Jika saya bertanya,
“Adakah orangtua yang suka mendoakan keburukan untuk buah hati mereka?”
Jika anda menjawab tidak ada,
maka berarti kita punya jawaban yang berbeda.
Karena berdasarkan kebiasaan yang terjadi di lapangan, masih banyak orangtua yang suka mendoakan hal-hal buruk untuk putra-putri mereka, baik secara sadar ataupun tidak.
Mendoakan keburukan tidak selalu dengan menengadahkan tangan setiap selesai sholat.
Mendoakan keburukan juga tidak selalu harus dengan kalimat-kalimat yang menghujat dan penuh penekanan.
Tapi mendoakan keburukan bisa berupa atau “kekhawatiran” akan terjadinya sesuatu hal yang buruk.
Saya telah mencoba mengklasifikasi kebiasaan salah dari para orangtua ini – yaitu mendoakan keburukan untuk anak-anak mereka - ke dalam 3 macam cara.
Tanpa disadari, biasanya orangtua justru mendoakan keburukan ketika buah hati mereka – katakanlah – di ambang bahaya.
Biasanya hal ini terjadi ketika orangtua hendak melarang sesuatu yang mungkin membahayakan diri si anak, namun orangtua lebih memilih metode instan dengan cara melarang langsung plus dibumbui dengan ancaman bahaya.
Satu contoh misalnya ketika anak sedang bermain dan berlari-lari ke sana kemari. Si ibu yang mengkhawatirkan si anak terjatuh lantas mengingatkan,
Nahhh, sebagaimana yang difatwakan oleh Wali Band bahwa “setiap kata adalah doa”, maka peringatan “nanti jatuh” bisa menjadi doa buat si anak.
Dan yang lebih parahnya lagi si ibu juga membenarkan bahwa itu doanya.
Terbukti ketika si anak benar-benar jatuh, si ibu langsung berkata,
Maka siapapun kita berhati-hatilah saat kita berbicara, terutama kepada buah hati kita.
Jika harus melarang, laranglah dengan menunjukkan akibat yang mungkin timbul jika si anak tetap melakukan hal tersebut.
Atau, si ibu bisa berjongkok sambil memegang tangan si kecil dan menatap mata polosnya. Lalu dengan bahasa yang lembut ia mengatakan,
Setiap orangtua biasanya punya nama julukan yang lucu dan unik untuk memanggil putra-putri mereka.
Tapi pernahkah kita menanyakan kepada mereka apakah mereka senang dengan julukan yang diberikan?
Jika mereka tidak menyukainya,
maka segeralah minta maaf dan hentikan memanggil mereka dengan julukan tersebut.
Julukan yang tidak mereka sukai mungkin saja akan menyakiti perasaan mereka, apalagi jika kita memanggil mereka di depan teman-temannya.
Lalu teman-temannya juga akan ikut memanggil dengan sebutan tersebut.
Anak yang tumbuh dengan perasaan sakit dan malu akan sangat mempengaruhi perkembangan mereka.
Dulu kami punya panggilan kesayangan untuk putra kedua kami. Kami selalu memanggilnya “Gembul” karena gemas melihat pipinya yang chubby, yang kalau ia berlari tampak bergoyang-goyang.
Namun sejak ia bisa mengutarakan pendapatnya, yaitu saat usianya menginjak 4 tahun,
kami sepakat untuk menghentikan panggilan itu karena ia mengatakan kalau ia tak suka dipanggil dengan sebutan itu.
Label adalah sebuah media yang menempel pada suatu produk yang biasanya berisi keterangan atau penjelasan tentang produk tersebut.
Maka jika kita ingin mengetahui informasi tentang suatu produk, tanpa perlu membuka kemasannya, kita bisa mengetahuinya dari label yang tertera.
Dengan kata lain, apa yang disebut di label sama dengan apa yang ada di dalam kemasan.
Ketika kita menyebut buah hati kita dengan misalnya,
Adalah label-label yang kita sematkan pada diri si anak.
Anak akan merasa dirinya memang bodoh. Belajar sebanyak apapun juga percuma. Belajar menjadi tidak ada gunanya.
Atau ia merasa percuma untuk berlaku baik. Toh, berbuat sebaik apapun orangtuanya sudah menyebut dirinya nakal. Jadi ya berbuat nakal saja sekalian.
Maka yang terjadi kemudian adalah si anak mulai “menyesuaikan” diri dengan label yang didapatnya.
Kesimpulan dari poin ini,
Sebagai orangtua kita harus pandai menjaga mood kita dalam mendidik buah hati kita. Jangan sampai terjebak pada emosi berlebihan,
yang biasanya hal inilah yang memicu kita mengucapkan kata-kata buruk kepada anak.
Jadi ungkapan mulia, “Berkatalah yang baik, atau diam” memang begitulah seharusnya.
“Adakah orangtua yang suka mendoakan keburukan untuk buah hati mereka?”
Jika anda menjawab tidak ada,
maka berarti kita punya jawaban yang berbeda.
Karena berdasarkan kebiasaan yang terjadi di lapangan, masih banyak orangtua yang suka mendoakan hal-hal buruk untuk putra-putri mereka, baik secara sadar ataupun tidak.
