Berbagi Ilmu Parenting

"Ajaklah anak-anakmu bermain pada usia tujuh tahun pertamanya. Disiplinkan mereka pada usia tujuh tahun keduanya. Dan bersahabatlah dengan mereka pada usia tujuh tahun ketiganya." (Ali bin Abi Thalib)

  • Kenali Potensinya

    Setiap orangtua harus mampu melihat dan mengenali bakat dan potensi yang dimiliki anak-anak mereka..

  • Kembangkan

    Orangtua harus memiliki cara untuk membantu anak-anak mereka dalam melejitkan bakat dan potensi tersebut..

  • Karakter

    Namun yang lebih penting dari semua itu adalah membangun mental dan karakter mereka, agar tidak mudah mengikuti begitu saja pendapat orang lain.

  • "Didiklah anak-anakmu sesuai dengan jamannya, karena ia bukan hidup di jamanmu."

    (Ali bin Abi Thalib)

    Artikel terUpdate

    Saturday, June 30, 2018

    Bangun Emotional Bonding dengan Anak-anak Sebelum Terlambat!

    emotional bonding, emotional bonding dengan anak, kedekatan emosi, kedekatan emosi dengan anak


    Di dalam kisah Nabi Yusuf alaihissalam, diceritakan ketika Yusuf muda sudah semakin matang kedewasaannya, maka semakin bertambahlah ketampanan dan kharisma wajahnya.

    Hal ini rupanya menyulut syahwat istri dari pembesar Mesir yang telah mengadopsinya.

    Hingga ketika nafsu itu sudah memegang kontrol atas dirinya, maka tanpa berpikir panjang istri dari pembesar Mesir tersebut melakukan tipu daya dengan menjebak Yusuf berada di dalam satu kamar dengannya. Ia mencoba memancing naluri kelelakian Yusuf.

    Al-Qur’an menyatakan bahwa sebenarnya Yusuf muda juga mulai terpancing godaan perempuan itu. Namun dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa pada saat itu tiba-tiba Yusuf teringat wajah sang ayah, Nabiyullah Ya’qub alaihissalam.Maka seketika itu juga luluhlah syahwatnya. Yusuf pun lolos dari perbuatan yang dilaknat oleh Allah subhanahu wa ta’ala.

    ***

    Pada tulisan Anak Perempuan Seharusnya Dekat dengan Siapa? dijelaskan bahwa pada usia menginjak remaja, anak laki-laki harus lebih dekat dengan sosok ayahnya.

    Bahkan jika dicermati, di dalam Al-Qur’an banyak sekali dialog-dialog yang terjadi antara ayah dan anak. Misalnya dialog antara Nabi Ibrahim dan Ismail, Nabi Ya’qub dan Yusuf, Luqman dan anaknya, termasuk juga Nabi Nuh dengan putranya. Dialog seorang ayah disebutkan tidak kurang dari 14 ayat, sementara dialog seorang ibu disebut hanya 2 kali saja.

    Hal ini mengindikasikan bahwa sosok ayah adalah figur yang harus memiliki emotional bonding yang kuat dengan anak-anak mereka. Kedekatan secara emosi ini akan sangat berpengaruh terhadap perkembangan karakter dan mental mereka nantinya.

    Dengan adanya emotional bonding yang kuat, maka anak-anak akan memiliki role model yang permanen, yaitu orangtua mereka sendiri.

    Dan jika orangtua sudah mampu menjadi contoh kongkrit bagi anak-anaknya, maka pengaruh-pengaruh negatif dari luar keluarga bisa diminimalisir.

    Maka pertanyaan selanjutnya, bagaimana cara kita membangun emotional bonding ini dengan anak-anak kita?

    Jawabannya hanya satu, yaitu menyediakan waktu untuk mereka. Yang hal ini tentu tidak bisa ditawar-tawar lagi.

    Ya, hanya dengan memberikan kebersamaan yang berkualitas-lah maka kedekatan antara orangtua dengan anak-anak akan terbangun.

    Tentu saja – meminjam istilah Elly Risman - kedekatan yang dimaksud bukan saja kedekatan kulit dengan kulit, melainkan kedekatan hati dengan hati. Sebab seringkali yang terjadi orangtua dan anak-anak terlihat dekat secara fisik, bahkan berada di dalam satu sofa atau satu meja, namun sebenarnya mereka tidak saling berinteraksi karena ternyata sibuk dengan gadget masing-masing.

    Berikut ini ada beberapa aktifitas dan kegiatan yang bisa diterapkan oleh para orangtua untuk membangun kedekatan emosional dengan anak-anak mereka.

    Study tour


    H-hee... jangan buru-buru menganggap ini adalah tugas guru atau pihak sekolah. Jangan pula beranggapan bahwa study tour ini pasti membutuhkan biaya yang besar.

