Harga diri - atau yang biasa diterjemahkan sebagai penilaian terhadap diri sendiri – adalah suatu komponen yang harus ada pada diri setiap anak.
Harga diri biasanya tumbuh seiring dengan kepercayaan diri.
Pada beberapa kondisi,
mereka merasa diri mereka tidak berharga sehingga membutuhkan penghargaan dari lingkungan sekitarnya.
Hal inilah yang kemudian melahirkan permasalahan lanjutan, yaitu menurunnya rasa percaya diri.
Ternyata Disiplin Juga Bisa Merusak Anak! yang sempat saya share beberapa minggu yang lalu menjelaskan dampak-dampak yang timbul
apabila perasaan tidak dihargai ini terlanjur melekat pada diri mereka.
Kita – para orangtua – tentu berharap agar anak-anak kita memiliki rasa percaya diri yang bagus dan kemampuan untuk menghargai diri mereka sendiri.
Namun sayangnya, tidak semua respon kita berkontribusi ke arah sana.
Yang seringkali terjadi malah sebaliknya,
respon kita terhadap apa yang mereka lakukan – tanpa kita sadari - justru dapat mengikis harga diri mereka.
Riset dari beberapa orang yang concern terhadap dunia parenting, merumuskan ada 10 kalimat yang bisa menghancurkan harga diri anak-anak.
Banyak dari kita yang beranggapan bahwa pujian terhadap anak bisa menumbuhkan rasa percaya diri mereka.
Hal ini bisa jadi benar, bisa jadi tidak.
Untuk lebih jelasnya, anda bisa membaca kembali 7 aturan tentang memuji anak di sini.
Salah satu poinnya adalah memuji apa yang dilakukan, bukan memuji siapa yang melakukan.
“Kamu penari yang hebat...”
“Kakak pandai ya... bisa ranking 1 lagi!”
Adalah contoh-contoh pujian yang ditujukan untuk pelakunya.
Hal ini tidak akan menambah rasa percaya diri atau membentuk harga dirinya.
Bagaimanapun kita perlu menekankan pentingnya sebuah proses bagi mereka.
Karena jika mereka tidak tahu pentingnya sebuah proses (artinya mereka hanya terpacu kepada hasil),
maka anak-anak itu akan berpikir bahwa pujian itu hanyalah karena hasil yang telah mereka capai dan mereka tidak pernah merasa ada apresiasi untuk kerja keras yang telah dilakukan.
Maka yang jauh lebih membangun adalah pujian atas usaha mereka, misalnya,
“Tarian yang tadi sangat indah sekali, Sayang. Kamu pasti berlatih keras untuk itu. Ibu suka.”
“Itulah kalau kakak rajin belajar, hasilnya... kakak bisa menjawab semua soalnya dengan mudah!”
Dengan gaya memuji yang seperti ini, maka di dalam hati anak-anak itu akan ada respon seperti ini,
Lihat,
dari sinilah harga diri itu tumbuh.
Biasanya orangtua mengucapkan kalimat ini dengan tujuan untuk membuat anak menyadari dan mengubah perilaku buruknya.
Namun, kalimat-kalimat yang senada dengan ini justru akan membuat anak merasa bersalah, takut dan rendah diri.
Ketika sedang marah, hindarilah mengucapkan kalimat-kalimat seperti ini.
Lebih baik ajaklah anak berdiskusi tentang apa yang dilakukannya. Bantu anak memahami apa yang sedang terjadi.
Masing-masing anak terlahir dengan kemampuan yang berbeda-beda.
Bisa jadi sebuah tugas yang sama menjadi mudah dilakukan oleh anak yang satu, namun sangat sulit dikerjakan oleh anak-anak yang lainnya.
Orangtua harus bisa memahami hal ini.
Mengatakan “Begitu saja tidak bisa...” atau “Ini lho gampang. Seharusnya kamu mampu...”
sebenarnya justru akan mengecilkan kepercayaan diri anak-anak dan membuat mereka mudah putus asa.
Tanpa disadari pemikiran yang akan muncul pada pada diri anak adalah,
Sebaliknya, jika kita katakan bahwa hal tersebut mungkin adalah hal yang sulit,
dan terus mendorong mereka untuk berusaha dan tetap berpikir positif,
maka jika ternyata mereka bisa melakukannya, kepercayaan diri mereka akan langsung meningkat.
