Saat anda membaca judul postingan ini, tentunya pertanyaan yang muncul pada benak anda adalah, “Memangnya disiplin bisa merusak anak?” atau mungkin “Apa ada sikap disiplin yang merusak?”
Pertanyaan-pertanyaan seperti itu memang tidak salah.
Tapi sebenarnya, pertanyaan yang paling tepat adalah,
“Bagaimana cara displin merusak anak?”
Disiplin merupakan sebuah kata serapan dari bahasa Latin, discipulus, yang berarti ‘sebuah upaya yang dilakukan untuk menghasilkan sifat-sifat yang baik’.
Dalam upaya tersebut, kita – para orangtua – seringkali terjebak keliru di dalam memaknainya.
Kita acapkali mengasosiasikan disiplin dengan HUKUMAN.
Sama seperti saat kita memergoki anak kita melakukan sebuah kesalahan yang cukup fatal, kemudian kita mengatakan,
“Kamu memang harus diajari disiplin!”
Tapi maksud yang sebenarnya adalah, “Kamu harus dihukum!”
Bahkan tak jarang kita menggandeng kedua kata ini: “hukuman” dan “disiplin”.
Sehingga seolah-olah disiplin itu ya, hukuman. Dan hukuman adalah proses untuk penegakan disiplin tersebut..
Maka yang harus kita lakukan saat ini adalah menyamakan persepsi kita tentang hal ini.
Bahwa hukuman memang diperlukan di dalam metode pendisiplinan, itu benar.
Tapi ia hanyalah SALAH SATU cara,
dan ia harus menjadi cara YANG TERAKHIR di dalam proses tersebut..
Kembali ke pertanyaan awal, “Bagaimana cara disiplin merusak anak?”
Disiplin bisa merusak, ketika bentuk yang kita gunakan adalah bentuk DISIPLIN NEGATIF.
Secara mudahnya, disiplin negatif adalah disiplin yang diciptakan dari ancaman dan hukuman.
Alih-alih membentuk pribadinya menjadi pribadi yang tangguh, disiplin negatif justru akan merusak mental anak,
sejak awal.
Tentu, ketika kita ingin membahas contoh-contoh disiplin yang diciptakan dengan ancaman dan hukuman, maka akan kita dapati banyak sekali hasilnya.
Bahkan beberapa di antaranya sudah dibahas pada artikel lain di blog ini.
Dan sebelum kita membahas bagian terpenting dari ulasan kali ini, ijinkan saya menyampaikan sebuah ilustrasi pendek yang saya ambil dari blognya pendidikankarakter.com.
KATAK DALAM PANCI
Kita telah menyiapkan sebuah panci yang berisi air yang tengah mendidih. Kemudian kita masukkan seekor katak ke dalamnya.
Apa yang terjadi?
Katak tersebut akan langsung melompat keluar. Ia akan langsung menyadari keberadaan air panas tersebut, sehingga pikirannya mengatakan, “Ini tidak nyaman, aku harus keluar!”.
Tetapi bagaimana jika situasinya diubah?
Air yang kita siapkan di dalam panci adalah air yang masih dingin. Kita masukkan seekor katak ke dalamnya. Lalu secara bertahap kita panaskan airnya.
Katak yang mendapati air biasa tersebut akan mengatakan, “Hm, disini cukup nyaman,”
Setelah beberapa lama, ia akan berpikir, “Oke, sekarang mulai hangat...”
Dan sekejap kemudian kita akan punya seekor katak rebus...
Apa yang kita dapatkan dari ilustrasi di atas?
Proses pembentukan anak itu tidak bisa instan...
Ketika kita memaksanya melakukan perubahan - meski dalam hal yang positif - namun jika dilakukan secara spontan, ia akan lari!
Seperti katak di dalam air panas.
Sebaliknya pun begitu pula, ketika kita menerapkan disiplin negatif yang tanpa kita sadari merusaknya secara perlahan-lahan, tahu-tahu kita sudah mendapati anak yang kacau kepribadiannya.
Seperti katak di dalam air dingin.
