Di dalam kisah Nabi Yusuf alaihissalam, diceritakan ketika Yusuf muda sudah semakin matang kedewasaannya, maka semakin bertambahlah ketampanan dan kharisma wajahnya.
Hal ini rupanya menyulut syahwat istri dari pembesar Mesir yang telah mengadopsinya.
Hingga ketika nafsu itu sudah memegang kontrol atas dirinya, maka tanpa berpikir panjang istri dari pembesar Mesir tersebut melakukan tipu daya dengan menjebak Yusuf berada di dalam satu kamar dengannya. Ia mencoba memancing naluri kelelakian Yusuf.
Al-Qur’an menyatakan bahwa sebenarnya Yusuf muda juga mulai terpancing godaan perempuan itu. Namun dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa pada saat itu tiba-tiba Yusuf teringat wajah sang ayah, Nabiyullah Ya’qub alaihissalam.Maka seketika itu juga luluhlah syahwatnya. Yusuf pun lolos dari perbuatan yang dilaknat oleh Allah subhanahu wa ta’ala.
***
Pada tulisan Anak Perempuan Seharusnya Dekat dengan Siapa? dijelaskan bahwa pada usia menginjak remaja, anak laki-laki harus lebih dekat dengan sosok ayahnya.
Bahkan jika dicermati, di dalam Al-Qur’an banyak sekali dialog-dialog yang terjadi antara ayah dan anak. Misalnya dialog antara Nabi Ibrahim dan Ismail, Nabi Ya’qub dan Yusuf, Luqman dan anaknya, termasuk juga Nabi Nuh dengan putranya. Dialog seorang ayah disebutkan tidak kurang dari 14 ayat, sementara dialog seorang ibu disebut hanya 2 kali saja.
Hal ini mengindikasikan bahwa sosok ayah adalah figur yang harus memiliki emotional bonding yang kuat dengan anak-anak mereka. Kedekatan secara emosi ini akan sangat berpengaruh terhadap perkembangan karakter dan mental mereka nantinya.
Dengan adanya emotional bonding yang kuat, maka anak-anak akan memiliki role model yang permanen, yaitu orangtua mereka sendiri.
Dan jika orangtua sudah mampu menjadi contoh kongkrit bagi anak-anaknya, maka pengaruh-pengaruh negatif dari luar keluarga bisa diminimalisir.
Maka pertanyaan selanjutnya, bagaimana cara kita membangun emotional bonding ini dengan anak-anak kita?
Jawabannya hanya satu, yaitu menyediakan waktu untuk mereka. Yang hal ini tentu tidak bisa ditawar-tawar lagi.
Ya, hanya dengan memberikan kebersamaan yang berkualitas-lah maka kedekatan antara orangtua dengan anak-anak akan terbangun.
Tentu saja – meminjam istilah Elly Risman - kedekatan yang dimaksud bukan saja kedekatan kulit dengan kulit, melainkan kedekatan hati dengan hati. Sebab seringkali yang terjadi orangtua dan anak-anak terlihat dekat secara fisik, bahkan berada di dalam satu sofa atau satu meja, namun sebenarnya mereka tidak saling berinteraksi karena ternyata sibuk dengan gadget masing-masing.
Berikut ini ada beberapa aktifitas dan kegiatan yang bisa diterapkan oleh para orangtua untuk membangun kedekatan emosional dengan anak-anak mereka.
Study tour
H-hee... jangan buru-buru menganggap ini adalah tugas guru atau pihak sekolah. Jangan pula beranggapan bahwa study tour ini pasti membutuhkan biaya yang besar.
Study tour yang bisa diartikan dengan belajar sambil jalan-jalan atau jalan-jalan sambil belajar adalah kegiatan yang bisa kita lakukan bersama anak-anak.