Akan tetapi jika mereka gagal, paling tidak mereka tahu bahwa hal tersebut memang sulit sehingga anak-anak tidak merasa minder.
Mungkin anda akan bertanya, apakah ada orangtua yang mengatakan hal seperti itu kepada anak mereka?
Jika yang dimaksud adalah perkataan secara verbal, mungkin tidak ada.
Namun yang menjadi poin di sini adalah bahasa tubuh orangtua yang menunjukkan hal itu.
Kapan bahasa tubuh kita mengatakan hal itu?
Saat anak kesulitan mengikat tali sepatunya, lalu kita membantu mengikatkannya.
Saat anak kerepotan memakai baju seragamnya, lalu kita memakaikannya.
Intinya adalah membuat segalanya terlalu mudah bagi anak.
Hal ini akan menghilangkan kesempatan mereka untuk belajar mandiri.
Tidak terlalu mudah memberikan bantuan kepada anak juga melatih mereka untuk bertanggung jawab terhadap diri mereka sendiri.
Atau kalimat lainnya yang menyiratkan ketakutan kalau anak-anak kita akan melakukan kegagalan.
Kegagalan,
bagaimanapun juga - jika disikapi dengan pikiran positif – bisa memiliki dampak yang baik.
Kegagalan anak-anak sebenarnya adalah kesempatan mereka untuk bersikap kesatria dengan mengakuinya, lalu bangkit kembali untuk memperbaikinya.
Setiap kita juga pernah gagal. Hal itu jugalah yang membentuk diri kita yang sekarang, bukan?
Kita, pada akhirnya belajar dari kegagalan tersebut.
Sebagai orangtua, kita mungkin merasa harus mencegah mereka dari kegagalan. Namun, sikap ini tidak membantu untuk membentuk kepercayaan diri mereka.
Karena jika dicermati,
yang membuat kita merasa memiliki harga diri bukan karena kita tidak pernah gagal,
namun bagaimana cara kita menanggapi serta mengatasi kegagalan tersebut.
Maka cara bertindak terhadap sebuah kegagalan inilah yang seharusnya kita ajarkan kepada mereka.
Anak-anak kita adalah bagian dari hidup kita. Maka semestinya mereka juga punya hak atas waktu kita.
Sebagai bagian dari tugas orangtua untuk membiayai kehidupan dan pendidikan mereka, kita mungkin harus bekerja keras untuk memenuhinya.
Namun menyediakan waktu kita untuk mereka telah menjadi bagian dari tugas kita juga.
Artikel yang berjudul Punya Perasaan Bersalah Terhadap Anak-anak? Hati-hati! bisa memperjelas bagian ini.
Ketika anak-anak kita mengajak bermain di saat kita sedang sibuk, lalu kita menunda-nunda waktunya atau mengalihkannya untuk bermain dengan orang lain,
sebenarnya kita telah mengikis harga diri mereka,
karena anak akan mulai merasa bahwa kita “menghindari” mereka, sehingga muncul perasaan bahwa diri mereka tidak diinginkan di dalam keluarga.
Duduk bersama dan mengobrol ringan tentang kegiatan mereka di rumah,
pergi ke masjid atau ke pasar dengan berjalan kaki,
atau meminta mereka membantu pekerjaan kita di rumah,
adalah cara-cara sederhana dan tidak meminta waktu banyak untuk membuat anak merasa dihargai.
Ucapan kepada anak “Kamu kok nakal sih?”, “Kamu ini bodoh sekali...”, “Dasar tidak tahu diri!”, dan ucapan sejenis yang mengisyaratkan pelabelan pada anak menjadikan mereka cenderung meng-iyakan sebutan itu.
Dengan melabeli anak-anak dengan label yang buruk sebenarnya orangtua telah mendoakan mereka untuk menjadi seperti label tersebut.
3 Macam Cara Orangtua Mendoakan Keburukan untuk Anaknya boleh anda baca terlebih dahulu.
Saat anak-anak dipanggil dengan sebutan yang buruk, maka yang akan subur adalah perasaan rendah dan minder pada diri mereka.
Karena itu ketika kita sedang marah, tahanlah diri untuk tidak menyebut mereka dengan sebutan yang buruk.