Maka penting untuk mendeteksi secara awal kesalahan-kesalahan yang mungkin saja kita lakukan – tanpa kita sadari - agar tidak terjadi ‘kerusakan permanen’ yang bisa dialami anak-anak kita.
Jadi pertanyaan paling pentingnya kemudian adalah,
“Bagaimana kita tahu bahwa displin yang kita terapkan adalah disiplin negatif?
Sebagaimana yang dipaparkan oleh Bpk. Timothy Wibowo dalam pendidikankarakter.com, setidaknya ada 4 tanda-tanda yang dihasilkan dari tindakan disiplin negatif.
Perasaan bersalah muncul pada diri anak ketika kita menerapkan pendisiplinan dengan cara yang negatif.
Ketika seorang anak memiliki perasaan bersalah yang kuat, dia akan terpicu melakukan hal-hal untuk menghukum dirinya sendiri.
Saat dia melakukan sesuatu, dan ketika hampir berhasil, dia kemudian merusaknya sendiri.
Lalu dia ingin melakukan sesuatu yang lain lagi, dan membatalkannya di saat hampir selesai.
Ini adalah bukti bahwa anak sedang menghukum dirinya sendiri.
Ketika dihukum (dengan cara yang tidak mendidik), anak akan merasa dirinya tidak disayangi, tidak disukai dan tidak diperhatikan.
Maka kemudian dia mencari perhatian itu dengan cara yang berlebihan. Gampang marah hanya karena sesuatu yang sepele, adalah cara yang paling banyak diterapkan oleh anak.
Biasanya ditandai dengan sikap minder dan menutup diri dari orangtuanya.
Anak lebih terbuka dengan teman dan lingkungan sosialnya daripada kepada orangtuanya sendiri.
Merasa dirinya tidak berharga akan menyebabkan anak susah berkembang. Cita-citanya tidak pernah ingin ia wujudkan karena ia merasa ia tidak layak untuk mendapatkan semua itu..
Lalu artikel berikutnya, bagaimana cara kita menerapkan disiplin positif?
Pertanyaan-pertanyaan seperti itu memang tidak salah.
Tapi sebenarnya, pertanyaan yang paling tepat adalah,
“Bagaimana cara displin merusak anak?”
Disiplin yang merusak |
Disiplin merupakan sebuah kata serapan dari bahasa Latin, discipulus, yang berarti ‘sebuah upaya yang dilakukan untuk menghasilkan sifat-sifat yang baik’.
Dalam upaya tersebut, kita – para orangtua – seringkali terjebak keliru di dalam memaknainya.
Kita acapkali mengasosiasikan disiplin dengan HUKUMAN.
Sama seperti saat kita memergoki anak kita melakukan sebuah kesalahan yang cukup fatal, kemudian kita mengatakan,
“Kamu memang harus diajari disiplin!”
Tapi maksud yang sebenarnya adalah, “Kamu harus dihukum!”
Bahkan tak jarang kita menggandeng kedua kata ini: “hukuman” dan “disiplin”.
Sehingga seolah-olah disiplin itu ya, hukuman. Dan hukuman adalah proses untuk penegakan disiplin tersebut..
Disiplin dan Hukuman |
Maka yang harus kita lakukan saat ini adalah menyamakan persepsi kita tentang hal ini.
Bahwa hukuman memang diperlukan di dalam metode pendisiplinan, itu benar.
Tapi ia hanyalah SALAH SATU cara,
dan ia harus menjadi cara YANG TERAKHIR di dalam proses tersebut..
Kembali ke pertanyaan awal, “Bagaimana cara disiplin merusak anak?”
Disiplin bisa merusak, ketika bentuk yang kita gunakan adalah bentuk DISIPLIN NEGATIF.
Secara mudahnya, disiplin negatif adalah disiplin yang diciptakan dari ancaman dan hukuman.
Alih-alih membentuk pribadinya menjadi pribadi yang tangguh, disiplin negatif justru akan merusak mental anak,
sejak awal.
Tentu, ketika kita ingin membahas contoh-contoh disiplin yang diciptakan dengan ancaman dan hukuman, maka akan kita dapati banyak sekali hasilnya.
Bahkan beberapa di antaranya sudah dibahas pada artikel lain di blog ini.
Dan sebelum kita membahas bagian terpenting dari ulasan kali ini, ijinkan saya menyampaikan sebuah ilustrasi pendek yang saya ambil dari blognya pendidikankarakter.com.
KATAK DALAM PANCI
Kita telah menyiapkan sebuah panci yang berisi air yang tengah mendidih. Kemudian kita masukkan seekor katak ke dalamnya.
Apa yang terjadi?
Katak tersebut akan langsung melompat keluar. Ia akan langsung menyadari keberadaan air panas tersebut, sehingga pikirannya mengatakan, “Ini tidak nyaman, aku harus keluar!”.
Tetapi bagaimana jika situasinya diubah?
Air yang kita siapkan di dalam panci adalah air yang masih dingin. Kita masukkan seekor katak ke dalamnya. Lalu secara bertahap kita panaskan airnya.
Katak yang mendapati air biasa tersebut akan mengatakan, “Hm, disini cukup nyaman,”
Setelah beberapa lama, ia akan berpikir, “Oke, sekarang mulai hangat...”
Dan sekejap kemudian kita akan punya seekor katak rebus...
Apa yang kita dapatkan dari ilustrasi di atas?
Proses pembentukan anak itu tidak bisa instan...
Ketika kita memaksanya melakukan perubahan - meski dalam hal yang positif - namun jika dilakukan secara spontan, ia akan lari!
Seperti katak di dalam air panas.
Sebaliknya pun begitu pula, ketika kita menerapkan disiplin negatif yang tanpa kita sadari merusaknya secara perlahan-lahan, tahu-tahu kita sudah mendapati anak yang kacau kepribadiannya.
Seperti katak di dalam air dingin.
Maka penting untuk mendeteksi secara awal kesalahan-kesalahan yang mungkin saja kita lakukan – tanpa kita sadari - agar tidak terjadi ‘kerusakan permanen’ yang bisa dialami anak-anak kita.
Jadi pertanyaan paling pentingnya kemudian adalah,
“Bagaimana kita tahu bahwa displin yang kita terapkan adalah disiplin negatif?
Sebagaimana yang dipaparkan oleh Bpk. Timothy Wibowo dalam pendidikankarakter.com, setidaknya ada 4 tanda-tanda yang dihasilkan dari tindakan disiplin negatif.
1. Perasaan bersalah
Perasaan bersalah muncul pada diri anak ketika kita menerapkan pendisiplinan dengan cara yang negatif.
Ketika seorang anak memiliki perasaan bersalah yang kuat, dia akan terpicu melakukan hal-hal untuk menghukum dirinya sendiri.
Saat dia melakukan sesuatu, dan ketika hampir berhasil, dia kemudian merusaknya sendiri.
“Ah, sudah, tidak jadi saja, batal-batal, bubar...”
Lalu dia ingin melakukan sesuatu yang lain lagi, dan membatalkannya di saat hampir selesai.
Ini adalah bukti bahwa anak sedang menghukum dirinya sendiri.
2. Anak merasa tidak disayangi
Ketika dihukum (dengan cara yang tidak mendidik), anak akan merasa dirinya tidak disayangi, tidak disukai dan tidak diperhatikan.
Maka kemudian dia mencari perhatian itu dengan cara yang berlebihan. Gampang marah hanya karena sesuatu yang sepele, adalah cara yang paling banyak diterapkan oleh anak.
3. Memiliki kemampuan sosialisasi yang buruk
Biasanya ditandai dengan sikap minder dan menutup diri dari orangtuanya.
Anak lebih terbuka dengan teman dan lingkungan sosialnya daripada kepada orangtuanya sendiri.
4. Merasa tidak berharga
Merasa dirinya tidak berharga akan menyebabkan anak susah berkembang. Cita-citanya tidak pernah ingin ia wujudkan karena ia merasa ia tidak layak untuk mendapatkan semua itu..
Lalu artikel berikutnya, bagaimana cara kita menerapkan disiplin positif?
Karena Anda sudah membaca artikel ini sampai selesai,
apakah Anda juga berminat membaginya dengan teman-teman Anda?
0 komentar:
Post a Comment