    Study tour yang bisa diartikan dengan belajar sambil jalan-jalan atau jalan-jalan sambil belajar adalah kegiatan yang bisa kita lakukan bersama anak-anak.

    Kegiatan yang ini memang akan “menyita” banyak waktu kita. Namun jika kita bisa mensiasatinya, biaya yang keluar akan bisa ditekan. Kita tidak perlu harus pergi keluar kota atau ke tempat-tempat wisata. Jika dana mepet, kita bisa mengajak anak-anak untuk sekedar jalan-jalan ke alun-alun kota atau ke area CFD (Car Free Day). Cukup sediakan uang bensin dan parkir serta uang untuk jajanan ringan. It’s done!

    Kenapa kegiatan study tour ini bisa membangun emotional bonding antara orangtua dan anak-anak? Ada rahasianya...

    Sebenarnya kegiatan study tour alias mengajak bepergian ini cukup sering dilakukan oleh Rasulullah. Ibnu Abbas pernah menuturkan bahwa dirinya kerap diajak oleh Rasulullah untuk bepergian. Dan setiap kali bepergian, Rasulullah selalu menyelipkan nasehat-nasehat beliau.

    Bagi Ibnu Abbas, bepergian bersama Rasulullah adalah suatu hal yang menyenangkan. Maka ketika Rasulullah memberikan nasehat atau pembelajaran, maka hal itu akan terus terekam di dalam memorinya.

    Maka inilah rahasianya... Dalam keadaan senang, maka setiap nasehat kita akan selalu diingat oleh anak-anak kita.

    Jadi, jika berkesempatan untuk mengajak anak-anak bepergian, jangan lupa untuk selalu menyelipkan nasehat-nasehat kebaikan.

    Bermain bersama


    Selain yang disebut di atas, kegiatan lainnya yang bisa membangun kedekatan orangtua dan anak-anak adalah bermain bersama.

    Sayangnya, banyak orangtua yang memakai alasan pekerjaan sebagai alibi untuk lepas dari kewajiban memberikan quality time ini.

    Sepulang dari bekerja, alih-alih menyediakan waktu untuk bermain bersama anak-anak, para orangtua ini lebih  memilih untuk beristirahat agar esok bisa kembali bekerja. Begitu seterusnya... hingga hari libur tiba. Padahal anak-anak itu membutuhkan perhatian setiap hari, bukan seminggu sekali.

    Jika kita tidak memiliki waktu yang banyak untuk mereka, kita bisa mengadakan permainan-permainan sederhana di rumah. Percayalah, permainan seperti catur, halma atau monopoli bisa menjadi aktifitas yang menyenangkan bagi anak-anak. Bahkan aktifitas seperti bercerita bisa membangkitkan antusiasme anak-anak.

    Dan jangan lupa, dalam keadaan senang nasehat kita akan lebih mudah masuk. Dan hal ini bisa mendekatkan mereka – secara emosional – dengan kita.

    Mematikan ponsel


    Hal yang sangat sepele ini jangan pernah dianggap remeh. Karena pada kenyataannya, benda kecil inilah yang menjadi penyebab renggangnya hubungan antar anggota keluarga.

    Seorang guru di sebuah lembaga pendidikan dasar di USA pada salah satu sesi pengajarannya pernah meminta kepada para anak didiknya untuk menuliskan satu hal yang sangat tidak mereka inginkan.

    Maka salah seorang murid menuliskan bahwa diciptakannya ponsel adalah hal yang sangat tidak ia inginkan. Ia bahkan menambahkan tulisan di atas lembar tugas itu bahwa hadirnya ponsel telah menjauhkan orangtua darinya.

    Maka saat kita berada di rumah, sebisa mungkin gunakan waktu yang ada untuk bercengkerama bersama anak-anak. Matikan notifikasi ponsel dan tinggalkan sementara tugas-tugas kantor.

    Jika memang kita bekerja demi keluarga dan anak-anak, maka kenapa mereka yang harus menjadi korban dari pekerjaan kita?


    Catatan:
    “Se-loyal apapun kita terhadap pekerjaan dan se-fanatik apapun kita terhadap perusahaan, saat kita mati, maka perusahaan tidak akan pernah bersedih. Mereka akan langsung mencari pengganti kita. Sementara keluarga, merekalah yang akan terus mengenang dan mengingat kebaikan-kebaikan kita.” (Anonymous)

    Sunday, June 3, 2018

    4 Aturan Penting Sebelum Melibatkan Keluarga dalam Proses Pendidikan Anak

    orang lain dalam pendidikan anak, anggota keluarga lain


    Dalam sebuah seminar parenting yang sempat saya ikuti sekitar 2 tahun yang lalu, ada satu kalimat dari Pemateri yang membuat saya cukup terkejut.