Sebut saja kalimat mengancam.
Contoh yang senada sudah pernah saya pakai pada artikel yang berjudul Anak Tidak Menurut, Mungkin Kita Melakukan Kebiasaan “Kecil” Ini, namun dengan maksud yang berbeda.
Para orangtua biasanya menggunakan cara yang dianggap ampuh untuk membuat anak menuruti kemauan mereka.
Yaitu dengan metode ancaman.
Dengan cara ini kita berharap agar anak-anak mau melakukan sesuatu yang sebelumnya tidak ingin mereka lakukan.
Pada akhirnya, mungkin mereka akan melakukannya.
Namun tanpa kita sadari metode seperti ini justru akan menanamkan pada diri anak-anak bahwa untuk mendapatkan penghargaan orang lain,
mereka harus melakukan sesuatu yang diminta oleh orang tersebut.
Pakar parenting anak menyebut bahwa anak-anak yang tumbuh dewasa dengan cara ini cenderung menjadi korban kekerasan seksual ataupun KDRT.
Ucapan-ucapan semisal ini sepintas terlihat baik untuk mereda kekecewaan atau kemarahan anak,
namun dengan kalimat seperti itu anak akan merasa bahwa orangtua mereka tidak menghargai apa yang sedang mereka rasakan.
Seolah-olah mereka berkata, “Aku ini kecewa, aku ini sakit hati. Kenapa ayah bilang tidak apa-apa?”
Ketika setiap mereka mendapat masalah kita selalu menekankan “Sudah, tidak apa-apa”,
maka mereka akan terdoktrin untuk mentoleransi semua keadaan.
Masalahnya adalah,
kita tidak pernah bisa menjamin bahwa apa yang akan dialami anak-anak kita adalah sesuatu yang baik untuk tumbuh-kembang mereka.
Pada perjalanan mereka nanti, pasti akan ada keadaan dimana mereka tidak boleh membiarkannya.
Maka yang perlu kita ajarkan kepada mereka bukan sikap mentoleransi semua keadaan,
namun bagaimana mereka bersikap atas keadaan tersebut.
Saat mereka terjatuh, jangan katakan “tidak apa-apa”.
Namun ajari mereka untuk berhati-hati memilih jalan yang tidak licin.
Saat mereka diganggu teman-teman sekelasnya, jangan katakan “lupakan saja”.
Namun ajari mereka bagaimana merespon kondisi tersebut.
Cara-cara inilah yang lebih menumbuhkan harga diri mereka.
Sebenarnya saya cukup kesulitan mencari judul yang tepat untuk poin terakhir ini, karena kalimat yang akan saya contohkan menggunakan bahasa Jawa.
Namun saat ditranslate ke dalam bahasa Indonesia hasilnya kurang bisa menunjukkan maksud yang sebenarnya.
Karena alasan itulah saya harus menggunakan 3 buah tanda seru agar maksudnya bisa ditangkap.
Contoh-contoh kalimat lainnya misalnya, “Semaumu!!!”, “Kalau tidak bisa, ya sudah!!!”,
atau kalimat-kalimat lain yang mengindikasikan sikap pesimis dan menyerah ketika merasa gagal saat melakukan sesuatu.
Bagaimana kalimat-kalimat semacam ini bisa menurunkan harga diri anak?
Jawabannya sederhana. Like father like son atau Buah apel jatuh tidak jauh dari pohonnya.
Anak-anak kita selalu melihat dan mendengar kita. dari situlah mereka belajar.
Ketika yang sering mereka dengar adalah ungkapan-ungkapan pesimistis, maka seperti itulah mereka merespon masalah yang mereka hadapi.
Jadi ketika kita berharap anak-anak kita menjadi pribadi yang percaya diri,
maka bentuklah diri kita menjadi sosok orangtua yang optimis.
Harga diri biasanya tumbuh seiring dengan kepercayaan diri.
Pada beberapa kondisi,
mereka merasa diri mereka tidak berharga sehingga membutuhkan penghargaan dari lingkungan sekitarnya.
Hal inilah yang kemudian melahirkan permasalahan lanjutan, yaitu menurunnya rasa percaya diri.
