Friday, September 23, 2016

Inilah 4 Kesalahan Kita Sebagai Seorang Pemimpin!


parenting, pendidikan anak, pendidikan karakter, pemmpin


Setiap kita adalah pemimpin.

Dan setiap pemimpin akan diminta pertanggung-jawabannya atas apa yang dipimpinnya.

Mengutip perkataan Mas Jaya Setiabudi – mentor bisnis sekaligus founder dari yukbisnis.com -

memimpin adalah seni “mengelus” dan “menampar”.

Artinya bahwa seorang pemimpin harus tahu betul kapan saatnya menyayang, mengapresiasi dan memuji,

serta tahu kapan saatnya menegur, menghukum dan bertindak tegas.

Tugas seorang pemimpin itu bukan cuma memerintah dan menyuruh.

Seorang pemimpin yang baik adalah mereka yang tidak hanya meletakkan wewenang di pundak anak buahnya,

namun juga mengajarkan kepada mereka bagaimana bertanggung jawab terhadap wewenang tersebut.

Orangtua,

adalah pemimpin di dalam keluarganya.

Sosok ayah dan ibu secara otomatis menjadi leader bagi anak-anak mereka.

Hal inilah yang mewajibkan mereka untuk memiliki kemampuan memimpin ini.

Seperti kita tahu bahwa di dalam ilmu kepemimpinan, kita mengenal dua hal penting yang menjadi bahan dasarnya,

yaitu PENGHARGAAN dan HUKUMAN.

Kedua hal ini tidak boleh dipisahkan, karena keduanya merupakan satu-kesatuan.

Salah satunya tidak bisa diterapkan tanpa melibatkan yang lainnya.

Sedangkan kedua-duanya juga tidak bisa dihadirkan tanpa ada proses panjang sebelumnya.

Yaitu proses pengajaran tentang nilai-nilai kebaikan dan keburukan.

Jika diibaratkan sebuah pohon, maka kita tidak bisa memetik buahnya sebelum menanamnya.

Kita tidak bisa langsung memuji atau menghukum sebelum anak-anak paham kenapa hal tersebut mereka terima.

Lebih jauh, ada 3 catatan penting terkait dengan kedua hal ini.

Pertama.

Memberikan penghargaan (reward) tidak harus diwujudkan dalam bentuk hadiah materi, sebagaimana hukuman-pun tidak selalu harus ditunjukkan dengan perlakuan yang kasar.

Perhargaan terhadap seorang anak bisa dilakukan dengan pujian yang tulus, perhatian yang penuh dengan kasih sayang, dsb.

Mereka yang diapresiasi dengan cara ini biasanya akan menjadi lebih termotivasi untuk bersikap loyal.

Sedangkan mereka yang selalu mendapat materi atas keberhasilannya, hanya akan menjadi manusia-manusia pengejar materi yang mengabaikan nilai moral dan etika.

Kedua.

Penerapan kedua hal ini tidak bisa di-generalisir pada semua anak.

Artinya bahwa penghargaan atau hukuman yang berhasil diterapkan pada seorang anak,

belum tentu sukses saat diaplikasikan untuk anak yang lain.

Karakteristik yang berbeda pada tiap-tiap anak mengharuskan orangtua untuk memberikan pujian dan teguran dengan cara dan porsi yang tepat.

Ketiga.

Perlu timing yang tepat.

Dalam buku 30 Strategi Mendidik Anak karya Dr. Musthafa Abu Sa’ad, disebutkan bahwa kesalahan umum yang dilakukan oleh para orangtua di dalam penerapan ‘Perhargaan dan Hukuman’ ini adalah ketidak-tepatan dalam penempatan waktunya.

Kenapa timing ini penting?

Karena kita tahu bahwa hal-hal yang sebenarnya baik, namun jika penyampaiannya tidak pada waktu yang tepat,

justru akan menjadi tampak buruk.

Di dalam buku tersebut disebutkan ada 4 kesalahan orangtua di dalam penyampaian ‘penghargaan’ dan ‘hukuman’ yang tidak pada waktu yang tepat.


1. Tidak memberikan penghargaan pada sikap baik anak


Si Ahmad yang berhasil lulus dengan nilai yang cukup baik, segera berlari pulang dan ingin menunjukkan ijazahnya kepada sang ayah.