    Saat itu beliau mengatakan begini,

    “Jika ingin anak-anak anda tumbuh menjadi anak-anak yang bermasalah, titipkan saja ke Mbah-nya.”

    Hal ini tentu menimbulkan sebuah pertanyaan,

    sebab biasanya, Mbah (baca: kakek-nenek) adalah anggota keluarga yang lebih kuat rasa sayangnya terhadap cucu-cucunya.

    Namun - oleh si pemateri - hal ini justru disebut-sebut sebagai penyebab banyaknya masalah yang timbul di dalam proses perkembangan karakter anak-anak.

    Seperti yang kita ketahui,

    bahwa sudah menjadi hal yang umum bagi keluarga urban, dimana ayah dan ibu sama-sama bekerja, maka menitipkan anak-anak ke kakek atau neneknya adalah sebuah pilihan yang menurut mereka, adalah pilihan terbaik.

    Untuk menjelaskan maksud dari pernyataan si pemateri di atas, ada sebuah ilustrasi yang menarik untuk disimak.

    ***

    Di sebuah pagi yang sibuk, si ibu yang sudah terlambat untuk berangkat bekerja, dengan terburu-buru menyalakan mesin motornya.

    Si ibu lantas berpesan singkat kepada sang anak, yang setiap hari dititipkan di rumah kakek dan neneknya,
    bahwa ia tidak boleh nakal dan tidak boleh membeli es.

    Namun tidak lama setelah itu, lewatlah seorang penjual es keliling di depan rumah sambil menjajakan dagangannya.

    Sang anak kemudian merengek minta dibelikan es tersebut.

    Si ibu yang teguh dengan pendiriannya menolak permintaan sang anak.

    Sang anak pun menangis...

    Mendengar tangisan sang cucu di pagi hari, keluarlah si nenek dari dalam rumah, mencoba menenangkan dan mencari tahu penyebab tangisan sang cucu.

    Merasa mendapat “bantuan” dari si nenek, tangis sang anak pun menjadi-jadi.

    Akhirnya, si kakek pun merasa harus ikut keluar untuk mengkondisikan keadaan.

    Selanjutnya sambil mengeluarkan selembar uang lima ribuan, si kakek berkata dengan wibawanya,

    “Sudah, sudah, gak usah nangis lagi. Ini ambil, buat beli es.”

    Dan tangis sang cucu pun berhenti-lah.

    Masalah di pagi hari itu pun selesai-lah.

    ***

    Disadari atau tidak,

    kita seringkali menemukan banyak sekali kejadian-kejadian serupa pada keluarga dimana anak-anak diasuh secara langsung oleh mbah-nya.

    Tidak sulit menemukan contoh kasus ketika orangtua melarang sesuatu kepada anak, namun justru dengan serta-merta diijinkan oleh si mbah.

    Atau sebaliknya, ketika orangtua menyuruh anak melakukan sesuatu, namun si mbah malah melarangnya dengan alasan kasihan, atau masih terlalu kecil, dan sebagainya.

    Jelas, yang terjadi adalah penggembosan.

    Hal ini terjadi karena tidak sejalannya metode pendidikan antara orangtua dan si mbah.

    Atau dengan kata lain,

    tidak adanya kesamaan visi dan misi diantara keduanya.

    Proses pendidikan yang seperti inilah yang akan membuat perkembangan mental dan karakter anak-anak menjadi rusak.

    Mereka akan menjadi tumbuh anak-anak dengan tipikal pemberontak, pengecut dan miskin tanggung jawab.

    Saat mereka diminta atau dilarang melakukan sesuatu yang tidak mereka senangi, maka berlindung di bawah ketiak kakek-nenek adalah solusinya.

    Atau saat itu mereka akan mengiyakan saja perintah atau larangan tersebut,

    namun saat orangtua sudah tidak ada mereka akan melakukan hal yang sebaliknya karena mereka yakin bahwa kakek dan neneknya akan senatiasa melindunginya.

    Lalu bagaimana bisa anak-anak dengan mental seperti ini menjadi seorang pemimpin?

    Melihat yang seperti ini,

    maka hal paling ideal di dalam proses pendidikan anak-anak adalah tetap memposisikan mereka di bawah asuhan (baca: pendidikan) orangtuanya sendiri,

    tanpa campur tangan dari anggota keluarga lain.

    Namun jika hal tersebut mustahil dilakukan, dan harus melibatkan anggota keluarga lain di dalam proses pendidikan anak-anak,

    maka ada satu hal yang paling penting yang harus dilakukan oleh para orangtua, yaitu menyamakan visi dan misi keluarga.

    Di dalam artikel tentang kunci memilih sekolah yang tepat untuk anak-anak,

    di sana disimpulkan bahwa yang menjadi faktor penentu keberhasilan pendidikan adalah sejajarnya visi dan misi antara pihak pendidik di sekolah dan pihak orangtua di rumah.