Ternyata Disiplin Juga Bisa Merusak Anak! yang sempat saya share beberapa minggu yang lalu menjelaskan dampak-dampak yang timbul
apabila perasaan tidak dihargai ini terlanjur melekat pada diri mereka.
Kita – para orangtua – tentu berharap agar anak-anak kita memiliki rasa percaya diri yang bagus dan kemampuan untuk menghargai diri mereka sendiri.
Namun sayangnya, tidak semua respon kita berkontribusi ke arah sana.
Yang seringkali terjadi malah sebaliknya,
respon kita terhadap apa yang mereka lakukan – tanpa kita sadari - justru dapat mengikis harga diri mereka.
Riset dari beberapa orang yang concern terhadap dunia parenting, merumuskan ada 10 kalimat yang bisa menghancurkan harga diri anak-anak.
1. Kalimat “Kamu memang hebat...”
Banyak dari kita yang beranggapan bahwa pujian terhadap anak bisa menumbuhkan rasa percaya diri mereka.
Hal ini bisa jadi benar, bisa jadi tidak.
Untuk lebih jelasnya, anda bisa membaca kembali 7 aturan tentang memuji anak di sini.
Salah satu poinnya adalah memuji apa yang dilakukan, bukan memuji siapa yang melakukan.
“Kamu penari yang hebat...”
“Kakak pandai ya... bisa ranking 1 lagi!”
Adalah contoh-contoh pujian yang ditujukan untuk pelakunya.
Hal ini tidak akan menambah rasa percaya diri atau membentuk harga dirinya.
Bagaimanapun kita perlu menekankan pentingnya sebuah proses bagi mereka.
Karena jika mereka tidak tahu pentingnya sebuah proses (artinya mereka hanya terpacu kepada hasil),
maka anak-anak itu akan berpikir bahwa pujian itu hanyalah karena hasil yang telah mereka capai dan mereka tidak pernah merasa ada apresiasi untuk kerja keras yang telah dilakukan.
Maka yang jauh lebih membangun adalah pujian atas usaha mereka, misalnya,
“Tarian yang tadi sangat indah sekali, Sayang. Kamu pasti berlatih keras untuk itu. Ibu suka.”
“Itulah kalau kakak rajin belajar, hasilnya... kakak bisa menjawab semua soalnya dengan mudah!”
Dengan gaya memuji yang seperti ini, maka di dalam hati anak-anak itu akan ada respon seperti ini,
“Aku telah berlatih dan berusaha keras. Dan orangtuaku ternyata menghargaiku usahaku itu.”
Lihat,
dari sinilah harga diri itu tumbuh.
2. Kalimat “Kamu membuat ibu marah!”
Biasanya orangtua mengucapkan kalimat ini dengan tujuan untuk membuat anak menyadari dan mengubah perilaku buruknya.
Namun, kalimat-kalimat yang senada dengan ini justru akan membuat anak merasa bersalah, takut dan rendah diri.
Ketika sedang marah, hindarilah mengucapkan kalimat-kalimat seperti ini.
Lebih baik ajaklah anak berdiskusi tentang apa yang dilakukannya. Bantu anak memahami apa yang sedang terjadi.
3. Kalimat “Gitu aja gak bisa...”
Masing-masing anak terlahir dengan kemampuan yang berbeda-beda.
Bisa jadi sebuah tugas yang sama menjadi mudah dilakukan oleh anak yang satu, namun sangat sulit dikerjakan oleh anak-anak yang lainnya.
Orangtua harus bisa memahami hal ini.
Mengatakan “Begitu saja tidak bisa...” atau “Ini lho gampang. Seharusnya kamu mampu...”
sebenarnya justru akan mengecilkan kepercayaan diri anak-anak dan membuat mereka mudah putus asa.
Tanpa disadari pemikiran yang akan muncul pada pada diri anak adalah,
“Berarti ada yang salah dengan diriku. Mungkin aku memang anak yang bodoh...”
Sebaliknya, jika kita katakan bahwa hal tersebut mungkin adalah hal yang sulit,
dan terus mendorong mereka untuk berusaha dan tetap berpikir positif,
maka jika ternyata mereka bisa melakukannya, kepercayaan diri mereka akan langsung meningkat.
Akan tetapi jika mereka gagal, paling tidak mereka tahu bahwa hal tersebut memang sulit sehingga anak-anak tidak merasa minder.
4. Kalimat “Kamu tidak akan mampu melakukannya”
Mungkin anda akan bertanya, apakah ada orangtua yang mengatakan hal seperti itu kepada anak mereka?
Jika yang dimaksud adalah perkataan secara verbal, mungkin tidak ada.
Namun yang menjadi poin di sini adalah bahasa tubuh orangtua yang menunjukkan hal itu.
Kapan bahasa tubuh kita mengatakan hal itu?
Saat anak kesulitan mengikat tali sepatunya, lalu kita membantu mengikatkannya.
Saat anak kerepotan memakai baju seragamnya, lalu kita memakaikannya.
Intinya adalah membuat segalanya terlalu mudah bagi anak.
Hal ini akan menghilangkan kesempatan mereka untuk belajar mandiri.
Tidak terlalu mudah memberikan bantuan kepada anak juga melatih mereka untuk bertanggung jawab terhadap diri mereka sendiri.
5. Kalimat “Jangan lakukan itu, nanti kamu...”
Atau kalimat lainnya yang menyiratkan ketakutan kalau anak-anak kita akan melakukan kegagalan.
Kegagalan,
bagaimanapun juga - jika disikapi dengan pikiran positif – bisa memiliki dampak yang baik.
Kegagalan anak-anak sebenarnya adalah kesempatan mereka untuk bersikap kesatria dengan mengakuinya, lalu bangkit kembali untuk memperbaikinya.
Setiap kita juga pernah gagal. Hal itu jugalah yang membentuk diri kita yang sekarang, bukan?
Kita, pada akhirnya belajar dari kegagalan tersebut.
Sebagai orangtua, kita mungkin merasa harus mencegah mereka dari kegagalan. Namun, sikap ini tidak membantu untuk membentuk kepercayaan diri mereka.
Karena jika dicermati,
yang membuat kita merasa memiliki harga diri bukan karena kita tidak pernah gagal,
namun bagaimana cara kita menanggapi serta mengatasi kegagalan tersebut.
Maka cara bertindak terhadap sebuah kegagalan inilah yang seharusnya kita ajarkan kepada mereka.
6. Kalimat “Nanti saja, ya...”
Anak-anak kita adalah bagian dari hidup kita. Maka semestinya mereka juga punya hak atas waktu kita.
Sebagai bagian dari tugas orangtua untuk membiayai kehidupan dan pendidikan mereka, kita mungkin harus bekerja keras untuk memenuhinya.
Namun menyediakan waktu kita untuk mereka telah menjadi bagian dari tugas kita juga.
Artikel yang berjudul Punya Perasaan Bersalah Terhadap Anak-anak? Hati-hati! bisa memperjelas bagian ini.
Ketika anak-anak kita mengajak bermain di saat kita sedang sibuk, lalu kita menunda-nunda waktunya atau mengalihkannya untuk bermain dengan orang lain,
sebenarnya kita telah mengikis harga diri mereka,
karena anak akan mulai merasa bahwa kita “menghindari” mereka, sehingga muncul perasaan bahwa diri mereka tidak diinginkan di dalam keluarga.
Duduk bersama dan mengobrol ringan tentang kegiatan mereka di rumah,
pergi ke masjid atau ke pasar dengan berjalan kaki,
atau meminta mereka membantu pekerjaan kita di rumah,
adalah cara-cara sederhana dan tidak meminta waktu banyak untuk membuat anak merasa dihargai.
7. Kalimat “Kamu ini memang nakal...”
Ucapan kepada anak “Kamu kok nakal sih?”, “Kamu ini bodoh sekali...”, “Dasar tidak tahu diri!”, dan ucapan sejenis yang mengisyaratkan pelabelan pada anak menjadikan mereka cenderung meng-iyakan sebutan itu.
Dengan melabeli anak-anak dengan label yang buruk sebenarnya orangtua telah mendoakan mereka untuk menjadi seperti label tersebut.
3 Macam Cara Orangtua Mendoakan Keburukan untuk Anaknya boleh anda baca terlebih dahulu.
Saat anak-anak dipanggil dengan sebutan yang buruk, maka yang akan subur adalah perasaan rendah dan minder pada diri mereka.
Karena itu ketika kita sedang marah, tahanlah diri untuk tidak menyebut mereka dengan sebutan yang buruk.
8. Kalimat “Kalau kamu tidak mau menuruti ibu, ibu akan...”
Sebut saja kalimat mengancam.
Contoh yang senada sudah pernah saya pakai pada artikel yang berjudul Anak Tidak Menurut, Mungkin Kita Melakukan Kebiasaan “Kecil” Ini, namun dengan maksud yang berbeda.
Para orangtua biasanya menggunakan cara yang dianggap ampuh untuk membuat anak menuruti kemauan mereka.
Yaitu dengan metode ancaman.
Dengan cara ini kita berharap agar anak-anak mau melakukan sesuatu yang sebelumnya tidak ingin mereka lakukan.
Pada akhirnya, mungkin mereka akan melakukannya.
Namun tanpa kita sadari metode seperti ini justru akan menanamkan pada diri anak-anak bahwa untuk mendapatkan penghargaan orang lain,
mereka harus melakukan sesuatu yang diminta oleh orang tersebut.
Pakar parenting anak menyebut bahwa anak-anak yang tumbuh dewasa dengan cara ini cenderung menjadi korban kekerasan seksual ataupun KDRT.
9. Kalimat “Sudah, tidak apa-apa...” atau “Sudah, lupakan saja...”
Ucapan-ucapan semisal ini sepintas terlihat baik untuk mereda kekecewaan atau kemarahan anak,
namun dengan kalimat seperti itu anak akan merasa bahwa orangtua mereka tidak menghargai apa yang sedang mereka rasakan.
Seolah-olah mereka berkata, “Aku ini kecewa, aku ini sakit hati. Kenapa ayah bilang tidak apa-apa?”
Ketika setiap mereka mendapat masalah kita selalu menekankan “Sudah, tidak apa-apa”,
maka mereka akan terdoktrin untuk mentoleransi semua keadaan.
Masalahnya adalah,
kita tidak pernah bisa menjamin bahwa apa yang akan dialami anak-anak kita adalah sesuatu yang baik untuk tumbuh-kembang mereka.
Pada perjalanan mereka nanti, pasti akan ada keadaan dimana mereka tidak boleh membiarkannya.
Maka yang perlu kita ajarkan kepada mereka bukan sikap mentoleransi semua keadaan,
namun bagaimana mereka bersikap atas keadaan tersebut.
Saat mereka terjatuh, jangan katakan “tidak apa-apa”.
Namun ajari mereka untuk berhati-hati memilih jalan yang tidak licin.
Saat mereka diganggu teman-teman sekelasnya, jangan katakan “lupakan saja”.
Namun ajari mereka bagaimana merespon kondisi tersebut.
Cara-cara inilah yang lebih menumbuhkan harga diri mereka.
10. Kalimat “Terserah!!!”
Sebenarnya saya cukup kesulitan mencari judul yang tepat untuk poin terakhir ini, karena kalimat yang akan saya contohkan menggunakan bahasa Jawa.
Namun saat ditranslate ke dalam bahasa Indonesia hasilnya kurang bisa menunjukkan maksud yang sebenarnya.
Karena alasan itulah saya harus menggunakan 3 buah tanda seru agar maksudnya bisa ditangkap.
Contoh-contoh kalimat lainnya misalnya, “Semaumu!!!”, “Kalau tidak bisa, ya sudah!!!”,
atau kalimat-kalimat lain yang mengindikasikan sikap pesimis dan menyerah ketika merasa gagal saat melakukan sesuatu.
Bagaimana kalimat-kalimat semacam ini bisa menurunkan harga diri anak?
Jawabannya sederhana. Like father like son atau Buah apel jatuh tidak jauh dari pohonnya.
Anak-anak kita selalu melihat dan mendengar kita. dari situlah mereka belajar.
Ketika yang sering mereka dengar adalah ungkapan-ungkapan pesimistis, maka seperti itulah mereka merespon masalah yang mereka hadapi.
Jadi ketika kita berharap anak-anak kita menjadi pribadi yang percaya diri,
maka bentuklah diri kita menjadi sosok orangtua yang optimis.
Nomor 3 tuh pedes banget kalimat "gitu aja gak bisa.." nah kalau saya di beri perkataan seperti ini saya ingin membuktikan kepadanya bahwa saya bisa..
ReplyDelete