Tetapi si ayah tidak menoleh dan menghentikan aktivitasnya. Si ayah malah berkata,

“Ayah masih sibuk, jangan diganggu. Ganti seragammu. Sesudah itu pergilah bermain.”

See,

Jika anda yang berada pada posisi Ahmad, bagaimana perasaan anda?

Jengkel?

Kecewa?

Marah?

Tentu saja.

Namun dampak yang lebih parah sebenarnya adalah si Ahmad kemungkinan akan kehilangan semangatnya untuk belajar.

Ia akan berpikir percuma saja belajar.

Toh, meski mendapat nilai baguspun tidak ada pengaruhnya apa-apa.

Jika anda pernah membaca Cara Menjadi Pendengar yang Baik Untuk Anak Dalam 4 Langkah!,

maka anda akan tahu betapa pentingnya mendengarkan anak.


2. Memberikan penghargaan untuk sikap buruk anak


Si Adi yang diajak ibunya berbelanja ke sebuah mall tertarik pada sebuah mainan yang tengah dipajang di etalase.

Adi meminta untuk dibelikan mainan tersebut, namun si ibu menolak.

Adi kemudian merengek-rengek dan menangis keras di tengah-tengah pengunjung mall.

Akhirnya, karena tidak tahan menjadi pusat perhatian, si ibu akhirnya mengalah,

“Ya sudah, ibu akan belikan mainan itu. Tapi kamu harus berhenti menangis.”

Apa yang dilakukan oleh si ibu adalah contoh yang salah.

Dengan memberikan apa yang diminta anak pada kondisi seperti di atas akan memberikan pemahaman kepada anak bahwa memang begitulah cara untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan.

Catatan ayahnulis tentang hal ini bisa anda baca pada tulisan yang berjudul Cara Tepat Mengatasi Anak yang Marah di Tempat Umum


3. Memberikan hukuman untuk sikap baik anak


Terdengar agak aneh ya? Tapi silahkan simak contoh berikut.

Saat ibunya sedang berada di luar rumah, Fatimah ingin memberikan sebuah kejutan untuk ibunya.

Ia lalu mengambil sapu dan membersihkan semua bagian rumah dan membuang kotorannya ke luar.

Saat ibunya datang, dengan bangga Fatimah mengatakan bahwa dirinya telah membersihkan rumah.

Namun si ibu justru memarahinya, “Kenapa kotorannya kamu buang di depan? Tuh, depan rumah jadi tampak kotor, kan?”

Fatimah yang mengira akan mendapat pujian harus kecewa karena yang diberikan ibunya justru ‘hukuman’ berupa kemarahan.

Sedangkan si ibu hanya melihat “kesalahan” yang dilakukan putrinya tanpa menimbang motif dibalik itu.

Tidak terburu-buru dalam menvonis anak adalah salah satu dari metode mengoreksi kesalahan anak. catatan selengkapnya bisa anda baca di sini.


4. Tidak memberikan hukuman untuk sikap buruk anak


Dua bersaudara terlibat pertengkaran dan perkelahian.

Meski kemudian terlihat kalau sang kakak meminta maaf pada adiknya, si ibu tetap meminta suaminya untuk memberi pengertian kepada mereka.

Namun si ayah justru tidak bereaksi apa-apa.

“Anak-anak itu memang begitu. Biarkan saja. Toh, nanti akan berbaikan dengan sendirinya.

Karena merasa dibela, jelas, sikap seperti ini akan memotivasi sang kakak untuk terus mengulangi perbuatan buruknya.

Sedangkan bagi sang adik yang merasa tidak pernah dibela justru akan memupuk sikap permusuhannya dengan sang kakak.

Singkatnya, membela dan menyalahkan salah satu,

atau membiarkan mereka begitu saja adalah sebuah langkah yang tidak bijak.

Perbuatan ini juga menjadi salah satu dari 9 alasan kenapa nasehat kita tidak didengarkan anak.

Yang harus dilakukan oleh orangtua adalah memahami penyebab pertengkaran tersebut dan menyikapinya dengan bijaksana dan se-adil mungkin.

Saturday, September 17, 2016

Hipersensitif dan Hiposensitif, Apa itu?

hipersensitif, hiposensitif, parenting, pendidikan anak

Sebagai orangtua yang masih sangat awam dengan dunia parenting,

istilah hipersensitif dan hiposensitif baru saya temukan beberapa hari terakhir ini.

Hal ini tidak lain karena putra pertama kami memiliki kecenderungan ke sana.

Hipersensitif juga dikenal di dunia medis.