    Namun untuk menuju ke arah sana,

    satu hal yang terlebih dahulu harus dilakukan adalah mensejajarkan visi dan misi di-intern anggota keluarga itu sendiri.

    Sebab tidak mungkin kerjasama dengan pihak luar akan terbentuk, jika diantara anggota keluarga tersebut tidak satu suara.

    Lalu bagaimana cara untuk membangun kesamaan visi dan misi diantara sesama anggota keluarga?

    Kami mencatat setidaknya ada 4aturan yang harus diterapkan, yaitu:

    Menentukan target yang jelas


    Hampir mustahil menyatukan banyak ide dan metode jika kemauannya berbeda-beda.

    Misalnya, si Ayah ingin sang anak menjadi seorang arsitek. Sementara si Ibu ingin agar si anak menjadi dokter saja. Si kakek dan nenek justru ingin cucunya menjadi seorang atlit.

    Jika masing-masing menganggap bahwa ‘keinginan’nya adalah ‘target’,

    jelas yang akan menjadi korban kebingungan adalah si anak.

    Maka perlu adanya penyatuan target yang jelas. (Mau dibawa kemana anak ini? Mau didik dan dibentuk seperti apa nantinya?)

    Dalam hal penentuan target ini tidak bisa dilakukan sepihak saja. Untuk itu, perlu dilakukan aturan yang kedua, yaitu:

    Komunikasi yang baik


    Komunikasi dua arah yang dibangun dengan baik akan menciptakan situasi yang kondusif di dalam keluarga.Setiap pihak boleh mengutarakan pendapatnya dengan tetap mempertimbangkan pendapat pihak lainnya.

    Yang cukup penting di sini adalah untuk selalu menyampaikan apa maksud dari keinginan kita sebelum melakukan hal-hal teknisnya.

    Jika tujuan kita menyuruh atau melarang si anak melakukan sesuatu dipahami dengan baik oleh anggota keluarga yang lain,

    maka tidak akan terjadi penggembosan lagi.

    Dan agar komunikasi ini berhasil, maka diperlukan aturan yang ketiga:

    Mau untuk saling mengalah


    Perlu disadari bahwa anak-anak bukanlah sebuah benda mati yang bisa dengan seenaknya sendiri diatur begini dan begitu.Pada saatnya nanti, ketika kedewasaannya telah matang, ia akan bisa menentukan jalan hidupnya sendiri.

    Namun agar tidak salah jalan, kita sebagai keluarga terdekatnya wajib memberikan rambu-rambu dan arahan yang bisa dipahaminya dengan baik.

    Karena itu memaksakan keinginan kita kepada anak-anak, hanya akan menjadikan hidup mereka semakin berat.

    Jadi biarkan mereka memahami, keuntungan dan konsekuensinya. Lalu biarkan mereka memilih.

    Okelah, mungkin si anak tidak perlu menjadi seorang atlit. Tapi dia tetap harus berolah raga dengan teratur agar bisa menjadi seorang arsitek atau dokter yang sehat.Ini hanya satu contoh saja.

    Aturan selanjutnya yang tidak kalah penting adalah,

    Berdoa


    Kemampuan kita sebagai orangtua itu terbatas.

    Maka kita memerlukan support langsung dari Dia yang maha berkuasa untuk membolak-balikkan hati.

    Mungkin kita merasa bahwa (karena adanya perbedaan usia, kultur, dsb.) tidak mungkin menyatukan visi dan misi dengan anggota keluarga yang lain di dalam proses pendidikan anak-anak kita.

    Namun jika Dia sudah berkehendak, maka tidak ada yang tidak mungkin.

    Saya jadi teringat ucapan salah seorang guru saya bahwa Allah itu Maha Kuasa. Jika Dia menghendaki sesuatu, maka hanya dengan mengatakan Kun (jadi!), maka jadilah!

    “Maka jika kita sedang berharap akan sesuatu, deketin Allah. Dapatkan Kun-nya!”


    Ingin Membekali Anak dengan Gadget? Penuhi 3 Syarat Ini!

    memberikan ponsel, sebuah hape untuk anak


    Sebuah video yang sempat menjadi viral beberapa waktu yang lalu memperlihatkan seorang anak yang dengan santainya menonton video porno pada gawai yang dipegangnya,

    padahal saat itu ia sedang berada di samping ibunya!

    Si ibu yang tampak sedang duduk menunggu sesuatu itu tidak menyadari kalau anaknya tengah mengakses konten yang sangat membahayakan bagi perkembangan mentalnya kelak.

    Sebuah video yang lainnya menayangkan sepasang siswa sekolah dasar yang “bergulat” layaknya suami-istri, dengan ditonton belasan teman-temannya.

    Sungguh sebuah fakta yang memprihatinkan...

    Sayangnya, contoh-contoh di atas hanyalah sebagian kecil saja dari dampak penyalahgunaan teknologi.  Masih banyak lagi perilaku-perilaku yang lebih parah dan jauh di luar ekspektasi kita sebagai orang dewasa.

    Kemudahan mengakses internet menjadikan anak-anak begitu mudah terpengaruh dan meniru apa saja yang dilihatnya.

    Namun bagaimanapun juga kita tidak bisa menafikan manfaat dan kemudahan yang bisa diberikan oleh sebuah teknologi internet.

    Hal-hal yang tadinya harus dilakukan dalam waktu yang cukup lama, sekarang bisa dilakukan hanya dalam hitungan menit saja.

    Pekerjaan yang sebelumnya harus dilakukan oleh beberapa orang, sekarang cukup satu atau dua orang saja untuk meng-handlenya.

    Saya masih ingat waktu masih di sekolah dasar dulu. Kami mendapat tugas untuk membuat kliping tentang bunga-bunga yang tumbuh di Indonesia.

    Saat itu kami harus rela hunting koran-koran dan majalah bekas untuk mencari gambar bunga yang dimaksud. Butuh berhari-hari untuk melakukan hal tersebut.

    Setelah itu kami harus mengguntingnya dan menempelkannya satu demi satu pada sebuah lembaran kertas.

    Tapi itu dulu...

    Sekarang sudah berbeda keadaannya. Anak-anak cukup mengakses Mesin Pencari dan mengetikkan sejumlah kata kunci,

    dan secara ajaib, tugas selesai dalam sekejab.


    Perkembangan internet di Indonesia dan tugas orangtua di masa kini


    Berdasarkan survey yang dilakukan oleh Asosiasi Penyelenggara Jaringan Internet Indonesia (APJII) di tahun 2016, tercatat sekitar 132,7 juta orang adalah pengguna internet aktif. Hal ini menunjukkan bahwa lebih dari setengah penduduk Indonesia sudah melek teknologi.

    Dan jika dibandingkan dengan pengguna internet di tahun 2014 yang hanya 88 juta orang, berarti ada peningkatan yang sangat signifikan, yaitu sekitar 50,8 persen.

    Dan ini menempatkan Indonesia sebagai negara pengguna internet keenam di dunia!

    Dari data yang diambil di tahun 2016 tersebut, 18,4 persennya adalah pengguna anak-anak dengan rentang usia antara 10 – 24 tahun.Dan jumlah tersebut hampir bisa dipastikan meningkat hingga 10 persen per tahunnya.

    Menyadari fenomena yang masih akan terus berkembang ini,

    setuju atau tidak, kita - sebagai orangtua - harus mempersiapkan anak-anak kita,membekali mereka dengan kemampuan untuk menghadapi tantangan di masa mendatang.

    Sebuah ungkapan bijak berbunyi,

    “Didiklah anak-anakmu sesuai dengan jamannya, karena mereka tidak hidup di jamanmu.”

    Maka memperkenalkan dan mengajarkan teknologi internet kepada mereka menjadi sebuah hal yang mendesak untuk dilakukan. Hal ini agar anak-anak itu mampu menggunakan sumber daya tersebut sebagai cara untuk bisa bertahan dari pesatnya perkembangan jaman.

    Karena itulah sebagian orangtua kemudian berinisiatif membekali anak-anak mereka dengan ponsel atau smartphone.

    Namun yang harus dicatat adalah, memberikan sebuah gawai (baca: kemudahan mengakses internet) tanpa diiringi dengan kesadaran berinternet yang sehat justru akan menjerumuskan anak-anak kita ke dalam pengaruh buruk yang timbul akibat penyalahgunaan internet.

    Maka agar anak-anak bisa mendapatkan manfaat, sekaligus terhindar dari dampak buruk akibat penyalahgunaan internet,

    orangtua perlu memenuhi beberapa aturan sebagai bekal untuk mengantisipasi hal-hal tersebut.

    Ada  setidaknya 3 syarat utama yang harus dipenuhi oleh orangtua sebelum mempercayakan sebuah gawai di tangan anak-anak mereka.

    1. Orangtua sebagai pengajar


    Apa yang harus diajarkan?

    Hal pertama yang harus dilakukan oleh setiap orangtua yang berencana membekali anak-anak mereka dengan sebuah gawai adalah,

    mengajarkan bagaimana berakhlak dan bertanggung jawab terhadap konsekuensi dari apa yang bisa ia lakukan dengan alat tersebut.

    Kita menyadari bahwa konten-konten yang tersebar di internet – baik itu positif atau negatif – ibarat sebuah siklus yang terus berulang.

    Ketika sebuah konten menjadi viral, maka hal tersebut bisa menginspirasi orang lain untuk meniru, mempraktekkan atau membuat yang serupa.

