Sunday, June 3, 2018

4 Aturan Penting Sebelum Melibatkan Keluarga dalam Proses Pendidikan Anak

orang lain dalam pendidikan anak, anggota keluarga lain


Dalam sebuah seminar parenting yang sempat saya ikuti sekitar 2 tahun yang lalu, ada satu kalimat dari Pemateri yang membuat saya cukup terkejut.

Saat itu beliau mengatakan begini,

“Jika ingin anak-anak anda tumbuh menjadi anak-anak yang bermasalah, titipkan saja ke Mbah-nya.”

Hal ini tentu menimbulkan sebuah pertanyaan,

sebab biasanya, Mbah (baca: kakek-nenek) adalah anggota keluarga yang lebih kuat rasa sayangnya terhadap cucu-cucunya.

Namun - oleh si pemateri - hal ini justru disebut-sebut sebagai penyebab banyaknya masalah yang timbul di dalam proses perkembangan karakter anak-anak.

Seperti yang kita ketahui,

bahwa sudah menjadi hal yang umum bagi keluarga urban, dimana ayah dan ibu sama-sama bekerja, maka menitipkan anak-anak ke kakek atau neneknya adalah sebuah pilihan yang menurut mereka, adalah pilihan terbaik.

Untuk menjelaskan maksud dari pernyataan si pemateri di atas, ada sebuah ilustrasi yang menarik untuk disimak.

***

Di sebuah pagi yang sibuk, si ibu yang sudah terlambat untuk berangkat bekerja, dengan terburu-buru menyalakan mesin motornya.

Si ibu lantas berpesan singkat kepada sang anak, yang setiap hari dititipkan di rumah kakek dan neneknya,
bahwa ia tidak boleh nakal dan tidak boleh membeli es.

Namun tidak lama setelah itu, lewatlah seorang penjual es keliling di depan rumah sambil menjajakan dagangannya.

Sang anak kemudian merengek minta dibelikan es tersebut.

Si ibu yang teguh dengan pendiriannya menolak permintaan sang anak.

Sang anak pun menangis...

Mendengar tangisan sang cucu di pagi hari, keluarlah si nenek dari dalam rumah, mencoba menenangkan dan mencari tahu penyebab tangisan sang cucu.

Merasa mendapat “bantuan” dari si nenek, tangis sang anak pun menjadi-jadi.

Akhirnya, si kakek pun merasa harus ikut keluar untuk mengkondisikan keadaan.

Selanjutnya sambil mengeluarkan selembar uang lima ribuan, si kakek berkata dengan wibawanya,

“Sudah, sudah, gak usah nangis lagi. Ini ambil, buat beli es.”

Dan tangis sang cucu pun berhenti-lah.

Masalah di pagi hari itu pun selesai-lah.

***

Disadari atau tidak,

kita seringkali menemukan banyak sekali kejadian-kejadian serupa pada keluarga dimana anak-anak diasuh secara langsung oleh mbah-nya.

Tidak sulit menemukan contoh kasus ketika orangtua melarang sesuatu kepada anak, namun justru dengan serta-merta diijinkan oleh si mbah.

Atau sebaliknya, ketika orangtua menyuruh anak melakukan sesuatu, namun si mbah malah melarangnya dengan alasan kasihan, atau masih terlalu kecil, dan sebagainya.

Jelas, yang terjadi adalah penggembosan.

Hal ini terjadi karena tidak sejalannya metode pendidikan antara orangtua dan si mbah.

Atau dengan kata lain,

tidak adanya kesamaan visi dan misi diantara keduanya.

Proses pendidikan yang seperti inilah yang akan membuat perkembangan mental dan karakter anak-anak menjadi rusak.

Mereka akan menjadi tumbuh anak-anak dengan tipikal pemberontak, pengecut dan miskin tanggung jawab.

Saat mereka diminta atau dilarang melakukan sesuatu yang tidak mereka senangi, maka berlindung di bawah ketiak kakek-nenek adalah solusinya.

Atau saat itu mereka akan mengiyakan saja perintah atau larangan tersebut,

namun saat orangtua sudah tidak ada mereka akan melakukan hal yang sebaliknya karena mereka yakin bahwa kakek dan neneknya akan senatiasa melindunginya.

Lalu bagaimana bisa anak-anak dengan mental seperti ini menjadi seorang pemimpin?

Melihat yang seperti ini,

maka hal paling ideal di dalam proses pendidikan anak-anak adalah tetap memposisikan mereka di bawah asuhan (baca: pendidikan) orangtuanya sendiri,

tanpa campur tangan dari anggota keluarga lain.