Mendoakan keburukan tidak selalu dengan menengadahkan tangan setiap selesai sholat.
Mendoakan keburukan juga tidak selalu harus dengan kalimat-kalimat yang menghujat dan penuh penekanan.
Tapi mendoakan keburukan bisa berupa atau “kekhawatiran” akan terjadinya sesuatu hal yang buruk.
Saya telah mencoba mengklasifikasi kebiasaan salah dari para orangtua ini – yaitu mendoakan keburukan untuk anak-anak mereka - ke dalam 3 macam cara.
1. Peringatan bahaya
Tanpa disadari, biasanya orangtua justru mendoakan keburukan ketika buah hati mereka – katakanlah – di ambang bahaya.
Biasanya hal ini terjadi ketika orangtua hendak melarang sesuatu yang mungkin membahayakan diri si anak, namun orangtua lebih memilih metode instan dengan cara melarang langsung plus dibumbui dengan ancaman bahaya.
Satu contoh misalnya ketika anak sedang bermain dan berlari-lari ke sana kemari. Si ibu yang mengkhawatirkan si anak terjatuh lantas mengingatkan,
"Sudah, adek jangan lari. Nanti jatuh!”
Nahhh, sebagaimana yang difatwakan oleh Wali Band bahwa “setiap kata adalah doa”, maka peringatan “nanti jatuh” bisa menjadi doa buat si anak.
Dan yang lebih parahnya lagi si ibu juga membenarkan bahwa itu doanya.
Terbukti ketika si anak benar-benar jatuh, si ibu langsung berkata,
“Tuh, benar kan kata Ibu... kejadian akhirnya...”
Maka siapapun kita berhati-hatilah saat kita berbicara, terutama kepada buah hati kita.
Jika harus melarang, laranglah dengan menunjukkan akibat yang mungkin timbul jika si anak tetap melakukan hal tersebut.
Atau, si ibu bisa berjongkok sambil memegang tangan si kecil dan menatap mata polosnya. Lalu dengan bahasa yang lembut ia mengatakan,
“Ibu suka kalau adek main dengan senang. Tapi kalau adek terus berlari seperti tadi kan bisa capek. Kalau capek gak bisa ikut ibu ke pasar dong?”
2. Julukan yang tidak disukai
Setiap orangtua biasanya punya nama julukan yang lucu dan unik untuk memanggil putra-putri mereka.
Tapi pernahkah kita menanyakan kepada mereka apakah mereka senang dengan julukan yang diberikan?
Jika mereka tidak menyukainya,
maka segeralah minta maaf dan hentikan memanggil mereka dengan julukan tersebut.
Julukan yang tidak mereka sukai mungkin saja akan menyakiti perasaan mereka, apalagi jika kita memanggil mereka di depan teman-temannya.
Lalu teman-temannya juga akan ikut memanggil dengan sebutan tersebut.
Anak yang tumbuh dengan perasaan sakit dan malu akan sangat mempengaruhi perkembangan mereka.
Dulu kami punya panggilan kesayangan untuk putra kedua kami. Kami selalu memanggilnya “Gembul” karena gemas melihat pipinya yang chubby, yang kalau ia berlari tampak bergoyang-goyang.
Namun sejak ia bisa mengutarakan pendapatnya, yaitu saat usianya menginjak 4 tahun,
kami sepakat untuk menghentikan panggilan itu karena ia mengatakan kalau ia tak suka dipanggil dengan sebutan itu.
3. Label yang merusak
Label adalah sebuah media yang menempel pada suatu produk yang biasanya berisi keterangan atau penjelasan tentang produk tersebut.
Maka jika kita ingin mengetahui informasi tentang suatu produk, tanpa perlu membuka kemasannya, kita bisa mengetahuinya dari label yang tertera.
Dengan kata lain, apa yang disebut di label sama dengan apa yang ada di dalam kemasan.
Ketika kita menyebut buah hati kita dengan misalnya,
“Dasar anak bodoh! Soal begini saja tidak bisa...”
“Aduh, kamu kok nakal sih!”
Adalah label-label yang kita sematkan pada diri si anak.
Anak akan merasa dirinya memang bodoh. Belajar sebanyak apapun juga percuma. Belajar menjadi tidak ada gunanya.
Atau ia merasa percuma untuk berlaku baik. Toh, berbuat sebaik apapun orangtuanya sudah menyebut dirinya nakal. Jadi ya berbuat nakal saja sekalian.
Maka yang terjadi kemudian adalah si anak mulai “menyesuaikan” diri dengan label yang didapatnya.
Kesimpulan dari poin ini,
Sebagai orangtua kita harus pandai menjaga mood kita dalam mendidik buah hati kita. Jangan sampai terjebak pada emosi berlebihan,
yang biasanya hal inilah yang memicu kita mengucapkan kata-kata buruk kepada anak.
Jadi ungkapan mulia, “Berkatalah yang baik, atau diam” memang begitulah seharusnya.
Karena Anda sudah membaca artikel ini sampai selesai,
apakah Anda juga berminat membaginya dengan teman-teman Anda?
0 komentar:
Post a Comment