Yaitu suatu keadaan dimana kulit balita sangat sensitif terhadap rangsangan dari luar tubuh.

Sensitifitas yang tinggi ini akan menyebabkan tanda-tanda fisik (misalnya ruam pada kulit balita, dsb).

Namun di dunia parenting,

istilah hipersensitif digunakan untuk anak-anak yang memiliki perasaan yang sangat peka.

Kepekaan yang berlebih ini tidak jarang menimbulkan masalah di dalam pergaulan mereka.

Saat anak berusia 5 tahun, kepekaan mereka akan meningkat.

Dan ini wajar.

Hal ini terjadi karena pada usia itu anak-anak sudah bisa melihat perbedaan dirinya dengan anak-anak yang lain,

yang membuat mereka menilai dirinya tidak sesempurna teman-temannya.

Namun meski dinilai wajar,

keadaan seperti ini tidak bisa dibiarkan begitu saja karena akan menjadikan anak tumbuh sebagai pribadi yang hipersensitif.

Dan ini bukan hal yang bagus.

Ada yang membagi hipersensitif ini ke dalam 2 macam.

Untuk lebih mudahnya, saya akan menggunakan 2 contoh kejadian di bawah ini.

Contoh 1

Saat melihat temannya terjatuh, anak anda tiba-tiba ikut menangis.

Rupanya ia juga ikut merasakan sakitnya jatuh seperti itu. Padahal mungkin saja, temannya yang jatuh tadi tidak merasakan sakit yang terlalu parah.

Kita bisa menyebut keadaan ini dengan hipersensitif ke luar.

Contoh 2

Saat bermain bersama anak-anak sebayanya, salah satu dari mereka mencoba menggoda anak anda dengan niat untuk bercanda.

Namun anak anda menanggapinya dengan serius, seolah-olah ia sedang diejek dan dilecehkan.

Anak anda marah, lalu terjadilah pertengkaran.

Keadaan ini dinamakan dengan hipersensitif ke dalam.

Di antara keduanya, jenis yang disebut terakhir inilah yang kerap menimbulkan dampak yang buruk.

Anak-anak hipersensitif cenderung memandang sekitarnya dengan negatif sehingga apapun dianggap salah bagi mereka.


Hipersensitif dan Hiposensitif, apa bedanya?


Kedua istilah di atas sebenarnya sama saja,

yaitu penyebutan untuk kondisi anak-anak yang memiliki perasan peka yang terlalu tinggi,

sehingga hal ini memicu reaksi negatif seperti mudah tersinggung, ngambekan, cengeng ataupun marah.

Perbedaannya adalah,

sensitifitas yang dimiliki anak-anak hipersensitif biasanya ditunjukkan secara langsung. Misalnya langsung marah ketika merasa dirinya diejek, dsb.

Sedangkan pada anak-anak dengan kecenderungan hiposensitif, seringkali lebih mampu menutupi perasaannya.

Hanya saja, perasaan yang disembunyikan ini kemudian akan ditumpuk menjadi dendam yang kuat.

Tanggal 6 September kemarin, dengan difasilitasi oleh pihak sekolah, kami – para wali murid - berkesempatan untuk bertemu dan berkonsultasi dengan Bpk. Heru Cahyo, seorang konsultan di bidang pendidikan anak-anak sekaligus konseptor sebuah sekolah swasta di daerah Barata Jaya, Surabaya.

Sedikit cerita saja, pada hari sebelumnya anak-anak kelas 1 diminta untuk menggambar obyek berupa rumah, pohon dan orang pada selembar kertas.

Dimana rumah merepresentasikan sosok ibu, pohon adalah ayah dan orang adalah diri mereka sendiri.

Dari susunan tiga buah obyek yang mereka gambar tadi, akan bisa diketahui bagaimana karakter anak serta bagaimana hubungan mereka dengan orangtua.

Satu hal yang sempat kami tanyakan saat itu adalah apa penyebab anak gampang tersinggung serta bagaimana cara orangtua menanggulanginya.

Dari penjelasan beliau ditambah hasil searching di internet, beberapa hal yang menyebabkan anak-anak mudah tersinggung di antaranya adalah:

1. Kelelahan atau sakit


Meski sepele, namun faktor ini bisa memicu perasaan tersinggung pada anak.

Orang dewasa akan mudah mengatakan dirinya sedang lelah atau sakit, secara verbal. Tapi tidak demikian dengan anak-anak.

Pada saat kurang fit, anak-anak biasanya mengungkapkan kondisi mereka dengan cara rewel atau gampang menangis.

