Ada sebuah cerita singkat yang cukup inspiratif.
Ada seorang raja yang memiliki sebongkah batu permata yang sangat langka.
Namun karena kesalahan salah seorang pengawalnya, bongkahan permata itu tidak sengaja terjatuh dan pecah menjadi serpihan-serpihan yang lebih kecil.
Raja sangat bersedih karena tahu bahwa serpihan-serpihan itu tak mungkin bisa disatukan kembali.
Namun oleh seorang kakek pemahat batu, serpihan-serpihan permata itu berhasil diubah menjadi sebuah kalung dan cincin yang amat indah.
Selesai.
Tamat.
Singkat amat? (Kan sudah saya bilang kalau ini cerita singkat, h-hee...)
Satu lagi ya,
Saya ingat dulu waktu masih nyantri di Bangil, salah seorang guru saya, Ust. Iman Supriono, pernah berkata begini,
bagi banyak orang, gelombang di lautan dan angin yang kencang adalah masalah. Namun tidak begitu bagi seorang nelayan. Ia malahan bisa memanfaatkan hal itu untuk berbagai kepentingannya.
Nah, apa pelajaran yang bisa kita ambil dari 2 ilustrasi di atas?
Kekuatan berpikir positif
Salah satu presiden Amerika, Henry Ford pernah mengatakan,
“Entah kau berpikir ‘kau bisa’ atau kau berpikir ‘kau tidak bisa’, kau selalu benar!”
Ilustrasi di atas – kakek pemahat batu dan nelayan – adalah contoh tokoh yang memiliki cara berpikir yang positif.
Mereka tidak melihat ‘masalah’ sebagai masalah, namun justru melihatnya sebagai peluang dan jalan keluar.
Dari contoh tersebut kita bisa melihat betapa hebatnya kekuatan berpikir positif ini.
Pikiran positif akan menghasilkan tindakan yang hebat dan strategic. Para pebisnis menyebutnya sebagai tindakan yang kreatif atau out of the box.
Bagi anak-anak, kebiasaan berpikir positif akan sangat berpengaruh di dalam perkembangan mental dan karakter mereka.
Anak-anak yang terbiasa menggunakan cara berpikir positif akan lebih mudah untuk menyelesaikan setiap permasalahan yang dihadapinya.
Mereka tidak kenal pada sikap menyerah dan putus asa.
Sebaliknya, anak-anak yang cenderung berpikir negatif akan memiliki emosi yang labil, sulit berinteraksi dan selalu apatis terhadap hal-hal yang baru.
Ada banyak artikel yang menjelaskan tentang cara membentuk, membangun dan menumbuhkan pikiran-pikiran positif ini.
Beberapa menjelaskan dengan bahasa yang sulit saya cerna. Beberapa lainnya dengan jumlah poin yang benar-benar membuat alis saya berkerut, karena saking banyaknya.
Semua postingan itu tentu tidak salah, hanya saja membuat saya cukup bekerja keras untuk memahaminya.
Ada pula beberapa artikel yang saya anggap cukup bagus, namun jumlahnya cukup banyak.
Di sini saya akan mencoba untuk meringkasnya menjadi beberapa langkah saja.
Anda tetap disarankan untuk membaca artikel-artikel lain yang mungkin bisa digunakan untuk menambah atau bahkan memperbaiki penjelasan dalam tulisan ini.
Berikut ini adalah 4 langkah paling efektif untuk membangun pikiran positif pada anak-anak.
1. Gunakan ungkapan-ungkapan positif
Orang bilang bahwa kata-kata adalah pintu dari pikiran.
Ini berarti untuk mendapatkan pikiran yang positif kita harus melalui pintunya, yaitu kata-kata yang positif.
Kata-kata positif ini – disadari atau tidak – dapat menstimulus anak untuk berbuat positif.
Salah satu contoh misalnya daripada kita mengatakan,
“Ayo cepat mandi, nanti terlambat ke sekolah!”
lebih baik kita menggunakan kalimat,
“Yuk siap-siap sekarang, biar nanti bisa main-main dulu sebelum bel masuk.”
Bagi kita yang beragama, ungkapan-ungkapan positif ini bisa kita combine dengan doa-doa harian yang kita ajarkan kepada mereka.
2. Syukuri semua hal
Sama seperti poin no. 1, ungkapan syukur mampu membangun pikiran-pikiran positif.