Namun jika hal tersebut mustahil dilakukan, dan harus melibatkan anggota keluarga lain di dalam proses pendidikan anak-anak,

maka ada satu hal yang paling penting yang harus dilakukan oleh para orangtua, yaitu menyamakan visi dan misi keluarga.

Di dalam artikel tentang kunci memilih sekolah yang tepat untuk anak-anak,

di sana disimpulkan bahwa yang menjadi faktor penentu keberhasilan pendidikan adalah sejajarnya visi dan misi antara pihak pendidik di sekolah dan pihak orangtua di rumah.

Namun untuk menuju ke arah sana,

satu hal yang terlebih dahulu harus dilakukan adalah mensejajarkan visi dan misi di-intern anggota keluarga itu sendiri.

Sebab tidak mungkin kerjasama dengan pihak luar akan terbentuk, jika diantara anggota keluarga tersebut tidak satu suara.

Lalu bagaimana cara untuk membangun kesamaan visi dan misi diantara sesama anggota keluarga?

Kami mencatat setidaknya ada 4aturan yang harus diterapkan, yaitu:

Menentukan target yang jelas


Hampir mustahil menyatukan banyak ide dan metode jika kemauannya berbeda-beda.

Misalnya, si Ayah ingin sang anak menjadi seorang arsitek. Sementara si Ibu ingin agar si anak menjadi dokter saja. Si kakek dan nenek justru ingin cucunya menjadi seorang atlit.

Jika masing-masing menganggap bahwa ‘keinginan’nya adalah ‘target’,

jelas yang akan menjadi korban kebingungan adalah si anak.

Maka perlu adanya penyatuan target yang jelas. (Mau dibawa kemana anak ini? Mau didik dan dibentuk seperti apa nantinya?)

Dalam hal penentuan target ini tidak bisa dilakukan sepihak saja. Untuk itu, perlu dilakukan aturan yang kedua, yaitu:

Komunikasi yang baik


Komunikasi dua arah yang dibangun dengan baik akan menciptakan situasi yang kondusif di dalam keluarga.Setiap pihak boleh mengutarakan pendapatnya dengan tetap mempertimbangkan pendapat pihak lainnya.

Yang cukup penting di sini adalah untuk selalu menyampaikan apa maksud dari keinginan kita sebelum melakukan hal-hal teknisnya.

Jika tujuan kita menyuruh atau melarang si anak melakukan sesuatu dipahami dengan baik oleh anggota keluarga yang lain,

maka tidak akan terjadi penggembosan lagi.

Dan agar komunikasi ini berhasil, maka diperlukan aturan yang ketiga:

Mau untuk saling mengalah


Perlu disadari bahwa anak-anak bukanlah sebuah benda mati yang bisa dengan seenaknya sendiri diatur begini dan begitu.Pada saatnya nanti, ketika kedewasaannya telah matang, ia akan bisa menentukan jalan hidupnya sendiri.

Namun agar tidak salah jalan, kita sebagai keluarga terdekatnya wajib memberikan rambu-rambu dan arahan yang bisa dipahaminya dengan baik.

Karena itu memaksakan keinginan kita kepada anak-anak, hanya akan menjadikan hidup mereka semakin berat.

Jadi biarkan mereka memahami, keuntungan dan konsekuensinya. Lalu biarkan mereka memilih.

Okelah, mungkin si anak tidak perlu menjadi seorang atlit. Tapi dia tetap harus berolah raga dengan teratur agar bisa menjadi seorang arsitek atau dokter yang sehat.Ini hanya satu contoh saja.

Aturan selanjutnya yang tidak kalah penting adalah,

Berdoa


Kemampuan kita sebagai orangtua itu terbatas.

Maka kita memerlukan support langsung dari Dia yang maha berkuasa untuk membolak-balikkan hati.

Mungkin kita merasa bahwa (karena adanya perbedaan usia, kultur, dsb.) tidak mungkin menyatukan visi dan misi dengan anggota keluarga yang lain di dalam proses pendidikan anak-anak kita.

Namun jika Dia sudah berkehendak, maka tidak ada yang tidak mungkin.

Saya jadi teringat ucapan salah seorang guru saya bahwa Allah itu Maha Kuasa. Jika Dia menghendaki sesuatu, maka hanya dengan mengatakan Kun (jadi!), maka jadilah!

“Maka jika kita sedang berharap akan sesuatu, deketin Allah. Dapatkan Kun-nya!”


Pri617

Author & Editor

Bukan seorang ayah yang sempurna. Hanya berusaha mewariskan sifat baik dan sikap positif untuk anak-anak kami.

1 komentar: