Saya pernah men-share sebuah artikel di blog ini tentang bagaimana mengatasi anak yang marah di tempat umum.
Jika anda belum sempat membacanya, anda bisa baca di sini.
Di dalam artikel tersebut, pada salah satu poinnya disebutkan untuk membuat “kesepakatan” dengan anak sebelum kita berangkat ke tempat tujuan.
Cara ini dianggap cukup ampuh untuk mengantisipasi atau meminimalisir tingkah buruk anak-anak selama dalam perjalanan atau ketika berada di tempat tujuan.
Lalu timbul sebuah pemikiran di dalam benak saya,
jika kita bisa meredam perilaku yang tidak menyenangkan dari buah hati kita dengan kesepakatan ini,
maka seharusnya tidak mustahil kita membangun sikap disiplin mereka dengan teknik yang sama.
Dengan membuat kesepakatan bersama,
anak-anak akan memiliki semacam role model untuk diikuti dan aturan-aturan yang akan mengarahkan mereka pada perilaku yang lebih baik.
Dan yang menarik adalah,
pada perjalanannya nanti, kesepakatan yang kita buat bersama anak-anak ini tidak akan lagi mereka anggap sebagai perintah dari kita,
melainkan sudah menjadi pegangan dalam keseharian mereka.
Dengan kata lain, pelaksanaan kesepakatan tersebut akan dilakukan dengan KESADARAN mereka sendiri.
Sehingga meskipun tidak ada kesepakatan tertulis, hal tersebut tidak akan mempengaruhi mereka.
Menurut saya, ini adalah nilai plusnya.
Namun ada sedikit perbedaan pada kesepakatan yang hanya untuk mengantisipasi emosi si kecil di tempat umum dengan kesepakatan yang kita buat untuk menumbuhkan sikap disiplin mereka.
Perbedaan yang paling menonjol adalah, kesepakatan untuk tujuan yang pertama ini hanya bersifat sementara.
Yaitu hanya selama mereka berada di tempat yang dimaksud.
Sedang kesepakatan dengan tujuan yang kedua lebih bersifat jangka panjang.
Karena itu, untuk kesepakatan yang kita tujukan untuk peningkatan kedisiplinan ini ada beberapa aturan-aturan yang perlu diperhatikan.
Aturan-aturan ini perlu dijalankan agar kesepakatan yang dibuat tidak justru melahirkan perasaan terpaksa dan tertekan pada diri anak.
Banyak orangtua yang membuat kesepakatan dengan buah hati mereka namun mengabaikan hal-hal yang sebenarnya sangat penting ini.
Saya mencatat setidaknya ada 6 hal yang perlu diperhatikan orangtua saat akan membuat kesepakatan bersama anak.
Pada artikel yang ini: Pendidikan Tidak Berhasil, Mungkin Kita Melakukan Kesalahan Ini!
dijelaskan bahwa ketidak-kompakan komponen keluarga akan menyebabkan kegagalan proses pendidikan buah hati kita.
Komponen keluarga, dalam hal ini bisa berarti ayah-ibu, kakek-nenek, saudara, paman dan siapapun yang tinggal bersama atau memiliki ikatan yang erat dengan anak kita,
harus mempunyai langkah yang sama dalam upaya pengembangan karakter anak.
Jika tidak begitu, maka yang terjadi adalah “penggembosan”.
Diibaratkan seperti seseorang yang berjalan dengan salah satu kaki yang diikat beban,
akan terasa berat untuk sampai ke tempat tujuan.
Jadi libatkan semua anggota keluarga, dan pastikan mereka mendukung kesepakatan yang kita buat bersama si kecil.
Aturan yang perlu diperhatikan berikutnya adalah jumlah kesepakatan yang jangan terlalu banyak bagi anak.
Pilih hal-hal yang dianggap paling penting saja.
Lebih baik jika difokuskan pada nila-nilai yang dijunjung di dalam keluarga tersebut, misalnya menepati janji, jujur, dsb.
Namun harus diingat bahwa cara berpikir anak-anak itu tidak seperti cara berpikir kita.
Sehingga kita tidak harus memasukkan semua hal-hal baik di dalam kesepakatan bersama ini.
Kita bisa mensiasatinya dengan memilih beberapa hal terlebih dahulu untuk beberapa minggu. Lalu menambah atau menggantinya pada minggu-minggu berikutnya.
Penekanan tentang apa yang harus dilakukan dan bukan pada apa yang dilarang ini bukannya tanpa sebab.
Jika kesepakatan yang kita buat lebih banyak berisi konten larangan, maka anak akan merasa dikekang.
Maka seperti yang sudah saya share pada artikel tentang bagaimana cara kita mengoreksi kesalahan anak tanpa mendapat penolakan (anda bisa baca di sini),
kecenderungan anak untuk mengeksplore informasi yang diterimanya bisa menjelaskan poin ketiga ini.
Pada beberapa tipe anak, mereka akan lebih memilih untuk “menyelidiki” penyebab larangan daripada sekedar bertanya “Kenapa?”
Karena itu fokus pada apa yang seharusnya mereka lakukan lebih berdampak positif daripada list yang cuma berisi larangan-larangan.
Meletakkan poin-poin kesepakatan bersama di tempat yang bisa dilihat oleh anak ini memiliki keuntungan.
Yaitu mencegah anak dari sikap menghindar atau lari dari tanggung jawab ketika tiba-tiba mereka berubah pikiran tentang kesepakatan yang sudah dibuat.
Kita bisa menempelkan poin-poin kesepakatan ini di pintu kulkas atau lemari pakaiannya.
Dengan cara seperti ini anak akan terlatih untuk mempertanggung jawabkan apa yang sudah diucapkannya.
Dalam tulisan saya yang berjudul 9 Alasan Kenapa Nasehat Orangtua Tidak Didengar Anak,
di situ dijelaskan apa peranan penting dari sebuah sanksi alias hukuman.
Begitu pula dengan kesepakatan yang kita buat bersama si kecil.
Selalu cantumkan apa konsekuensi yang harus dijalani apabila mereka melanggar kesepakatan yang telah dibuat itu.
Namun 2 ada tambahan catatan di sini.
Pertama, jangan berikan hukuman yang akan menyakiti mental dan juga fisik anak-anak kita.
Hal ini sudah pernah dibahas di artikel yang ini.
Kedua, selain adanya hukuman sebagai konsekuensi atas pelanggaran mereka,
unsur pengecualian juga perlu dimasukkan ke dalam draft kesepakatan tersebut.
Satu contoh misalnya ada konsekuensi yang harus diterima si kecil jika mereka terlambat masuk ke sekolah.
Tapi jika keterlambatan itu terjadi karena kita yang terlambat mengantarkan mereka,
maka sanksi tidak boleh berlaku di sini.
Nah, pengecualian seperti inilah yang harus dijelaskan pada anak kita.
Sebagai manusia, kita juga tak luput dari salah,
bahkan dalam hal mengatur dan mendidik anak-anak kita.
Umumnya para orangtua karena merasa lebih “senior” dan lebih dahulu merasakan kehidupan,
menganggap apa yang mereka berikan kepada anak-anak mereka adalah sesuatu yang tepat.
Padahal hal ini tidak selamanya benar.
Ada banyak faktor yang menjadikan aturan-aturan tidak tepat jika diterapkan pada anak-anak kita,
meski kita merasa bahwa hal itu tepat diterapkan pada kita.
Cara berpikir dan cara menimbang masalah, kondisi emosi dan mental, situasi atau jaman, dan lingkungan sosial...
adalah sebagian faktor yang mempengaruhi tepat atau tidaknya aturan itu diterapkan.
Solusinya adalah, sebagai orangtua kita tidak boleh malas untuk mereview apa saja yang sudah kita berikan kepada anak-anak kita.
Jika setelah peninjauan ulang tersebut ditemukan poin-poin yang tidak sesuai bagi diri si anak, maka tidak perlu ragu untuk mengubah atau – bahkan - menghapusnya.
Dengan langkah ini diharapkan kita bisa memberikan yang terbaik untuk anak-anak kita.
Jika anda belum sempat membacanya, anda bisa baca di sini.
Di dalam artikel tersebut, pada salah satu poinnya disebutkan untuk membuat “kesepakatan” dengan anak sebelum kita berangkat ke tempat tujuan.
Cara ini dianggap cukup ampuh untuk mengantisipasi atau meminimalisir tingkah buruk anak-anak selama dalam perjalanan atau ketika berada di tempat tujuan.
Lalu timbul sebuah pemikiran di dalam benak saya,
jika kita bisa meredam perilaku yang tidak menyenangkan dari buah hati kita dengan kesepakatan ini,
maka seharusnya tidak mustahil kita membangun sikap disiplin mereka dengan teknik yang sama.
Dengan membuat kesepakatan bersama,
anak-anak akan memiliki semacam role model untuk diikuti dan aturan-aturan yang akan mengarahkan mereka pada perilaku yang lebih baik.
Dan yang menarik adalah,
pada perjalanannya nanti, kesepakatan yang kita buat bersama anak-anak ini tidak akan lagi mereka anggap sebagai perintah dari kita,
melainkan sudah menjadi pegangan dalam keseharian mereka.
Dengan kata lain, pelaksanaan kesepakatan tersebut akan dilakukan dengan KESADARAN mereka sendiri.
Sehingga meskipun tidak ada kesepakatan tertulis, hal tersebut tidak akan mempengaruhi mereka.
Menurut saya, ini adalah nilai plusnya.
Namun ada sedikit perbedaan pada kesepakatan yang hanya untuk mengantisipasi emosi si kecil di tempat umum dengan kesepakatan yang kita buat untuk menumbuhkan sikap disiplin mereka.
Perbedaan yang paling menonjol adalah, kesepakatan untuk tujuan yang pertama ini hanya bersifat sementara.
Yaitu hanya selama mereka berada di tempat yang dimaksud.
Sedang kesepakatan dengan tujuan yang kedua lebih bersifat jangka panjang.
Karena itu, untuk kesepakatan yang kita tujukan untuk peningkatan kedisiplinan ini ada beberapa aturan-aturan yang perlu diperhatikan.
Aturan-aturan ini perlu dijalankan agar kesepakatan yang dibuat tidak justru melahirkan perasaan terpaksa dan tertekan pada diri anak.
Banyak orangtua yang membuat kesepakatan dengan buah hati mereka namun mengabaikan hal-hal yang sebenarnya sangat penting ini.
Saya mencatat setidaknya ada 6 hal yang perlu diperhatikan orangtua saat akan membuat kesepakatan bersama anak.
1. Keterlibatan semua komponen keluarga
Pada artikel yang ini: Pendidikan Tidak Berhasil, Mungkin Kita Melakukan Kesalahan Ini!
dijelaskan bahwa ketidak-kompakan komponen keluarga akan menyebabkan kegagalan proses pendidikan buah hati kita.
Komponen keluarga, dalam hal ini bisa berarti ayah-ibu, kakek-nenek, saudara, paman dan siapapun yang tinggal bersama atau memiliki ikatan yang erat dengan anak kita,
harus mempunyai langkah yang sama dalam upaya pengembangan karakter anak.
Jika tidak begitu, maka yang terjadi adalah “penggembosan”.
Diibaratkan seperti seseorang yang berjalan dengan salah satu kaki yang diikat beban,
akan terasa berat untuk sampai ke tempat tujuan.
Jadi libatkan semua anggota keluarga, dan pastikan mereka mendukung kesepakatan yang kita buat bersama si kecil.
2. Kesepakatan untuk hal-hal yang paling penting saja
Aturan yang perlu diperhatikan berikutnya adalah jumlah kesepakatan yang jangan terlalu banyak bagi anak.
Pilih hal-hal yang dianggap paling penting saja.
Lebih baik jika difokuskan pada nila-nilai yang dijunjung di dalam keluarga tersebut, misalnya menepati janji, jujur, dsb.
Namun harus diingat bahwa cara berpikir anak-anak itu tidak seperti cara berpikir kita.
Sehingga kita tidak harus memasukkan semua hal-hal baik di dalam kesepakatan bersama ini.
Kita bisa mensiasatinya dengan memilih beberapa hal terlebih dahulu untuk beberapa minggu. Lalu menambah atau menggantinya pada minggu-minggu berikutnya.