Dengan membiasakan diri untuk mensyukuri apapun yang kita terima, akan membentuk perasaan bahwa semuanya menyenangkan.
Perasaan bahagia inilah yang kemudian akan mendorong pikiran-pikiran positif lainnya bermunculan.
Sebelum tidur malam, latih anak-anak untuk mensyukuri hal-hal menyenangkan yang dialaminya seharian tadi. Kita bisa membantunya dengan mengingatkan hal-hal menyenangkan tersebut.
3. Apresiasi keberhasilan, diskusikan kegagalan
Siapapun senang dipuji. Tidak terkecuali anak-anak kita.
Ketika anak-anak melakukan hal yang baik, lalu mendapat apresiasi dari orangtua mereka,
maka hal ini akan membuat mereka menjadi lebih percaya diri dan semakin ingin melakukan hal-hal baik lainnya.
Sebaliknya, ketika anak mengalami kegagalan atau kekecewaan, kita bisa mendiskusikannya dan bersama-sama mencari hal baik yang “tersembunyi” dari kejadian yang tidak mengenakkan tersebut.
4. Sikap positif orangtua
Ada yang bilang, anak-anak itu adalah peniru yang ulung.
Dan memang begitu adanya.
Untuk membentuk pikiran positif pada diri anak-anak, terlebih dahulu pemikiran positif ini harus dimiliki atau ditunjukkan oleh orangtua mereka.
Kita tahu bahwa pikiran positif akan membentuk reaksi positif.
Karena pikiran positif ini sulit ditiru anak-anak karena ia tidak terlihat,
maka kita bisa menunjukkan kepada mereka – pikiran positif ini - melalui reaksi positif kita ketika menghadapi suatu kejadian yang tidak mengenakkan.
Berikut ini ada sebuah cerita inspiratif tentang bagaimana bereaksi positif.
Seorang ibu yang baru pulang dari belanja terkejut ketika menyadari uang 50 ribu yang disimpannya di lemari, hilang.
Ibu ini memiliki 2 orang anak. Namun si ibu sangat yakin kalau yang mengambil uang tersebut adalah anak pertamanya.
Maka, ketika makan malam tiba dan kedua anaknya sudah berada di meja makan, ibu ini berkata,
“Ketika ibu belanja tadi, rupanya ada pencuri yang mengambil uang ibu di lemari. Mungkin ketika kalian sedang bermain di luar.
Tapi kalian jangan takut karena besok pagi-pagi sekali ibu akan melaporkan hal ini ke polisi agar pencurinya segera ditemukan.”
Anak pertama yang memang mengambil uang itu menjadi khawatir. Sehingga ketika ibunya tidak memperhatikannya, ia mengendap-endap mengembalikan uang tersebut ke dalam lemari.
Pagi harinya, ketika si ibu menyadari bahwa uangnya sudah “kembali”,
ibu ini lalu mengumpulkan kedua anaknya dan berkata kepada mereka,
“Ternyata ibu salah, tidak ada pencuri yang masuk ke rumah ini.
Uang ibu tidak hilang. Mungkin kemarin ibu yang kurang teliti mencarinya. Maafkan ibu ya sudah membuat kalian takut...”
Lihat,
saat kita bereaksi positif atas suatu peristiwa, maka hal ini akan menular kepada siapapun yang berada di dekat kita.
Anak pertama yang memutuskan untuk mengembalikan uang tersebut bukan karena takut akan ditangkap polisi,
akan tetapi karena ia tidak mau disebut pencuri.
Kedua alasan ini jelas berbeda.
Jika ia hanya takut ditangkap polisi, ia bisa saja menyembunyikan uang tersebut di tempat yang aman dan berpura-pura tidak tahu apa-apa,
toh ia yakin ibunya tidak tahu.
Namun karena ia tidak mau dicap sebagai pencuri, maka apapun yang ia lakukan - selama uang itu masih berada di tangannya - ia adalah pencuri.
Karena itulah ia memilih untuk mengembalikannya.
Inilah yang saya sebut tadi bahwa pikiran positif itu menular.
Jadi berpikirlah positif, dan tularkan itu kepada anak-anak dan orang-orang di sekitar kita.
Dan dalam sekejap, hidup kita akan dikelilingi banyak kebahagiaan.
0 komentar:
Post a Comment