    Lalu setelah praktek yang serupa tersebut di rekam dan diunggah, maka hal ini sangat mungkin ditiru dan dipraktekkan oleh orang yang lainnya juga. Dan begitu seterusnya.

    Maka dengan menanamkan akhlak dan rasa tanggung jawab kepada diri anak-anak kita, mereka akan menjadi lebih berhati-hati ketika mendapati sebuah konten di internet. Mereka bisa memilih mana yang bermanfaat dan mana yang merusak. Mana yang bagus untuk diunggah dan mana yang tidak pantas untuk disebarkan.

    Selain itu, orangtua juga harus mengajarkan kepada anak-anak mereka bagaimana menjaga privasi dan etika bergaul di dunia maya.

    Ajarkan anak-anak agar tidak sembarangan membagikan kontak, alamat rumah atau sekolah, foto-foto pribadi atau keluarga dan data-data lainnya yang hanya boleh diketahui oleh orang-orang tertentu saja.

    Etika bergaul, terutama di sosmed juga harus diajarkan kepada mereka. Bagaimana seharusnya bersikap, berbicara dan merespon orang lain agar mereka terselamatkan dari bullying dan fitnah.

    2. Orangtua sebagai pengawas


    Meski pengguna gawai tersebut adalah anak-anak kita, namun kontrol haruslah tetap pada orangtua. Bukan sebaliknya.

    Orangtua berkuasa memberikan aturan-aturan terhadap penggunaan gawai tersebut. Orangtuabisa membatasi kapan mereka boleh menggunakan gadget tersebut untuk berinternet dan berapa lama durasinya.

    Kita harus memahami bahwa bersosialiasi dengan teman-teman sebayanya di dunia nyata juga penting untuk membentuk karakter dan mental mereka. Jadi jangan biarkan anak-anak kita “terkurung” dengan gadgetnya dalam waktu yang cukup lama.

    Tentu saja, orangtua juga harus memberikan contoh kongkrit bagaimana menggunakan gadget dengan wajar saat berada di rumah.

    3. Orangtua sebagai teman yang menyenangkan


    Sebuah eksperimen sederhana yang dilakukan oleh seorang guru di Lousiana, USA menyatakan bahwa 19,1 persen siswanya berharap agar teknologi ponsel tidak pernah terciptakan.

    Mereka mengaku tidak menyukai ponsel karena orangtua mereka menjadi terpaku kepada ponsel dan mengabaikan keberadaan anak-anak mereka.

    Kita tentu sepakat bahwa keluarga adalah sekolah pertama bagi anak-anak, karena dari sinilah pembentukan karakter bermula.

    Sejak awal orangtua dan keluarga sudah melibatkan diri di dalam pendidikan anak-anak mereka. Namun seiring perkembangan usia mereka menjadi jauh dari pendidikan keluarga.

    Novita Tandry, seorang psikolog anak pernah mengatakan bahwa ketika anak-anak itu sudah menginjak usia remaja, maka sesungguhnya instrumen pembentuk karakter mereka seperti rasa sosial, empati dan juga reliji sudah 70 persen terbangun.

    Hanya kemudian yang disayangkan,

    pada saat itu yang menjadi role model mereka bukan lagi orangtua, melainkan teknologi. Dalam hal ini, Youtube dan Google.

    Kenapa mereka menjauh dari orangtua, melupakan pendidikan keluarganya dan lebih suka berinteraksi dengan internet?

    Jawabannya,

    karena orangtua mereka tidak lagi “keren” untuk dijadikan teman. Para orangtua lebih fokus dengan smartphone dan tidak pernah lagi meluangkan waktu untuk menjadi lebih dekat dengan anak-anaknya.

    Di dalam artikel sebelumnya, saya pernah menuliskan bahwa diantara penyebab kenapa anak-anak tidak mau meneladani orangtua mereka,

    adalah kurangnya kedekatan orangtua dengan anak-anaknya.Tidak tumbuhnya emotional bonding antara orangtua dengan anak menyebabkan anak mencari figur-figur lain untuk diikuti.

    Buya Hamka di dalam Tasawwuf Modern-nya pernah menuliskan bahwa,

    “Berteman dengan orang yang bodoh tapi tidak pernah bermaksiat lebih baik daripada berteman dengan orang yang pintar tapi suka bermaksiat.”

    Artinya bahwa, figur-figur lain yang diikuti oleh anak-anak kita itu bisa jadi adalah figur-figur yang berpotensi menularkan pengaruh-pengaruh yang merusak.

    Karena itu penting untuk dicamkan,

    bahwa sesibuk apapun dan secapek bagaimanapun kita, ada satu kewajiban yang tidak boleh luput kita tunaikan. Yaitu memberikan waktu yang berkualitas untuk keluarga.

    Tidak harus lama, namun bisa cukup berkesan untuk anak-anak kita.

    Pelukan yang tulus, dongeng menjelang tidur, komunikasi yang menyenangkan adalah hal-hal sederhana dan tidak butuh waktu lama yang bisa kita lakukan untuk membangun quality time tersebut.

    Dengan kedekatan yang kuat serta komunikasi yang terbuka antara anak-anak dengan orangtuanya, maka pengaruh-pengaruh buruk dari luar akan bisa ditepis.

    #sahabatkeluarga



    Tuesday, May 1, 2018

    Kunci Memilih Sekolah yang Tepat untuk Anak-anak

    tips memilih sekolah, ciri sekolah yang tepat


    Setiap mendekati pertengahan tahun seperti ini, para orangtua yang memiliki anak-anak yang telah lulus SD atau SMP akan terlihat sibuk mempersiapkan dan memilihkan sekolah untuk anak-anak mereka.

    Dari pihak sekolah pun tak kalah bombastisnya promosi mereka. Semuanya mengklaim sebagai lembaga yang paling tepat untuk putra-putri kita dengan se-abrek fasilitas dan trofi-trofi yang dipamerkan. Seolah-olah mereka mengatakan, “Kamilah yang terbaik!”

    Yah, kita harus menyadari, memang tidak ada kecap no. 2. H-haa...

    ***

    Sebagai orangtua, kita tentu memiliki harapan bahwa anak-anak kita akan menjadi manusia-manusia yang sukses nantinya. Bisa sukses di bidang dunianya, pun sukses di bagian akhiratnya.

    Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengisyaratkan bahwa jika kita ingin beruntung di dunia atau di akhirat, atau bahkan sukses di keduanya...

    ... haruslah dengan ilmu.

    Karena itulah, pendidikan adalah satu-satunya pintu yang mesti dilalui.

    Prof. Thomas Lickona - yang disebut-sebut sebagai Bapak Pendidikan Dunia - mengatakan bahwa pendidikan yang benar seharusnya memiliki 2 tujuan.

    Yaitu membuat orang menjadi pintar,

    dan membuat orang menjadi baik.

    Karena itu beliau menyebut ada 5 pilar pendidikan yang utama, yaitu

    Membaca – Menulis – Berhitung – Rasa Hormat – Tanggung Jawab

    Senada dengan hal itu, Imam al-Ghazali rahimahullah pernah mengatakan,

    “Pendidikan adalah (proses) menghilangkan sifat-sifat yang buruk dan menanamkan sifat-sifat yang baik.”

    Maka jika boleh kita simpulkan,

    bahwa sifat-sifat yang baik – yang biasa disebut akhlak - bisa dijadikan tolok ukur apakah pendidikan tersebut berhasil atau tidak.

    Bahkan pendidikan akhlak ini haruslah menjadi prioritas utama sebelum berproses pada pendidikan akademis.

    Karena itu jika berbicara mengenai pendidikan (dan akhlak) anak-anak kita,

    maka pikiran kita tidak boleh terfokus pada sekolah-sekolah formal saja. Ada banyak sekolah-sekolah dan lembaga non-formal yang bisa dijadikan referensi.


    Fenomena Absurd di Sekitar Kita


    Sebelum berbicara lebih banyak tentang pendidikan akhlak vs pendidikan akademis,

    kita bisa sejenak berkeliling di jalan raya yang ada di kota-kota besar.

    Jika kita mau memasang mata untuk mengamati, maka akan banyak kita temukan fenomena-fenomena memalukan yang nyata-nyata dilakukan oleh orang-orang yang “berpendidikan”.

    Kita masih sering melihat orang yang menyeberang jalan tidak pada zebra cross atau tempat penyeberangan yang ditentukan.

    Apakah mereka tidak tahu bahwa hal tersebut salah?

    Tahu.

    Kita juga masih kerap melihat orang yang dengan mudahnya membuang sampah di sembarang tempat. Bahkan membuang tisu bekas dari dalam mobil ke jalan raya, begitu saja.

    Apakah mereka tidak tahu kalau perbuatan tersebut tidak semestinya dilakukan?

    Tahu.

    Menerobos lampu merah atau palang kereta api juga tidak akan habis untuk dibicarakan.

    Pelakunya tahu kalau itu melanggar peraturan dan berbahaya.

    Tapi kenapa perilaku seperti ini masih saja subur di negeri ini?

    Jawabannya tidak lain dan tidak bukan adalah karena kesalahan sistem pengajaran yang dianut di lembaga-lembaga pendidikan di sekitar kita.

    Sistem pengajaran yang banyak diaplikasikan oleh sekolah-sekolah dan lembaga pendidikan kita adalah sistem pengajaran KNOWING.

    Sistem pengajaran berbasis “Knowing” adalah sistem pengajaran yang hanya terfokus pada pemberian informasi dan data.