3. Apa yang harus dilakukan, bukan apa yang dilarang
Penekanan tentang apa yang harus dilakukan dan bukan pada apa yang dilarang ini bukannya tanpa sebab.
Jika kesepakatan yang kita buat lebih banyak berisi konten larangan, maka anak akan merasa dikekang.
Tidak boleh begini, dilarang begitu dan jangan seperti ini.
Maka seperti yang sudah saya share pada artikel tentang bagaimana cara kita mengoreksi kesalahan anak tanpa mendapat penolakan (anda bisa baca di sini),
kecenderungan anak untuk mengeksplore informasi yang diterimanya bisa menjelaskan poin ketiga ini.
Pada beberapa tipe anak, mereka akan lebih memilih untuk “menyelidiki” penyebab larangan daripada sekedar bertanya “Kenapa?”
Karena itu fokus pada apa yang seharusnya mereka lakukan lebih berdampak positif daripada list yang cuma berisi larangan-larangan.
4. Tulis di tempat yang bisa dilihat anak
Meletakkan poin-poin kesepakatan bersama di tempat yang bisa dilihat oleh anak ini memiliki keuntungan.
Yaitu mencegah anak dari sikap menghindar atau lari dari tanggung jawab ketika tiba-tiba mereka berubah pikiran tentang kesepakatan yang sudah dibuat.
Kita bisa menempelkan poin-poin kesepakatan ini di pintu kulkas atau lemari pakaiannya.
Dengan cara seperti ini anak akan terlatih untuk mempertanggung jawabkan apa yang sudah diucapkannya.
5. Ada konsekuensi yang harus diterapkan
Dalam tulisan saya yang berjudul 9 Alasan Kenapa Nasehat Orangtua Tidak Didengar Anak,
di situ dijelaskan apa peranan penting dari sebuah sanksi alias hukuman.
Begitu pula dengan kesepakatan yang kita buat bersama si kecil.
Selalu cantumkan apa konsekuensi yang harus dijalani apabila mereka melanggar kesepakatan yang telah dibuat itu.
Namun 2 ada tambahan catatan di sini.
Pertama, jangan berikan hukuman yang akan menyakiti mental dan juga fisik anak-anak kita.
Hal ini sudah pernah dibahas di artikel yang ini.
Kedua, selain adanya hukuman sebagai konsekuensi atas pelanggaran mereka,
unsur pengecualian juga perlu dimasukkan ke dalam draft kesepakatan tersebut.
Satu contoh misalnya ada konsekuensi yang harus diterima si kecil jika mereka terlambat masuk ke sekolah.
Tapi jika keterlambatan itu terjadi karena kita yang terlambat mengantarkan mereka,
maka sanksi tidak boleh berlaku di sini.
Nah, pengecualian seperti inilah yang harus dijelaskan pada anak kita.
6. Review lagi, dan lagi
Sebagai manusia, kita juga tak luput dari salah,
bahkan dalam hal mengatur dan mendidik anak-anak kita.
Umumnya para orangtua karena merasa lebih “senior” dan lebih dahulu merasakan kehidupan,
menganggap apa yang mereka berikan kepada anak-anak mereka adalah sesuatu yang tepat.
Padahal hal ini tidak selamanya benar.
Ada banyak faktor yang menjadikan aturan-aturan tidak tepat jika diterapkan pada anak-anak kita,
meski kita merasa bahwa hal itu tepat diterapkan pada kita.
Cara berpikir dan cara menimbang masalah, kondisi emosi dan mental, situasi atau jaman, dan lingkungan sosial...
adalah sebagian faktor yang mempengaruhi tepat atau tidaknya aturan itu diterapkan.
Solusinya adalah, sebagai orangtua kita tidak boleh malas untuk mereview apa saja yang sudah kita berikan kepada anak-anak kita.
Jika setelah peninjauan ulang tersebut ditemukan poin-poin yang tidak sesuai bagi diri si anak, maka tidak perlu ragu untuk mengubah atau – bahkan - menghapusnya.
Dengan langkah ini diharapkan kita bisa memberikan yang terbaik untuk anak-anak kita.
0 komentar:
Post a Comment