“Ayah, aku lulus! Lihatlah nilaiku!”

Tetapi si ayah tidak menoleh dan menghentikan aktivitasnya. Si ayah malah berkata,

“Ayah masih sibuk, jangan diganggu. Ganti seragammu. Sesudah itu pergilah bermain.”

See,

Jika anda yang berada pada posisi Ahmad, bagaimana perasaan anda?

Jengkel?

Kecewa?

Marah?

Tentu saja.

Namun dampak yang lebih parah sebenarnya adalah si Ahmad kemungkinan akan kehilangan semangatnya untuk belajar.

Ia akan berpikir percuma saja belajar.

Toh, meski mendapat nilai baguspun tidak ada pengaruhnya apa-apa.

Jika anda pernah membaca Cara Menjadi Pendengar yang Baik Untuk Anak Dalam 4 Langkah!,

maka anda akan tahu betapa pentingnya mendengarkan anak.


2. Memberikan penghargaan untuk sikap buruk anak


Si Adi yang diajak ibunya berbelanja ke sebuah mall tertarik pada sebuah mainan yang tengah dipajang di etalase.

Adi meminta untuk dibelikan mainan tersebut, namun si ibu menolak.

Adi kemudian merengek-rengek dan menangis keras di tengah-tengah pengunjung mall.

Akhirnya, karena tidak tahan menjadi pusat perhatian, si ibu akhirnya mengalah,

“Ya sudah, ibu akan belikan mainan itu. Tapi kamu harus berhenti menangis.”

Apa yang dilakukan oleh si ibu adalah contoh yang salah.

Dengan memberikan apa yang diminta anak pada kondisi seperti di atas akan memberikan pemahaman kepada anak bahwa memang begitulah cara untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan.

Catatan ayahnulis tentang hal ini bisa anda baca pada tulisan yang berjudul Cara Tepat Mengatasi Anak yang Marah di Tempat Umum


3. Memberikan hukuman untuk sikap baik anak


Terdengar agak aneh ya? Tapi silahkan simak contoh berikut.

Saat ibunya sedang berada di luar rumah, Fatimah ingin memberikan sebuah kejutan untuk ibunya.

Ia lalu mengambil sapu dan membersihkan semua bagian rumah dan membuang kotorannya ke luar.

Saat ibunya datang, dengan bangga Fatimah mengatakan bahwa dirinya telah membersihkan rumah.

Namun si ibu justru memarahinya, “Kenapa kotorannya kamu buang di depan? Tuh, depan rumah jadi tampak kotor, kan?”

Fatimah yang mengira akan mendapat pujian harus kecewa karena yang diberikan ibunya justru ‘hukuman’ berupa kemarahan.

Sedangkan si ibu hanya melihat “kesalahan” yang dilakukan putrinya tanpa menimbang motif dibalik itu.

Tidak terburu-buru dalam menvonis anak adalah salah satu dari metode mengoreksi kesalahan anak. catatan selengkapnya bisa anda baca di sini.


4. Tidak memberikan hukuman untuk sikap buruk anak


Dua bersaudara terlibat pertengkaran dan perkelahian.

Meski kemudian terlihat kalau sang kakak meminta maaf pada adiknya, si ibu tetap meminta suaminya untuk memberi pengertian kepada mereka.

Namun si ayah justru tidak bereaksi apa-apa.

“Anak-anak itu memang begitu. Biarkan saja. Toh, nanti akan berbaikan dengan sendirinya.

Karena merasa dibela, jelas, sikap seperti ini akan memotivasi sang kakak untuk terus mengulangi perbuatan buruknya.

Sedangkan bagi sang adik yang merasa tidak pernah dibela justru akan memupuk sikap permusuhannya dengan sang kakak.

Singkatnya, membela dan menyalahkan salah satu,

atau membiarkan mereka begitu saja adalah sebuah langkah yang tidak bijak.

Perbuatan ini juga menjadi salah satu dari 9 alasan kenapa nasehat kita tidak didengarkan anak.

Yang harus dilakukan oleh orangtua adalah memahami penyebab pertengkaran tersebut dan menyikapinya dengan bijaksana dan se-adil mungkin.

Unknown

Author & Editor

Bukan seorang ayah yang sempurna. Hanya berusaha mewariskan sifat baik dan sikap positif untuk anak-anak kami.

0 komentar:

Post a Comment