    Anak-anak didik dengan sistem pengajaran “Knowing” ini hanya diajari untuk “tahu”. Atau lebih tepatnya, “sekedar tahu”.

    Bagaimana seharusnya menyeberang di jalan raya, mereka tahu.

    Bahwa membuang sampah seharusnya di tempat sampah, mereka juga paham.

    Akan tetapi semua itu tidak pernah ada penerapannya secara nyata dalam keseharian mereka.

    Informasi-informasi itu mengajarkan anak-anak didik untuk menjadi “tahu”, tapi tak pernah merangsang mereka untuk menjadi “mau”.

    Sedangkan sistem pengajaran berikutnya adalah sistem pengajaran BEING.

    Yaitu sistem pengajaran yang tidak hanya mengajarkan pengetahuan, namun juga menjadikannya kebiasaan.

    Sistem pengajaran yang terakhir inilah yang mampu membentuk karakter positif pada diri anak-anak itu.

    Mereka tidak hanya tahu bahwa hal itu benar,

    namun mereka juga membawa pengetahuan itu ke dalam kehidupan mereka sehari-hari.

    ***

    Maka memilihkan anak-anak kita dengan sekolah yang menerapkan sistem pengajaran berbasis “Being” seperti ini memang bukan perkara yang mudah.

    Kita tentu butuh referensi dari banyak jalur.

    Namun biasanya ada satu pola yang bisa diamati di dalam memilih lembaga pendidikan ini.


    Kesamaan Visi dan Misi


    Diantara hal-hal yang bisa menjadi faktor penentu keberhasilan sebuah pendidikan adalah samanya visi antara pihak pendidik dan pihak orangtua.

    Dalam satu hari, anak-anak berada di sekolah dan mendapat pengajaran di sana paling banyak sekitar 6 atau 8 jam.

    Ini berarti sisa waktu terbanyak yang dimiliki anak-anak adalah di lingkungan rumahnya (baca: lingkungan keluarga).

    Maka akan menjadi suatu hal yang tidak sinkron ketika pihak pendidik mengajarkan kebaikan, sementara di rumah orangtua melakukan pembiaran terhadap perilaku buruk anak-anak.

    Karena itulah penting untuk mensejajarkan visi dan misi antara pihak pendidik dan orangtua.

    Jika di sekolah anak-anak diajarkan A, maka di rumah pun mereka diajarkan A.

    Sehingga akan tercipta kesinambungan pada proses pendidikan mereka, yang hal itu akan membentuk karakter yang mengakar pada diri anak-anak.

    Maka jika mencermati teori di atas,

    sekolah atau lembaga pendidikan yang menganut sistem pengajaran BEING biasanya akan aktif untuk mengkomunikasikan agenda kegiatan, perkembangan dan permasalahan yang dihadapi anak-anak,

    entah melalui buku penghubung, grup WA,

    maupun melalui kegiatan-kegiatan yang melibatkan orangtua dan pihak pendidik secara interaktif, seperti pengajian atau seminar parenting, ruang konsultasi, family gathering, dan sebagainya.

    Semua aktifitas itu dimaksudkan untuk membangun kepercayaan dan samanya pemikiran antara lembaga dan orangtua.

    Sebaliknya, orangtua juga bisa mendiskusikan kelemahan yang ada pada diri anak-anaknya,
    sehingga para pendidik di sekolah tahu “apa” yang sedang mereka hadapi.

    Dengan analogi sederhana mungkin bisa dikatakan bahwa orangtua harus menjadi “mata” bagi para pendidik saat anak-anak di rumah,

    dan para pendidik harus menjadi “mata” orangtua saat mereka berada di sekolah.


    Akhlak adalah Tolok Ukurnya


    Seperti yang sudah sempat disinggung di atas, bahwa karakter yang positif

    hendaklah menjadi tolok ukur utama atas berhasilnya sebuah proses pendidikan.

    Karena itu, sekolah-sekolah yang menerapkan sistem pengajaran “Being” tidak pernah menilai anak-anak berdasarkan ranking.

    Tapi bukan berarti sekolah semacam ini memiliki standar nilai yang rendah. Bukan seperti itu.

    Justru pada akhirnya nanti karakter baik anak-anak itulah yang akan menjadikan mereka mudah menjadi pribadi-pribadi yang cerdas.

    Sebuah kata bijak berbunyi begini,

    “Mengarahkan orang yang benar menjadi pintar, itu mudah. Tapi mengarahkan orang yang pintar menjadi benar, itu yang susah.”

    Karena ketika seseorang itu sudah merasa dirinya pintar, maka ia akan cenderung meremehkan apa yang ada disekitarnya.

    Maka sekolah dengan sistem pengajaran BEING akan lebih memprioritaskan akhlak daripada prestasi akademis.