Kegiatan yang ini memang akan “menyita” banyak waktu kita. Namun jika kita bisa mensiasatinya, biaya yang keluar akan bisa ditekan. Kita tidak perlu harus pergi keluar kota atau ke tempat-tempat wisata. Jika dana mepet, kita bisa mengajak anak-anak untuk sekedar jalan-jalan ke alun-alun kota atau ke area CFD (Car Free Day). Cukup sediakan uang bensin dan parkir serta uang untuk jajanan ringan. It’s done!
Kenapa kegiatan study tour ini bisa membangun emotional bonding antara orangtua dan anak-anak? Ada rahasianya...
Sebenarnya kegiatan study tour alias mengajak bepergian ini cukup sering dilakukan oleh Rasulullah. Ibnu Abbas pernah menuturkan bahwa dirinya kerap diajak oleh Rasulullah untuk bepergian. Dan setiap kali bepergian, Rasulullah selalu menyelipkan nasehat-nasehat beliau.
Bagi Ibnu Abbas, bepergian bersama Rasulullah adalah suatu hal yang menyenangkan. Maka ketika Rasulullah memberikan nasehat atau pembelajaran, maka hal itu akan terus terekam di dalam memorinya.
Maka inilah rahasianya... Dalam keadaan senang, maka setiap nasehat kita akan selalu diingat oleh anak-anak kita.
Jadi, jika berkesempatan untuk mengajak anak-anak bepergian, jangan lupa untuk selalu menyelipkan nasehat-nasehat kebaikan.
Bermain bersama
Selain yang disebut di atas, kegiatan lainnya yang bisa membangun kedekatan orangtua dan anak-anak adalah bermain bersama.
Sayangnya, banyak orangtua yang memakai alasan pekerjaan sebagai alibi untuk lepas dari kewajiban memberikan quality time ini.
Sepulang dari bekerja, alih-alih menyediakan waktu untuk bermain bersama anak-anak, para orangtua ini lebih memilih untuk beristirahat agar esok bisa kembali bekerja. Begitu seterusnya... hingga hari libur tiba. Padahal anak-anak itu membutuhkan perhatian setiap hari, bukan seminggu sekali.
Jika kita tidak memiliki waktu yang banyak untuk mereka, kita bisa mengadakan permainan-permainan sederhana di rumah. Percayalah, permainan seperti catur, halma atau monopoli bisa menjadi aktifitas yang menyenangkan bagi anak-anak. Bahkan aktifitas seperti bercerita bisa membangkitkan antusiasme anak-anak.
Dan jangan lupa, dalam keadaan senang nasehat kita akan lebih mudah masuk. Dan hal ini bisa mendekatkan mereka – secara emosional – dengan kita.
Mematikan ponsel
Hal yang sangat sepele ini jangan pernah dianggap remeh. Karena pada kenyataannya, benda kecil inilah yang menjadi penyebab renggangnya hubungan antar anggota keluarga.
Seorang guru di sebuah lembaga pendidikan dasar di USA pada salah satu sesi pengajarannya pernah meminta kepada para anak didiknya untuk menuliskan satu hal yang sangat tidak mereka inginkan.
Maka salah seorang murid menuliskan bahwa diciptakannya ponsel adalah hal yang sangat tidak ia inginkan. Ia bahkan menambahkan tulisan di atas lembar tugas itu bahwa hadirnya ponsel telah menjauhkan orangtua darinya.
Maka saat kita berada di rumah, sebisa mungkin gunakan waktu yang ada untuk bercengkerama bersama anak-anak. Matikan notifikasi ponsel dan tinggalkan sementara tugas-tugas kantor.
Jika memang kita bekerja demi keluarga dan anak-anak, maka kenapa mereka yang harus menjadi korban dari pekerjaan kita?
Catatan:
“Se-loyal apapun kita terhadap pekerjaan dan se-fanatik apapun kita terhadap perusahaan, saat kita mati, maka perusahaan tidak akan pernah bersedih. Mereka akan langsung mencari pengganti kita. Sementara keluarga, merekalah yang akan terus mengenang dan mengingat kebaikan-kebaikan kita.” (Anonymous)