2. Suasana yang tidak nyaman


Hal ini biasanya karena anak-anak sedang mendapati “situasi baru” yang belum atau jarang mereka temui.

Misalnya saat pindah ke rumah baru, atau saat anak diajak menghadiri undangan ke sebuah tempat yang hampir semuanya tidak dikenal oleh anak kita.

Suasana yang tidak nyaman bisa juga terjadi saat anak-anak berada di suatu tempat yang panas, sesak atau bising, misalnya di dalam angkutan umum, dsb.

3. Butuh perhatian


Kurangnya perhatian juga bisa menjadi penyebab anak-anak bersikap temperamental.

Orangtua yang tampak pilih kasih dengan kakak atau adiknya, atau kurangnya interaksi anak dengan sang ayah karena ditinggal kerja ke tempat yang jauh bisa menyebabkan anak-anak merasa terbuang.

Hal inilah yang kemudian memicu sikap mudah tersinggung atau gampang marah pada anak.

4. Merasa gagal


Saat anak-anak merasa tidak terpenuhi keinginannya, mereka akan melampiaskan kekesalannya dengan marah-marah atau menangis.

Di artikel yang ini dijelaskan cara-cara yang efektif untuk membuat anak-anak selalu berpikir positif.

5. Terlalu banyak larangan


Orangtua yang terlalu banyak melarang anaknya, bisa membuat anak-anak kesal.

Hal ini juga menjadi sebab kenapa anak-anak tidak mau mendengarkan nasehat orangtua mereka.

6. Tipikal Perfeksionis


Mereka yang memiliki sikap perfeksionis menuntut segalanya untuk sesuai dengan harapan.

Jika kemudian di dalam prosesnya, atau hasilnya ada yang “cacat”,

anak-anak dengan kepribadian seperti ini biasanya akan langsung drop.

Biasanya kalau sudah dalam kondisi begini, anak-anak akan susah untuk diminta melakukan sesuatu atau diajak berkomunikasi.


Lalu bagaimana menangani anak yang mudah tersinggung dengan tepat?


Ada beberapa langkah yang bisa diterapkan oleh para orangtua untuk mengatasi anak-anak yang memiliki kecenderungan hipersensitif.

Namun jika harus diringkas, setidaknya ada 5 cara yang menurut kami paling efektif.

Kelima cara itu adalah:

1. Memberikan godaan ringan


Hal yang harus dilakukan untuk mengatasi anak yang hipersensitif adalah dengan menunjukkan kepada mereka bahwa tidak semua godaan itu bermaksud untuk melecehkan atau menghina.

Cara yang paling mudah untuk diterapkan adalah dengan sesering mungkin untuk menggoda (atau mengusili) anak kita.

Namun cara ini tidak boleh sampai membuat anak menangis atau marah.

Jangan sampai mereka berpikir bahwa kita sama saja dengan teman-teman mereka.

Orangtua harus mengukur level godaan se-ringan mungkin. Baru nanti jika memungkinkan levelnya bisa ditingkatkan lagi.

2. Orangtua sebagai role model


Disadari atau tidak, bagaimana cara kita bersikap terhadap suatu hal, maka begitulah yang akan dicontoh oleh anak-anak kita.

Saat menghadapi suatu permasalahan, orangtua harus menunjukkan sikap percaya diri dan optimis.

Maka sikap yang sama juga akan diterapkan anak-anak saat menanggapi suatu hal.

3. Bersikap lembut dan sabar


Saat anak-anak sedang sensitif, orangtua sebaiknya tidak menanggapinya dengan kekerasan.

Hal ini justru akan memperburuk keadaan mereka.

Sebaliknya, perlakukan mereka dengan lembut dan sabar. Tunjukkan bahwa kita memahami mereka.

4. Benturkan dengan keadaan


Meski kita harus bersikap lembut dan sabar pada anak-anak,

namun ada saatnya dimana mereka harus dibenturkan dengan keadaan yang tidak mereka senangi.

Kita harus mengajarkan bahwa tidak semua harus berjalan sesuai dengan keinginan mereka.

Ada saat dimana mereka yang harus mengalah dan mengikuti aturan yang ada.

5. Jalin komunikasi yang intens


Terhadap anak-anak yang mudah tersinggung,

seringkali kita hanya harus membantu mereka untuk mengungkapkan perasaannya saat itu.

Jauh lebih baik jika mereka mengatakan “Aku tidak suka”, daripada langsung marah karena tersinggung.

Dengan membiasakan anak-anak untuk mengatakan yang dirasakan – bukan meluapkannya – akan membantu mereka untuk meredam emosinya.